if you care, please you share...
(Kliping MI/Rabu, 20 April 2011 00:00 WIB)
PERILAKU pemerintah daerah menyangkut dana sangat kontradiktif. Di satu pihak mereka kerap berteriak kekurangan dana untuk memutar roda pembangunan, tetapi di lain pihak mereka gagap kreativitas ketika dana di depan mata.
Saking gagapnya, Pemerintah Provinsi Papua memilih mendepositokan dana otonomi khusus periode 2008-2010. Jumlahnya, menurut Badan Pemeriksa Keuangan, tak tanggung-tanggung mencapai Rp1,85 triliun.
Dana yang sangat besar tersebut berasal dari pusat untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan di Provinsi Papua. Itu keputusan politik anggaran yang sangat tepat karena buruknya tingkat pendidikan dan kesehatan di sana. Bahkan, indeks pembangunan manusia di Papua rutin terpuruk di posisi buncit dari 33 provinsi.
Oleh karena itu, merupakan kebodohan tersendiri bahwa Pemerintah Provinsi Papua tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan anggaran pendidikan dan kesehatan. Bahkan, memilih mengendapkan dana itu di deposito ketimbang menggunakannya untuk kemajuan warga dapat digolongkan sebagai kejahatan sosial.
Cara Pemerintah Provinsi Papua mengelola keuangan itu jelas harus dikritik sangat keras. Mereka mencederai esensi otonomi khusus yang berpijak pada Undang-Undang No 21 Tahun 2001 yang bertujuan meningkatkan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan rakyat Papua, terutama orang asli Papua.
Yang juga patut disesalkan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh malah berbeda sikap terhadap buruknya pengelolaan anggaran untuk Papua itu. Mendagri menilai pendepositoan dana otonomi khusus tidak haram selama tak mengganggu program dan cash flow.
Sebaliknya, Mendiknas berprinsip dana pendidikan yang bersumber dari dana otonomi khusus bukanlah modal investasi finansial. Dana itu merupakan investasi untuk sumber daya manusia yang harus secepatnya dimanfaatkan.
Jika di lingkaran pemerintah pusat saja masih terjadi perbedaan bersikap, bagaimana mungkin mereka bisa mengatasi masalah di Papua? Oleh sebab itu, satukanlah dulu persepsi sehingga pemerintah pusat dapat bertindak tegas.
Tabiat seenaknya dalam mengelola dana seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua tak sepatutnya dibiarkan. Ada uang rakyat teramat banyak yang harus direalisasikan bagi kepentingan rakyat, eh malah dibiakkan dengan tujuan untuk mendapatkan bunga yang pemanfaatan dan pertanggungjawabannya juga harus dilacak.
Rakyat Papua, seperti halnya Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua Barat, adalah anak bangsa yang diistimewakan, yang mendapat perlakuan khusus di Republik ini. Karena kekhususan itu, dana mengalir deras dari pusat, lebih banyak daripada yang diterima provinsi-provinsi lain, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta meski berpredikat istimewa.
Jurang kesenjangan antara rakyat Papua dan saudara-saudara mereka di daerah lain harus segera dipersempit. Untuk itu, tidak ada pilihan selain Pemerintah Provinsi Papua lebih cepat dan lebih tepat menggunakan dana otonomi khusus itu bagi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.
Membiakkan dana otonomi khusus itu di bank adalah sama dengan membiarkan rakyat Papua tetap tertinggal. Hanya pemerintah yang bebal yang melakukannya
Kamis, 21 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar