ADA seorang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia berpangkat marsekal madya. Namanya Rio Mendhung Thaleb. Dia menjabat Wakil Gubernur Lemhannas.
Rio yang masih berdinas di TNI sekarang menjadi perdebatan karena beberapa sebab. Dia menjabat Direktur Utama PT Sarwahita Global Management. Itulah perusahaan milik Melinda Dee, mantan pejabat Citibank yang kini ditahan polisi karena dugaan membobol dana nasabah sekitar Rp17 miliar.
Lalu apa kesalahan Marsekal Rio? Polisi belum mengusut apakah Rio ikut dalam permainan Melinda menggondol dana nasabah Citibank. Namun, yang dipersoalkan adalah pelanggaran yang amat jelas dilakukan Rio.
Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan amat jelas melarang anggota TNI terjun dalam dunia bisnis. Larangan itu bukan harga mati. Bila anggota TNI ngotot berbisnis, dia diharuskan pensiun atau mundur dari TNI. Satu-satunya portofolio bisnis yang diperbolehkan bagi anggota TNI adalah di BUMN karena mengamankan aset negara.
Undang-undang ini sangat jelas. Karena itu, sangat membingungkan ketika para pejabat negara berbeda pendapat soal jabatan dirut seorang Rio di perusahaan yang didirikan Melinda.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro--seperti pendapat umumnya anggota Komisi I DPR--menilai posisi dirut bagi Rio di perusahaan Melinda adalah pelanggaran undang-undang. Alasannya Rio masih berdinas aktif di TNI.
Namun, pendapat berbeda dilontarkan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Menurut Panglima, Rio tidak bersalah karena menjelang pensiun seorang tentara diberi kesempatan menjajaki kerja lain. Itu disebutnya sebagai lex specialis yang membenarkan Rio menjabat dirut sebuah perusahaan swasta.
Masalah besar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah multitafsir perintah undang-undang. Multitafsir itu menjadi sumber ketidakadilan karena terhadap individu yang satu ditafsirkan sebagai
larangan keras, tetapi terhadap individu yang lain dibolehkan.
Padahal, sebuah regulasi yang mampu memaksakan kepatuhan haruslah ditafsirkan sama oleh publik, yang pintar maupun yang bodoh. Di sini terpelihara keadilan.
Karena itu, kepada Panglima TNI kita ingin bertanya, apakah semua tentara menjelang pensiun dibolehkan berbisnis? Kalau boleh, lantas bagaimana menjelaskan undang-undang melarang tentara aktif terjun ke dunia bisnis? Tentara yang satu tahun menjelang pensiun berstatus apa sehingga dibolehkan berbisnis?
Kalau dua petinggi yang mengurusi tentara berbeda pendapat soal tafsir undang-undang larangan berbisnis bagi TNI aktif, siapa yang harus didengar? Bagaimana mempertanggungjawabkan kebenaran argumen masing-masing?
Mengaku salah bukanlah kebodohan, melainkan kepintaran. Yang keliru adalah orang-orang yang ngotot mempertahankan kesalahan. Coba direnungkan kembali dengan jernih dan tenang, mengapa TNI dilarang berbisnis?
Gerak Lamban Melawan Perompak
Rabu, 13 April 2011 00:00 WIBSIKAP lamban seperti sudah menjadi cap yang melekat di tubuh pemerintah saat ini. Bahkan, 'langkah siput' itu terjadi hampir di segala lini.
Kasus terakhir melanda kapal MV Sinar Kudus yang disandera perompak Somalia sejak 16 Maret 2011. Di kapal berbendera Indonesia milik PT Samudera Indonesia (Tbk) itu terdapat 20 anak buah kapal warga negara Indonesia.
Mereka terapung di timur laut Pulau Socotra, Semenanjung Somalia, Afrika, dalam kondisi tertekan dan mengenaskan. Kelaparan, ketiadaan air bersih, dan rasa cemas terus menyergap mereka hingga hari ke-28, hari ini.
Nasib nyawa mereka berada di ujung senjata para perompak yang setiap saat bisa memuntahkan peluru manakala tuntutan uang tebusan US$3 juta tidak segera dikirimkan. Besarnya tuntutan tebusan itu turun dari sebelumnya US$3,5 juta. Itu pun atas usaha kapten kapal Slamet Jauri.
Celakanya, pemerintah kebingungan mencari cara mengakhiri kisah getir penyanderaan itu. Para pemangku kepentingan seperti baru belajar bagaimana membebaskan sandera dan berhadapan dengan para teroris laut.
Padahal, sejarah negeri ini mencatat kisah gemilang pembebasan sandera dan penggerebekan teroris. Pada 31 Maret 1981, pasukan khusus TNI Angkatan Darat berhasil membebaskan sandera dalam pesawat DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Hebatnya lagi, rentang antara hari pembajakan pesawat dan pembebasan sandera ketika itu hanya tiga hari. Spirit menyelamatkan anak bangsa ternyata mampu mengalahkan keterbatasan peralatan, dan mungkin anggaran.
Kepolisian kita juga berkali-kali berhasil membekuk gembong teroris kelas kakap di Asia. Terlepas dari masih munculnya aksi teror baru, keberhasilan polisi itu memberikan penegasan atas pepatah lama yang sudah klise, yakni jika ada kemauan, pasti ada jalan.
Lalu, apa yang terjadi dengan pemangku kepentingan negeri ini hari-hari belakangan ini? Teramat banyak simpul masalah yang tidak bisa diurai bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak mau cepat.
Rakyat, termasuk korban sandera para perompak, seperti dibiarkan mencari jalan sendiri menuju kemerdekaan dan kebebasan. Meminjam istilah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara malah sibuk mengurusi hal-hal yang tidak penting dan melupakan masalah-masalah besar yang jauh lebih penting.
Kalau sikap seperti itu terus dipelihara, cita-cita kemerdekaan dan kesejahteraan hanya janji kosong tanpa realisasi. Rakyat pun akan terus menjadi yatim piatu yang tidak diurus.
Mundur saja belum Cukup/
(Kliping Edisi/Selasa, 12 April 2011 00:01 WIB)
ANGGOTA DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Arifinto, akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya sebagai anggota DPR periode 2009-2014. Ia mundur setelah tertangkap basah kamera Media Indonesia saat menonton video porno dalam rapat paripurna, Jumat (8/4).
Arifinto mengumumkan pengunduran dirinya itu dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin. Anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat VII itu menekankan bahwa sikap yang dipilihnya itu atas kesadaran diri sendiri, bukan atas paksaan dari siapa pun.
Ia berharap keputusannya untuk mundur juga menjadi pembelajaran yang bermanfaat bagi partai, konstituen, dan seluruh anggota DPR yang masih akan bertugas hingga 2014.
Kata 'pembelajaran' yang diucapkan Arifinto patut diberi garis tebal. Pembelajaran pertama dan terutama tentu untuk partai politik. Bukan rahasia lagi bahwa partai politik telah gagal membina kader mereka selama ini. Partai malah dipakai untuk transaksi yang berpotensi memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi pengurus.
Partai Keadilan Sejahtera tidak bisa mencuci tangan atas skandal video porno yang melibatkan Arifinto. Bukankah yang bersangkutan menjadi anggota DPR karena direstui partai? Karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab, partai tidak bisa menyerahkan keputusan atas kelakuan jorok menonton video porno itu semata-mata atas kesadaran pribadi anggota. Partai Keadilan Sejahtera harus memperlihatkan ketegasan sikap terhadap pornografi dengan tindakan nyata memecat anggota mereka.
Dengan tindakan yang tegas itulah antara lain partai dapat memelihara integritas partai, yaitu satunya kata dan perbuatan.
Kasus Arifinto juga menjadi pembelajaran berharga, bahkan sangat berharga bagi konstituen agar tidak terkelabui dalam memilih wakil di DPR. Konstituen harus jeli menilik rekam jejak partai dan calon anggota legislatif sebelum menentukan pilihan politik.
Tidak kalah penting adalah pembelajaran bagi anggota DPR lainnya. Adalah fakta yang terang-benderang bahwa sebagian wakil rakyat sering mangkir sidang. Kalaupun hadir dalam rapat parlemen, sebagian di antara mereka lebih asyik ber-Facebook, ber-Twitter, menonton video porno melalui komputer tablet, dan bahkan terlelap dalam mimpi.
Harus jujur diakui bahwa rakyat sulit sekali menemukan dan merasakan tetes keringat wakil mereka di Senayan yang bekerja berbasiskan komitmen dan integritas. Publik lebih kerap menjumpai anggota DPR metroseksual yang lebih mengutamakan gaya dan wangi penampilan, tetapi nihil keprihatinan sosial.
Wakil rakyat kian lupa diri sehingga ada jurang yang menganga antara aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat dan materi persidangan dewan. Video porno hanyalah sebuah puncak gunung es yang terlihat di lautan persoalan Senayan. Karena itu, mundur saja tidak cukup, harus dipecat.
Kebangkrutan Moral Anggota DPR
(Kliping/Senin 11 April 2011)
HARIAN ini membuat geger. Edisi Sabtu (9/4) Media Indonesia menampilkan karya foto jurnalistik eksklusif yang merekam kelakuan jorok anggota DPR. Kelakuan jorok itu terjadi Jumat (8/4), di forum terhormat, di sidang paripurna yang membahas materi sangat penting, yaitu pembangunan gedung baru DPR yang ditentang publik.
Anggota DPR itu adalah Arifinto dari Partai Keadilan Sejahtera, yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat VII. Kamera wartawan foto Media Indonesia M Irfan menangkap basah bagaimana jari tangan Arifinto dengan sengaja memilih video porno di komputer tablet yang dibawanya ke ruang sidang dan menikmatinya sejak pukul 11.39.23 hingga pukul 11.41.57 WIB.
Media Indonesia memiliki 60 frame visual berisi kelakuan anggota DPR itu. Sebuah jumlah yang lebih dari cukup untuk membuktikan secara faktual bahwa tidak benar anggota DPR itu membuka komputer tabletnya karena ada surat elektronik yang masuk, sebagaimana kilahnya, dan pula tidak benar ia menontonnya hanya beberapa detik, tak sampai setengah menit, seperti katanya.
Sebagian dari foto jurnalistik itu telah dipublikasikan di harian ini dan di situs Mediaindonesia.com dengan sengaja mengaburkan bagian gambar yang porno. Hal itu bertujuan menghormati keadaban publik dan mematuhi Undang-Undang Pornografi.
Semua itu perlu ditegaskan kembali melalui Editorial ini untuk menggarisbawahi betapa telah terjadi kebangkrutan moral anggota DPR. Bukan sembarang kebangkrutan moral karena yang menonton video porno itu adalah anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang berbasiskan nilai-nilai agama dan yang paling gigih memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Pornografi.
Kelakuan jorok anggota DPR itu bukan hanya menunjukkan moral susila yang rusak, melainkan juga moral politik. DPR sedang bersidang paripurna menyangkut pembangunan gedung DPR yang akan menelan Rp1 triliun lebih, eh, si anggota DPR tidak peduli, malah asyik menikmati pornografi.
Kasus itu menambah panjang daftar dekadensi anggota DPR. Bukankah banyak anggota DPR yang masuk penjara karena korupsi? Bukankah amat banyak anggota DPR yang gemar mangkir bersidang? Bukankah banyak keputusan DPR produk transaksional? Bukankah hasil studi banding omong kosong? Bahkan, ada studi banding yang diselingi menonton tari perut. Sekarang ditambah menonton video porno di sidang paripurna.
Semua itu jelas bukti DPR mengalami kebangkrutan moral yang menggerus kepercayaan publik. Bahkan, tidak berlebihan untuk mengatakan sesungguhnya telah terjadi kebangkrutan kepercayaan dan kebangkrutan legitimasi terhadap DPR. Tiga kebangkrutan yang fundamental. Lalu dengan dasar apa DPR masih layak memutuskan kebijakan publik atas nama rakyat?
DPR sekarang lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya. Oleh karena itu, sebaiknya DPR berhenti bersidang. Sebaiknya reses dilanjutkan saja sampai masa kerja berakhir pada 2014, sampai dilahirkan DPR yang baru hasil pemilu mendatang.
Anggaplah DPR yang sekarang ini koma, pingsan berat, akibat keracunan bermacam-macam kelakuan jorok. Kiranya untuk sementara negara ini lebih baik berjalan tanpa DPR yang dekaden itu.
Hukum yang Konyol
(Kliping/Sabtu, 09 April 2011)
PENEGAKAN hukum di Republik ini lagi-lagi memperlihatkan kekonyolan. Konyol karena terpaku pada kalimat-kalimat tekstual. Juga konyol karena hukum hanya terampil buat orang-orang kecil, bahkan yang tergolong anak-anak.
Contoh paling mutakhir adalah kasus yang dialami Deli Suhandi. Bocah yang baru berusia 14 tahun itu ditangkap polisi karena dituduh mencuri voucer kartu perdana senilai Rp10 ribu di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, pertengahan bulan lalu.
Bocah kelas dua sekolah menengah pertama itu sempat ditahan lebih dari tiga pekan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Akibatnya, Deli tidak bisa mengikuti ujian tengah semester.
Selasa (5/4) lalu, Deli sudah bisa kembali ke rumah karena pihak kejaksaan mengabulkan penangguhan penahanan tersangka kasus pencurian itu. Akan tetapi, proses hukumnya belum tuntas lantaran polisi ngotot membawa kasus itu ke pengadilan.
Polisi ngotot menegakkan hukum terhadap bocah yang mencuri senilai Rp10 ribu, tetapi polisi tidak memperlihatkan kegigihan untuk membongkar rekening gendut para jenderal polisi yang miliaran rupiah. Ini pun kekonyolan tersendiri.
Yang jelas, apa yang dialami Deli bukan kasus pertama dan terakhir. Pada 2006, wajah hukum di Tanah Air sempat digegerkan oleh kasus Raju, bocah berusia delapan tahun yang diadili oleh Pengadilan Negeri Stabat, Sumatra Utara, hanya gara-gara berkelahi dengan kakak kelasnya.
Meski berbagai kalangan ketika itu mendesak proses penyidangan dihentikan, toh hakim lebih percaya dan patuh pada teks yang terdapat di UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim dilarang menghentikan proses penyidangan.
Perilaku para punggawa hukum dalam kasus Raju dan Deli menunjukkan buruknya kearifan penegak hukum di negeri ini. Mereka justru 'rajin' memejahijaukan anak-anak.
'Kerajinan' itu tampak pada Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang menyebutkan setiap tahun setidaknya ada 7.000 anak-anak yang harus menjalani persidangan karena terlibat berbagai tindak kriminalitas.
Bahkan, 6.300 di antaranya mesti menjalani kerasnya kehidupan di balik terali besi.
Fakta itu seakan menunjukkan bahwa para penegak hukum percaya pengadilan dan penjara merupakan tempat belajar budi pekerti yang baik bagi anak-anak. Ini keyakinan yang sangat konyol, karena kenyataan pemenjaraan justru memperburuk perkembangan anak. Penjara adalah sekolah kriminal yang paling canggih di negeri ini, baik untuk orang dewasa apalagi untuk anak-anak.
Menyembuhkan anak-anak dari perilaku menyimpang jelas memerlukan bobot edukasi yang lebih dominan daripada penegakan hukum formal. Polisi, jaksa, hakim hendaknya memiliki kearifan itu
Bubarkan Setgab
(Kliping/Jumat, 08 April 2011)
BADAI yang menerpa Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Pendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tidak juga surut. Bahkan, badai itu semakin kencang dengan munculnya desakan dari parpol yang setia agar Golkar dan PKS ditendang dari koalisi.
Berbeda dengan empat sohib mereka, Demokrat, PAN, PPP, dan PKB yang sejauh ini tetap konsisten, Golkar dan PKS memang tidak sepenuhnya setia mendukung garis koalisi. Hal itu tampak dengan lolosnya rekomendasi Pansus Hak Angket Bank Century serta kasus hak angket mafia pajak.
Untuk mencegah agar ketidaksetiaan itu terulang kembali, Partai Demokrat sebagai lokomotif koalisi menghendaki kontrak politik yang baru. Isinya, antara lain, memuat aturan penyeragaman, yaitu enam fraksi di DPR akan bersuara kor menyetujui setiap kebijakan pemerintah.
Kontrak politik yang baru itu juga memasukkan sanksi bagi partai yang membangkang. Sasarannya jelas, Golkar dan PKS.
Akan tetapi, Golkar menolak kontrak baru itu. Alasan mereka penyeragaman suara koalisi di DPR itu dapat menghilangkan identitas partai.
Tentu masih ada alasan lain. Jika penyeragaman itu disepakati, DPR akan menjadi tukang stempel pemerintah. Persis di era Orde Baru. Apa yang dihidangkan pemerintah, itulah yang akan disantap DPR. DPR menjadi corong keinginan pemerintah, termasuk corong pembuangan semua limbah untuk disalurkan kepada rakyat, tanpa ada saringan. Kalau ada gegap gempita penolakan di DPR, itu sekadar aksesori, bukan substansial.
Penyeragaman di setgab benar-benar akan mengesampingkan aspirasi rakyat. Bayangkan, enam fraksi di DPR yang menguasai 75% kursi parlemen adalah sebuah modal yang berlimpah untuk memuluskan semua kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan yang memberatkan rakyat sekalipun.
Penyeragaman di setgab yang dibawa ke DPR akan melumpuhkan kembali kekuatan parlemen sebagai penyeimbang. DPR yang berjaya sejak reformasi bergulir 13 tahun silam akan mandul kembali.
Penyeragaman suara eksekutif dan legislatif untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan jangka pendek jelas akan merusak demokrasi. Demokrasi justru harus dipelihara di atas kesadaran bahwa kekuasaan hanya berumur pendek, yaitu presiden hanya dapat berkuasa paling lama dua masa jabatan.
Oleh karena itu, Golkar dan PKS seharusnya menolak dikerangkeng dalam penyeragaman. Bahkan, mereka semestinya membubarkan setgab. Koalisi bukan berarti uniformitas, apalagi hegemoni kekuasaan di satu tangan setgab.
Lagi pula, kalau memang tak lagi sejalan, mengapa Golkar dan PKS ngotot bertahan di dalam koalisi? Bukankah bertahan demi kursi kabinet tampak murahan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar