Kamis, 14 April 2011

Simpati Negara pada Korupsi

Tragedi Infrastruktur
 (Kliping Editorial MI/Kamis, 07 April 2011 00:00 WIB)

INFRASTRUKTUR adalah tragedi yang semakin membelenggu Indonesia. Jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, tidak bertambah dalam jumlah maupun kualitas. Bahkan, jalan raya sebagai contoh, di seluruh Nusantara lebih banyak yang rusak daripada yang baik.
Sulit dibayangkan dengan infrastruktur yang compang-camping seperti saat ini, Indonesia mampu bersaing secara global. Setidaknya ada pemborosan Rp37 triliun dari sisi biaya angkutan akibat buruknya infrastruktur yang berimplikasi pada naiknya biaya produksi dan harga barang.
Mutu dan jumlah infrastruktur yang terus memburuk bertolak belakang dengan peningkatan APBN dari tahun ke tahun. Tahun 2004 belanja APBN kita adalah Rp430 triliun. Sekarang, 2011, belanja APBN kita sudah Rp1.200 triliun. Terjadi peningkatan APBN tiga kali lipat dalam tempo tujuh tahun.
Ironi terbesar dan sekaligus tragedi adalah uang yang terus membengkak di kantong negara hanya mengakibatkan kemerosotan jumlah dan mutu infrastruktur. Pasti ada kesalahan yang sangat fundamental dalam politik infrastruktur.
Anggaran yang terbatas jadi kambing hitam. Dari kebutuhan dana infrastruktur yang mencapai Rp1.400 triliun hingga 2014, pemerintah mengklaim hanya mampu menyediakan 19,6%-nya atau sebesar Rp274 triliun. Sisanya dilemparkan ke swasta.
Tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Soalnya, masih ada ganjalan investor untuk masuk ke proyek infrastruktur.
Salah satunya soal pengadaan lahan yang tidak segera direspons. UU tentang pengadaan lahan bagi kepentingan umum tak kunjung terbit.
Dalam pembangunan jalan, misalnya, pemerintah begitu terfokus pada jalan tol dan melupakan jalan-jalan nontol yang menjadi bagian dari tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.

Pembangunan infrastruktur tidak bisa ditunda lagi. Mustahil memiliki daya saing nasional apalagi global kalau infrastruktur buruk, tersendat, bahkan terputus.
World Economic Forum menempatkan Indonesia di bawah negara-negara tetangganya soal kualitas infrastruktur. Indonesia mendapat skor 3,7 dari maksimal 7 poin, lebih rendah ketimbang Thailand (4,9) dan Malaysia (5,5).
Peringkat itu seharusnya membuat pemerintah terpicu. Keterbatasan anggaran dan ruang fiskal yang sempit jangan jadi alasan untuk malas mencari terobosan untuk membangun infrastruktur.

Pemerintah harus ingat, tanpa ketersediaan infrastruktur, sulit bagi Indonesia menaikkan daya saing menuju keterbukaan pasar ASEAN pada 2015.
Apa kita mau hanya jadi pasar ekspor negara lain?

Panggung Cirus di Komisi III
(Kliping Editorial MI/Rabu, 06 April 2011 00:00 WIB   
  

SEBAGAI komisi yang membidangi hukum, Komisi III DPR pasti tahu prinsip dasar penegakan hukum, yaitu di depan hukum semua warga berkedudukan sama. Tidak ada warga negara kelas satu.
Akan tetapi, sadar atau tidak, Panitia Kerja (Panja) Pemberantasan Mafia Hukum dan Perpajakan Komisi III telah mengabaikan prinsip hukum itu. Panja menempatkan jaksa Cirus Sinaga sebagai warga kelas utama.

Sebagai warga negara kelas satu, Cirus yang sudah berstatus tersangka dan dicegah pula ke luar negeri diberi panggung politik. Ia disediakan forum terhormat dalam rapat panja yang digelar pada 4 April lalu.

Para anggota panja duduk manis menyimak pembacaan keterangan tertulis Cirus seputar sangkaan yang ditujukan kepadanya sebagai mafia dalam kasus pemalsuan surat rencana penuntutan Gayus Tambunan.

Dalam sesi tanya-jawab, anggota panja bertanya mirip interogasi dalam sidang hak angket. Panja gagal membongkar peran Cirus dan jaringannya dalam perspektif mafia hukum. Pertanyaan dan pernyataan anggota dewan hanya mempertegas superioritas dan nyali Cirus yang tidak pernah ciut.

Harus jujur diakui, rapat panja yang disiarkan televisi secara langsung itu menjadi panggung politik Cirus Sinaga. Dengan suara lantang, dalam rapat yang dipimpin Ketua Panja Tjatur Sapto Edy, Cirus menjelaskan apa yang telah dilaksanakannya selaku jaksa peneliti kasus Gayus. Ia mengaku telah melaksanakan tugas sesuai kewenangan yang dimilikinya.

Perlakuan istimewa yang diberikan kepada tersangka Cirus memperlihatkan wajah ganda komisi hukum. Sebab, hanya dua bulan sebelumnya, Komisi III DPR memutuskan untuk tidak menggelar rapat dengan tersangka.

Pada 31 Januari, Komisi III menolak kehadiran pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dengan alasan status tersangka masih melekat pada Bibit-Chandra, meski Jaksa Agung telah mendeponir perkara mereka.

Bibit dan Chandra bukan pimpinan KPK gadungan. Akan tetapi, berlindung di balik alasan etika dan moral, Komisi III memutuskan lewat voting untuk menolak kehadiran Bibit-Chandra dalam setiap rapat apa pun di DPR.

Etika dan moral justru disingkirkan bahkan ditabrak bila menyangkut kepentingan sendiri. Bukankah ada anggota Komisi III yang berstatus tersangka, tetapi Komisi III tidak menyuruh keluar orang itu dari rapat-rapat Komisi III? Bukankah DPR pernah dipimpin terdakwa?

Rekam jejak DPR kian mempertegas wajah ganda DPR. DPR pernah memboikot rapat dengan Menteri Keuangan (saat itu) Sri Mulyani hanya karena yang bersangkutan dianggap bertanggung jawab dalam kasus Bank Century.

Rakyat berkepentingan agar komisi hukum di DPR tidak tersesat di jalan lurus sehingga tidak ada anggapan bahwa mereka menjadi bagian dari persoalan penegakan hukum, apalagi bagian dari mafia hukum.

Simpati Negara pada Korupsi
(Kliping Editorial MI/Selasa, 05 April 2011 00:00 WIB    

DUA institusi penting negara berinisiatif merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Revisi yang memperlihatkan dengan amat jelas simpati negara pada korupsi dan koruptor.

Revisi pertama digagas pemerintah (eksekutif) terhadap Undang-Undang Tipikor. Lembaga negara kedua adalah DPR yang berinisiatif mengubah sejumlah pasal Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua revisi undang-undang itu masuk dalam agenda prioritas legislasi di DPR.

Naskah RUU Tipikor yang diajukan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mentok di tengah jalan. Naskah itu hanya sampai di Sekretariat Negara dan buru-buru ditarik kembali sebelum sampai di DPR.

Pasalnya, publik mencium pasal-pasal yang bila lolos akan melemahkan semangat perang terhadap korupsi. Pemerintah beralasan menarik naskah revisi itu untuk dikonsolidasikan lagi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder).

Semangat yang sama patut diduga berkecamuk dalam benak anggota DPR ketika berinisiatif merevisi Undang-Undang KPK. DPR, khususnya Komisi III, memperlihatkan permusuhan yang amat serius terhadap pejabat KPK. Dua pemimpin KPK yang telah memperoleh deponeering dari Kejaksaan Agung, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, tidak diperkenankan hadir dalam rapat-rapat dengan DPR karena dianggap najis sebagai tersangka.

Revisi undang-undang antikorupsi oleh dua lembaga penting negara ini mempertegas satu hal, negara melalui pemerintah menurunkan tingkat bahaya korupsi dari kejahatan luar biasa menjadi pelanggaran biasa-biasa saja. Tidak ada perbedaan kadar kejahatan antara seorang maling ayam dan seorang perampok uang negara di mata pemerintah. 


Beberapa indikator terbaca jelas dari RUU Tipikor yang sudah ditarik itu. Sanksi minimum koruptor yang tadinya berkisar satu sampai empat tahun dipatok cuma satu tahun.

Hukuman mati bagi koruptor juga dihapus karena alasan bertentangan dengan konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi. Lebih celaka lagi pemerintah menganggap korupsi di bawah Rp25 juta tidak perlu dipenjara jika yang bersangkutan mengakui kesalahan dan mengembalikan uangnya.

Korupsi telah direduksi menjadi persoalan angka, tetapi melupakan niat mencuri uang publik. Simpati seperti itulah, cepat atau lambat, akan menguburkan semangat antikorupsi.

Di tengah ketidakmampuan memerangi perampokan uang negara, pemerintah malah memperluas lingkup kerugian negara ke sektor swasta dan organisasi nonpemerintah. Ini pengelabuan yang amat menyesatkan.

Indeks persepsi korupsi Indonesia tidak bergerak signifikan. Sejak 2004 sampai 2010 pergerakannya terseok-seok pada angka 2. Belum pernah menyentuh angka 3. Eh, malah sekarang bersimpati pada korupsi.


Ledakan Penduduk
(Kliping Editorial MI/Senin, 04 April 2011 00:00 WIB     

LAJU pertumbuhan penduduk negeri ini telah sampai pada titik amat mengkhawatirkan.
Ironisnya, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibiarkan 'bertempur' sendirian.

Jika laju pertambahan penduduk yang rata-rata 3,5 juta-4 juta per tahun tidak segera ditekan, diprediksi pada 2045 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 450 juta jiwa. Dengan asumsi populasi bumi 9 miliar jiwa pada saat itu, berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia.

Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk dari 1,49% saat ini menuju angka ideal 0,5% masih jauh panggang dari api. Lebih-lebih lagi, hasil survei BKKBN menunjukkan umumnya pasangan usia subur menginginkan anak lebih dari tiga.

Pertumbuhan penduduk yang tergolong tinggi itu pun tidak disertai dengan peningkatan kualitas. Itu terlihat dari indeks pembangunan manusia Indonesia yang masih tercecer di peringkat 108 dari 169 negara. Di ASEAN, Indonesia berada di peringkat 6 dari 10 negara, atau lebih rendah daripada Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Bertambah penduduk bertambah pula mulut yang harus diberi makan. Saat ini saja Badan Ketahanan Pangan Nasional menyebut 27,5% penduduk Indonesia terkena rawan pangan.

Dengan rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia sekitar 130 kilogram dan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa, saat ini dibutuhkan sedikitnya 34 juta ton beras per tahun. Padahal, produksi beras dalam negeri sekitar 38 juta ton sehingga hanya surplus 4 juta ton beras atau kurang untuk kebutuhan dua bulan. 


Jika tingkat kegagalan panen meluas dan produksi terpangkas, kebutuhan pangan pun pasti tidak tercukupi. Dapat dipastikan, Indonesia akan menjadi pengimpor beras nomor wahid di dunia.

Sekarang saja, ketika produksi beras di negeri ini masih disebut surplus, negeri ini sudah mengimpor 1,9 juta ton beras hingga akhir Maret. Angka itu telah meletakkan Indonesia sebagai importir beras kedua terbesar di dunia setelah Nigeria.

Apakah yang terjadi dengan Indonesia pada 2045, ketika 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia? Jawabnya Indonesia akan menjadi negeri kelaparan.

Karena itu, saat ini juga dibutuhkan kemampuan luar biasa untuk mengendalikan jumlah penduduk agar Indonesia di masa depan tidak bernasib buruk seperti negara-negara di Afrika yang dilanda kurang pangan.


Kegigihan yang Mencurigakan
(Kliping Editorial MI/Sabtu, 02 April 2011 00:00 WIB   
  

PEMBANGUNAN gedung baru DPR sepertinya cuma akal-akalan dan suka-suka hati Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Buktinya mereka memutuskan pembangunan gedung mewah senilai Rp1 triliun itu tanpa kontrol dan persetujuan fraksi di DPR.

Itulah sebabnya belakangan fraksi-fraksi, kecuali Fraksi Demokrat dan Golkar, tegas menolak pembangunan gedung baru DPR itu. Akan tetapi, BURT tiada mengindahkan mereka. Anggota BURT Pius Lustrilanang, misalnya, tetap 'ngotot' mendukung pembangunan gedung DPR itu meski partainya, Partai Gerindra, tegas menolaknya.

Contoh lain, sekalipun Ketua DPR yang juga Ketua BURT Marzuki Alie pernah mengatakan jika satu fraksi saja tidak setuju DPR akan menunda atau membatalkan pembangunan gedung baru DPR itu, sekarang ini dia termasuk yang sangat gigih membela pembangunan gedung baru DPR.

Marzuki malah menuduh fraksi yang menolak gedung baru DPR sebetulnya cuma ingin menaikkan citra partai.

Ketika Fraksi PAN menyatakan pembangunan gedung DPR harus melalui persetujuan rakyat, Marzuki malah mempertanyakan bagaimana cara mendapatkan persetujuan rakyat tersebut.
Padahal, terang-benderang banyak kalangan melalui media massa tegas menolak pembangunan gedung baru DPR. Jajak pendapat Charta Politika menunjukkan lebih dari 80% responden menolak pembangunan gedung DPR.
Bagaimana mungkin rakyat setuju dengan pembangunan gedung DPR di tengah amburadulnya kinerja DPR? DPR baru menghasilkan 17 RUU dari target 70 RUU pada 2010. DPR pernah memberikan cek kosong Rp1,1 triliun pada APBN-P 2010, tanpa jelas peruntukannya. DPR pun gemar menggemukkan anggaran sendiri, antara lain melalui dana aspirasi. DPR juga beberapa kali mementahkan sendiri fungsi pengawasan mereka, seperti dalam kasus Bank Century dan mafia pajak.

Anggota DPR yang dilaporkan membekingi penyelundupan BlackBerry dan anggota DPR yang kerap membolos, tetapi gemar bekerja sampingan memperparah citra dan kinerja DPR.

Bagaimana mungkin rakyat setuju dengan pembangunan gedung DPR di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan? Sebagai perbandingan, dana Rp1 triliun lebih untuk membangun gedung DPR itu bisa digunakan untuk membangun 23.200 ruang kelas baru untuk sekolah atau 11.600 unit rumah sederhana buat rakyat.

Pembangunan gedung baru DPR hanya akan memperparah luka sosial. Oleh karena itu, kegigihan Marzuki Alie, Pius Lustrilanang, serta BURT umumnya layak dipertanyakan. Terlebih lagi karena ada yang mencium proses perancangan gedung yang telah menghabiskan Rp18 miliar itu dilakukan tanpa tender.

Itulah sebabnya Partai Gerindra dan sejumlah LSM meminta BPK dan KPK turun tangan. Apakah kegigihan Marzuki, Pius, dan BURT karena DPR sudah telanjur menggelontorkan duit Rp18 miliar itu, biarlah BPK dan KPK yang menjawabnya.

Jurus Kikis Suku Bunga
(Kliping Editorial MI/Jumat, 01 April 2011 00:01 WIB 
    

MENCARI jurus menurunkan suku bunga kredit perbankan di Indonesia ibarat menyelisik jarum di tumpukan jerami. Sulitnya minta ampun.

Bank seperti ogah-ogahan menurunkan suku bunga kredit. Perbankan terbuai kenyamanan menangguk untung dengan membebankan suku bunga tinggi kepada debitur. Berbagai upaya Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga kredit tidak pernah mendapatkan respons maksimal.

Penurunan suku bunga acuan BI rate pada Desember 2008 hingga Agustus 2009 yang mencapai 300 basis poin, yakni dari 9,5% menjadi 6,5%, misalnya, hanya berakibat penurunan bunga kredit sekitar 100 basis poin. Tidak berimbang.

Tidak mengherankan kalau pelaku bisnis menyebut bank tidak rasional menentukan suku bunga pinjaman. Tingginya suku bunga kredit pun berimplikasi pada biaya berbisnis yang mahal.

Ujung-ujungnya, produsen barang di dalam negeri tidak dapat bersaing dalam segi harga ketika menghadapi barang impor yang lebih murah. Mereka pun mendesak satu mekanisme agar bank nasional mau menurunkan suku bunga kredit lebih proporsional.

Dalam upaya merespons keluhan tersebut, BI sejak kemarin mulai menerapkan aturan yang mewajibkan bank mengumumkan secara transparan suku bunga dasar kredit (SBDK). SBDK merupakan suku bunga terendah sebagai dasar bank menetapkan suku bunga kredit lainnya.

Bank sentral berharap, dengan mengumumkan SBDK secara transparan, bank mau tidak mau lebih efisien. Masyarakat bisa membandingkan langsung berapa biaya kredit yang ditawarkan bank.

Transparansi dari bank tetangga akan membuat bank lain mengikuti agar kompetitif. Kalau tidak kompetitif, mereka bakal kehilangan nasabah. Jadi, bank tidak lagi bisa menetapkan suku bunga kredit seenaknya.

Kita patut mengapresiasi langkah BI. Kendati masih butuh waktu menguji keampuhan jurus itu, langkah mengedepankan transparansi dalam penetapan suku bunga setidaknya bisa memacu persaingan sehat di industri bank untuk menjadi yang paling efisien.

Selaras dengan itu, bank juga harus punya komitmen untuk tidak lagi membebankan suku bunga tinggi kepada debitur. Bank harus mau menurunkan suku bunga pinjaman perbankan di Indonesia yang kini masih di kisaran 14% atau kedua tertinggi di ASEAN

Kalau tidak, sulit bagi produsen barang di Indonesia untuk berdaya saing dengan produk negara lain. Bank jangan jadi lintah yang mengisap darah dari tubuh bangsanya sendiri.

Bank seharusnya jadi mesin yang mengalirkan darah segar bagi seluruh sendi perekonomian bangsa. Bukan sebaliknya menjadi benalu yang mematikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar