Selasa, 12 April 2011

Desentralisasi, OtoDa & Peluang Penataan Ekonomi Politik dalam Konteks Pemekaran Wilayah


Desentralisasi, Otonomi Daerah dan  Peluang Penataan Ekonomi Politik dalam Konteks Pemekaran Wilayah
Syarief Aryfa’id
(Makalah ini disampaikan untuk Memenuhi Tugas MK Seminar Politik Indonesia Kontemporer/S2 Ilmu Politik UGM) 

A. Pendahaluan
Otonomi Daerah sebagai salah satu prasyarat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis setidaknya menjadi sesuatu yang penting dalam meminimalisir ketimpangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, serta mempermudah mekanisme birokrasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Dan klausul inilah yang menjadi salah satu point penting, baik dalam UU No. 22 tahun 1999 maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, birokrasi pemerintahan daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Baca  pembukaan UU No 22/99 Tentang  pemerintahan daerah). Hal ini dapat kita refleksikan kembali pengelolaan negara kita selama kurun waktu 32 tahun dibawah rezim Orde Baru, dimana sistem penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah bersifat sentralistik dan top-down.
Dalam konsep desentralisasi, daerah memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahanya. Secara ideal, pemerintahan daerah di era otonomi, diberikan kewenangan, tidak saja pada aspek politik (pengelolaan kekuasaan dan tata pemerintahan), akan tetapi, daerah juga diberikan kewenangan dalam mengembangkan berbagai potensi ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat di daerah. Artinya bahwa pemerintahan daerah dengan kewenangan dan kekuasaan membentuk dan menjalankan mesin birokrasinya sesuai dengan aspirasi dan inisiatif masyarakat daerah. Walaupun ada beberapa hal yang telah diatur dalam perundang-undangan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, antaralain agama, pertahanan dan keamanan, moneter dan fisikal, serta kebijakan luar negeri. Kewenangan yang diperoleh tersebut dengan harapan, bahwa apa-apa yang menjadi kebutuhan masyarakat daerah dan aspirasi masyarakat daerah, pemerintah di daerah mampu memberikan pelayanan yang lebih efektif dan aspiratif.
Otonomi daerah dapat menjadi mekanisme mempercepat proses penataan kelembagaan birokrasi ditingkat daerah yang berorintasi pada pelayanan yang holistic untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan daerah memberikan implikasi positif terhadap kamajuan masyarakat daerah tersebut, khususnya dalam memperpendek cara dan sistem pelayanan kepada masyarakat, yang sebelumnya berpusat di Jakarta (top-down) dan pada era otonomi (bottom-up). Berbagai bentuk inisiatif dan kreativitas layanan publik dapat dilakukan oleh pemerintahan daerah. Tentu saja hal ini harus inheren dengan  pola kerja birokrasi/pemerintahan yang profesionalisme.
Selain memuat konsep otonomi daerah, kebijakan pemerintah pusat melalui UU No.32/2004 juga merekomendasikan ”secara bersyarat” adanya pemekaran wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten (UU No.32/2004 yang berkaitan dengan persyaratan dan prosedur pemekaran wilayah pada tingkat kabupaten). Secara eksplisit tujuannya adalah memperdependek jarak kerja birokrasi memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, serta mempermudah akses masyarakat terhadap hak-hak dasarnya yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah.
Pemekaran wilayah juga memberikan peluang terhadap dua sisi yang berlawanan. Satu sisi adanya peluang tebentuknya tatanan pemerintahan yang baru dan baik (good governance) yang mereperenstasikan komunitas masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut, namun disisi lain, pemekaran wilayah juga dapat menciptakan  birokrasi yang patron terhadap kekuatan politik baru. Sedangkan pada aspek ekonomi, pemekaran wilayah, idealnya akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menginisiasi ke pemerintahan daerah dalam mengoptimalkan berbagai potensi yang dimilikinya (berbagai sumberdaya) untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dan bukan menjadi  organisasi birokrasi yang justru memperkaya diri sendiri.
Dalam konteks tersebut,  Karl D Jackson  pernah mengingatkan bahwa birokrasi di Indonesia merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran structural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimana makna desentralisasi, otonomi daerah dan peluang penataan ekonomi-politik, yang berkaiatan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan sistem birokrasi pemerintahan daerah dalam konteks pemekaran wilayah?
C. Pembahasan
C.1. Otonomi Daerah dan Peluang Penataan Birokrasi
     Otonomi Daerah[1] adalah kewenangan otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri (sumber data: http://id.wikipedia.org/wiki/otonomi_daerah). Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya
Dari pengertian tersebut setidaknya memberikan harapan dua hal, pertama otonomi daerah mendorong kreativitas pemerintah daerah untuk mengoptimalisasi segala potensi yang dimiliki untuk mensejahterahkan masyarakat di derah. Kedua, dari aspek birokrasi, otonomi daerah memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk merumuskan dan menata kembali sistem birokrasi pemerintahan daerah yang lebih baik dan lebih lokalistik.
Pendelegasian dan atau pelimpahan wewenang tersebut tentu saja dipahami sebagai upaya untuk mendorong terwujudnya birokrasi dan pemerintahan daerah yang responsif dan tanggungjawab atas berbagai persoalan di daerah. Konsep desentralisasi  otonomi daerah merupakan upaya membebaskan pemerintah pusat dari berbagai beban yang tidak harus ditanganinya sendiri dan semestinya dilimpahkan ke daerah, sehingga pemerintah daerah berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat harus konsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis[2].
Kebijakan desentralisasi ini tentu saja memberikan manfaat positif yang salah satunya adalah terjadinya proses pembelajaran untuk menjadi pemerintah yang good governance dengan mendorong lahirnya birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik demokratis. Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Jika dipahami sebagai trust, maka konsekuensi logisnya adalah adanya upaya-upaya perbaikan kinerja dan berbagai bentuk pelayanan publik  dan oragnisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (otonom) sehingga pemerintah pusat memfasilitasi berbagai bentuk anggaran yang dialokasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan distribusi berdasarkan kebutuhan masing-masing daerah otonom.
Pemerintah tidak lagi patronase, apalagi mendominasi. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelakasanaan otonomi daerah. Oleh sebab itu dalam kerangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat, birokrasi yang "bersih", dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah.
Visi otonomi daerah menurut penulis, inheren dengan penataan kembali birokrasi pemerintah daerah; dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi utama: politik, ekonomi serta sosial budaya. Pertama di bidang politik,  karena otonomi dipahami sebagai kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka dapat dimaknai sebagai mekanisme baru dalam melahirkan kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyenggaraan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik[3]. 
Kedua, dibidang ekonomi. Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa birokrasi pemerintah daerah untuk berkompetisi dengan daerah lain menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah yang muaranya adalah terciptanya kesejahteraan masyarakat dari waktu ke waktu. Birokrasi di era tonomi otonomi harus dimaknai sebagai manifestasi dari harapan-harapan masyarakat akan hadirnya pemerintah sebagai katalisator, fasilitator dan regulator yang mendorong berkembangnya sektor riil perkonomian masyarakat guna mewujudkan daerah yang sejahterah (konsep wellfare state).
Ketiga, bidang sosial budaya. Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan sekitarnya. Artinya bahwa pemerintah daera dan sistem birokrasinya, bila tidak dikelola dengan baik dan merepresentasikan seluruh kepentingan masyarakat daerah, maka bukan hal tidak mungkin akan menimbulkan konflik. Karena control masyarakat terhadap pemerintah semakin dekat, serta adanya kebebasan bersuara, mengeluarkan pendapat dan berserikat harus direspon oleh birokrasi pemerintah daerah sebagai pengawasan melekat[4].
Pada sisi inilah menjadi penting mempertimbangan konsepsi birokrasi perwakilan sebagai salah satu alternative membangun trust masyarakat terhadap organisasi pemerintah daerah serta merintis jalan dialogisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal penting yang perlu di kelola dengan baik dalam otonomi daerah adalah meniciptakan situasi harmoni dalam kondisi pluralisme, sebab persoalan mendasar dari  dua point (politik dan ekonomi) di atas adalah pada aspek potensi sosial budaya. Kemampuan mengelola aspek ini secara tidak langsung akan berdampak positif pada kehidupan tatanan masyarakat yang berdaulat, sehingga memudahkan pemerintah daerah mengkonsolidasikan seluruh potensi masyarakat sebagai modal membangun daerah.
Bila ditinjau dari dari tiga aspek yang telah disebutkan diatas (politik, ekonomi, sosial budaya), maka pelaksanaan birokrasi pemerintah di era desentralisasi dan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor; 1) kemampuan si pelaksana (birokrat), yaitu berkaitan dengan kesiapan sumber daya manusia dalam mengelola dan menjalankan sistem birokrasi pemerintahan yang baik (good governance); 2) kemampuan dalam keuangan, yaitu berkaitan dengan ketersedian sumber resources yang dimiliki birokrasi pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat dalam membiayai berbagai program dan menyelenggarakan roda pemerintahan. Artinya bahwa birokrasi harus respect terhadap persoalan keuangan. 3) ketersediaan alat dan bahan, yaitu otonomi harus dilandasi oleh ketersediaan infrastruktur dan supra struktur yang mendukung suatu daerah untuk mandiri; 4) kemampuan dalam berorganisasi, yaitu berkaitan dengan kapasitas dan kemauan (capacity and wellingness) yang dimiliki oleh seluruh stakeholders daerah otonom, khususnya kapasitas elit-elit politik dan birokrat dalam membentuk tatanan organisasi masyarakat, organisasi dan birokrasi pemerintahan yang demokratis[5].
C.2. Sejarah Birokrasi Indonesia
            Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup beragam sejak masa kemerdekaan tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai birokrasi di Indonesia. Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa. Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus mengganti pemerintah yang sah.
            Pada perjalanan masa berikutnya, birokrasi kita mulai dihainggapi oleh aspirasi primordial yang kuat. Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah. Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada dibawah kepemimpinan partai politk yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga Eksekutif di mana birokrasi sebagai pelaksana politik menjadi semakin lemah. Hal demikian diakibatkan oleh parta-partai politik yang berdiri pada waktu itu sebagai akibat dari adanya Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai beramai-ramai ingin menguasai berbagai departemen maupun kementerian, bahkan tidak jarang terjadi jatuh bangunnya Kabinet pemerintah hanya dikarenakan oleh tidak meratanya pembagian kementerian yang diinginkan oleh partai-partai. Pada masa ini pula birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu segi kepada partai politik yang didukungnya dan pada sisi lain kepada masyarakat yang dilayaninya
            Kemudian pada masa antara tahun 1960 – 1965 birokrasi menjadi incaran kekuatan politik yang ada. Pada saat itu ada tiga kekuatan politik yang cukup besar yaitu, nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah kekuasaan atau kaplinganya pada berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik tersebut membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah sudah mulai nampak ke-pemihakannya kepada kekuatan politik yang ada. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa birokrasi birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam jaring perangkap yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini dapat dilihat pada saat meletusnya peristiwa G.30 S/PKI kekuatan komunis telah masuk hampir di seluruh departemen pemerintah, sementara kekuatan nasionalis dan agama hanya mendominasi sebagian kecil dari departemen-departemen yang ada.
            Kemudian pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (Era pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokarsi yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut.
            Politik floating-mass (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (men-jadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar.
Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar).
            KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktifitas kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rejim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi kita tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi menggantikan Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali.

C.3. Pemekaran Wilayah, Penataan Birokrasi dan Peningkatan Kesejahteraan
Eforia politik tuntutan elit lokal dan juga masyarakat di daerah untuk membentuk kabupaten baru melalui pemekaran wilayah, tidak hanya menggambarkan tentang kuatnya arus lokal menutut pelimpahan kewenangan dan kekuasaan kepada pemerintah daerah, akan tetapi memberikan signal kepada pemerintah pusat bahwa  prinsip-prinsip uniformitas dan sentralistik sudah tidak relefan untuk dimembangun  pemerintah daerah yang demokratis.
Secara ideal, kebijakan pemekaran wilayah[6] merupakan metode yang relevan (sebagai peluang) untuk membentuk sistem birokrasi pemerintah yang demokratis. Yaitu sebuah sistem birokrasi yang dinah-kodai oleh aktor-aktor baru yang lebih "bersih dan profesional". Sebagai sebuah metode, tentu saja proses pemekaran wilayah disertai dengan kesiapan konsep rekruitmen birokrat yang demokratis dan berpedoman pada aspirasi dan kepentingan masyarakat setempat. Pemekaran wilayah tidak hanya bicara soal desentralisasi kekuasaan dan kewenangan yang sangat politis, akan tetapi hal yang paling prinsipil adalah mempersiapkan mesin birokrasi yang mumpuni; birokrasi dengan para birokrat yang mampu mengintegrasikan tuntutan masyarakat dalam bentuk format birokrasi yang profesionalisme dalam rangkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah[7]. Dengan  katalain bahwa pemekaran wilayah  merupakan proses desentralisasi dan dekonsentrasi penyelenggaraan sistem pemerintaahn baik secara de yure maupun de facto dengan tujuan untuk memacu kesejahteraan suatu wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat, meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan (evective governance) memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat (public goods) dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (governabilty).
Kita ketahui bahwa birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi modern. Officialdom ini memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan tahta, apabila  kontrol dari masyarakat sangat lemah. Kerajaan modern ini bekerja dalam tatanan pola hirarki sebagai perwujudan dari tingkat dan otoritas kekuasaannya. Mereka yang menduduki jabatan dalam kerjaan modern ini memperoleh gaji berdasarkan keahlian, kompetensi dan status/jabatanya. Maka menjadi sangat penting mendorong kerajaan modern ini melakukan kerja-kerja pelayanan berbasis pada nilai lokalitas dan kepentingan masyarakat setempat. Dengan ciri khas sistem kerja mereka selalu berbasis legal formal prosedural yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, Peraturan pemerintah, Peraturan Menteri, dan bahkan memiliki standar operasional yang diseragamkan (sebagai hasil dari bentuk organisasi yang hirarki).  Kerajaan modern ini memiliki struktur dan sistem kerja yang "disiplin dan kaku".
Pada birokrasi pemerintah, pejabat yang menduduki jabatan tertentu memiliki kekuasaan yang amat menentukan, karena disusun dalam tatanan hirarki dari atas kebawah; mendapatkan fasilitas yang lengkap, sedangkan rakyat tetap tak berdaya; dan seringkali birokrasi pemerintah dapat juga disebut kerajaan pejabat yang jauh dari rakyat sebagai akibat dari pola kerja yang dilakukan cenderung tertutup. Inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab terjadi disharmonisasi hubungan masyarakat (pemenerima layanan) dengan birokrasi. Eskalasi resistensi yang seringkali berakhri dengan konflik antara masyarakat dengan birokrasi maupun masyarakat dengan masyarakat. Pola  rekruitmen yang melanggengkan kekusaan satu kelompok tertentu atau satu etnis tertentu, pemberian pelayanan yang tidak adil dan diskriminatif seringkali terjadi pada bentuk  officialdom.

C.4. Birokrasi Perwakilan; Kritik Terhadap Konsepsi Weber
 ...tulisannya dalam Personel Administration (1967),  Waren Bennis mengatakan bahwa birokrasi Weberian sekitar 25-50 Tahun yang akan datang kita akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan  harapan masyarakat pada abad ke 20. Warren Bennis (1967):
Konsepsi birokrasi Weber, yang dianut dalam organisasi pemerintahan, khususnya di Indonesia saat ini, banyak memperlihatkan cara-cara officialdom, karena ada ketergantung rakyat terhadap pejabat birokrasi dalam penyelesaian urusan masyarakat. Profesionalisme birokrasi yang utarakan Weber, kadangkala  menegasikan "rasa keadilan" khsusunya dalam proses rekruitmennya. Dalam konteks birokrasi di Indonesia (era desentralisasi), konsepsi Weber tentang birokrasi harus kombinasikan dengan model birokrasi perwakilan dalam membentuk sistem birokrasi yang demokratis, dengan tujuan agar birokrasi dan berbagai produk pelayanan yang disampaiakn memuat unsur-unsur keadilan dan meminimalisir terjadinya resistensi dan bahkan konflik.
Birokrasi perwakilan secara konseptual, kadangkala diasumsikan berkarakter pasif. Sifat pasif dari perwakilan dimaknai sebagai kondisi dimana birokrasi dalam pemerintahan mewakili konfigurasi sosial yang ada dalam ranah masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Lawrence dan Lorch (1967): bahwa bentuk organik yg berupa birokrasi itu seyogyanya hanya cocok untuk situasi lingkungan komplek dan tidak menentu, bukannya yang selama ini terjadi hanya untuk hal-hal yang bersifat rutin dan stabil. Jika birokrasi ingin survive, maka birokrasi harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah. Point penting yang dikemukakn oleh Lawrench adalah birokrasi harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan social. Artinya bahwa  menjadi sangat tidak "keliru"  bila konsep birokrasi di Jawa harus sama dengan model kerja  birokrasi di luar jawa. Inilah yang menjadi titik penting konsep desentralisasi; tidaknya pada walayah politis, akan tetapi pada ranah birokrasi, pemerintah daerah memiliki otonom untuk membentuk system birokrasi yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Konsep birokrasi perwakilan menurut penulis adalah salah satu cara yang inheren konsep desentralisasi dalam membentuk birokrasi pemerintah daerah. Kondisi ini tentusaja relevan dengan sistem politik kita saat ini. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan pemilihan anggota legislative dengan mekanisme suara terbanyak, setidak menjadi signal bahwa bicara soal representatif goverment  secara langsung dan tidak langsung kita juga harus berbicara tentang birokrasi perwakilan. Karena tidak ada birokrasi yang hampa terhadap politik.
Dalam rangka membangun birokrasi pemerintah daerah masa depan yang demokratis, maka prinsip-prisnip unformitas dan sentralisasi birokrasi harus  diganti dengan prinsip–prinsip birokrasi demokratis.  Meminjam Heckscher dan Donellon (1994), bahwa bentuk organisasi birokrasi masa depan adalah apa yang mereka namakan Post Bureaucratic Organixation, yaitu organisasi birokrasi yang tidak secara absolut menggunakan konsepsi Weberian.  Bentuk organisasi birokrasi masa depan tidak hanya menempatkan diri kohirensi internal dan pemusatan kekuasaan, tetapi juga memusatkan pada interaksi eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan dengannya.
Birokrasi perwakilan dalam kontekas desentralisasi, meminjam Bacracah, bahwa menempatkan kekuasaan bukan sebagai satu-satunya alat yang ampuh untuk melaksanakan mekanisme birokrasi tanpa diimbangi kewenangan melalui persuasi dan dialog. Powering tidak lagi menjadi kunci utama mengendalikan mesin birokrasi pemerintah tanpa harus diimbangi dengan cara-cara yang berisfat empowering (Bacrachh, 1992). Hal ini sejalan dengan pikiran Sthepen H. Rhinesmith, dalam Manager Guide to Globalization, 1996. ia mengatakan bahwa birokrasi yang tertutup dan centeralized cenderung menghasilkan kelangkaan open people di dalamnya.  Oleh sebab itu upaya mereformasi birokrasi pemerintah yang mendasar adalah mengubah mindset (birokrasi terhadap kekuasaan) dan perilaku dari para pelaku birokrasi publik.

C.5. Birokasi Pemerintah sebagai Mesin Pelayanan Publik
Dalam sistem ketatanegaraan maupun dalam disiplin ilmu sosial politik, bahwa birokrasi pemerintah ada karena untuk melayani masyarakat, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara harus mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat berdasarkan aspirasi dan tingkat kebutuhannya. Pelayanan publik merupakan roh atas terbentuknya sebuah pemerintahan, maka menjadi ironi kemudian jika pemerintah hanya melayani dirinya sendiri.
Pelayanan publik merupakan sistem yang terintegrasi dalam tatanan kebijakan pemerintah, oleh sebab itu isu pelayanan publik menjadi isu sentral akhir-akhir ini, apalagi dalam konteks pemekaran wilayah dan otonomi daerah. Dimana tujuan utama  sistem desentralisasi adalah menciptakan pelayanan publik yang efektif dan afisien. Pelayanan publik tidak hanya diselenggarakan atau dikelola oleh pemerintah akan tetapi dewasa ini, pelayanan publik juga dikelola oleh pihak pemodal/swasta yang tentunya berorientasi pada keuntungan (bussiness oriented)[8].
Pelayanan publik terutama yang menyangkut pelayanan dasar (hak-hak dasar) seperti pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana umum, jaminan sosial, ataupun identitas warga yang harus ”diproteksi” dan diselenggarakan oleh negara atau menjadi tanggung jawab negera sebagai bentuk pertanggung jawaban dari adanya kontrak sosial (rakyat-negara), kini telah bergeser dikelola oleh pihak swasta/pemodal[9]  Pelayanan publik sebagai wujud nyata dari kebijakan pemerintah, maka spirit dalam kebijakan tersebut sudah semestinya mengedepankan pemenuhan aspirasi dan tuntutan masyarakat.
Hal senada juga dikemukan oleh Budiman Rusli yang berpendapat bahwa selama hidupnya, manusia selalu membutuhkan pelayanan. Pelayanan menurutnya sesuai dengan  life cycle theory of leadership (LCTL) bahwa pada awal kehidupan manusia (bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi, tetapi seiring dengan usia manusia pelayanan yang dibutuhkan akan semakin menurun (Budiman Rusli, Pelayanan Publik di Era Reformasi, www.pikiran-rakyat.com edisi 7 Juni 2004).
 Namun demikian dari pendapat tersebut harus dipahami bahwa pelayanan itu merupakan sebuah proses berdasarkan tingkat kebutuhan. Dan dalam konteks birokrasi pemerintahan, bahwa semakin banyak jumlah penduduk, semakin banyak kebutuhannya serta semakin kompleks persoalan yang dihadapi, dan pemerintah ada untuk memfasilitasi dan bahkan menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sebagai warga negara.
Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit, mahal, dan melelahkan. Kecenderungan seperti ini itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang ”melayani” bukan yang ”dilayani”. Oleh karena itu dibutuhkan formulasi pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan ”pelayan” dan yang ”dilayani” ke pengertian sesungguhnya[10].
Dengan demikian pelayanan publik adalah  pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh birokrat sebagai penyelenggaran birokrasi pemerintah.  Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual, akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misal kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Osborn dan Plastrik mencirikan pemerintahan (birokrat) sebagaimana diharapkan di atas adalah pemerintahan milik masyarakat, yakni pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Pelayanan yang diberikan oleh birokrat ditafsirkan sebagai kewajiban bukan hak karena mereka diangkat oleh pemerintah untuk melayani masyarakat, oleh karena itu dibangun komitmen yang kuat untuk melayani sehingga pelayanan akan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan dapat merancang model pelayanan yang lebih kreatif, serta lebih efisiensi[11] 
Sebagaimana yang tercantum dalam klausul kebijakan desentralisasi, bahwa otonomi daerah dimaksudkan untuk mempermudah proses pelayanan publik dan menciptakan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah. Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi pemerintah daerah untuk mengartikulasikan dan merumuskan aspirasi dan kepentingan masyarakat sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat daerah.
Secara teoritis, tujuan birokrasi memberikan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:
1.      Transparansi beuracatic, yakni pelayanan birokrasi yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan
2.      Akuntabilitas beuracatic, yakni birokrasi dalam memberikan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.      Konditional beuracatic, yakni birokrasi memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; tatan dan sistem birokrasi harus respect dengan persolan masyarakat.
4.      Partisipatif beuracatic, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat;
5.      Birokrasi Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun, khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain
6.      Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.

Keenam point yang berkaitan dengan kualitas kinerja birokrasi pemerintah di atas, secara eksplisit ingin menekankan kepada para penyelengggara pelayanan publik bahwa memberikan pelayanan bukan hanya sekedar ”melayani” akan tetapi prinsip-prinsip yang substantif harus di terjemahkan dalam setiap bentuk layanan tersebut, sehingga masyarakat sebagai penerima layanan mendapatkan hasil yang maksimal atau dengan katalian kepuasan atas kualitas layanan yang diberikan (dalam hal ini pemerintah atau birokrat sebagai penyelenggara layanan publik). Dimana keenam point tersebut menjadi pijakan utama oleh pemerintahan daerah  dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Deskripsi dari kualitas layanan publik yang prima, tentu saja tidak parsial, hanya menekankan pada satu satu aspek tanggungjwab saja, akan tetapi akselerasi antara kemauan pemerintah (welling ness government) dan kapasitas (government capacity) dalam merumuskan dan mengimplementasikan berbagai pelayanan publik merupakan kunci utama untuk mendapatkan hasil layanan yang baik (public goods).  Oleh sebab itu untuk memperoleh pelayanan yang berkualitas, maka sangat diperlukan beberapa unsur penting layanan publik yang sekaligus yang menggambarkan karakteristik suatu produk layanan antaralain; Pertama, kinerja  (performance) yaitu berkaitan dengan kemauan dan optimalisasi peran aktor dan institusi (pemerintah/birokrat) dalam memberikan berbagai bentuk layanan kepada masyarakat dengan berpijak pada enam (6) prinsip tersebut diatas; ( transpransi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak,  serta keseimbangan hak dan kewajiban).
Kedua, keandalan (reliability), yaitu suatu bentuk layanan publik tidak hanya sekedar memberikan layanan kepada masyarakat akan tetapi, jenis dan bentuk layanan yang diberikan harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat tidak mengeluh atas layanan yang diberikan. Dengan katalain bahwa suatu layanan yang diberikan harus bisa menjamin kepuasan masyarakat. Ketiga, mudah dalam penggunaan (ease of use), yaitu berbagai bentuk layanan yang diberikan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggunakan dan menikmati layanan tersebut, sehingga layanan tersebut efektif diterima oleh masyarakat sebagai pengguna (end user). Keempat, estetika (esthetics), bahwa sebuah bentuk layanan publik sangat penting untuk memasukan unsur estetika, karena dengan unsur tersebut akan memudahkan masyarakat untuk menerima  bentuk layanan tersebut. Artinya bahwa estetika tentu saja bukan hanya terletak pada bentuk barang yang disajikan akan tetapi cara melayani-pun dibutuhkan estetika yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat, dengan tujuan untuk memudahkan penerimaan suatu bentuk layanan publik.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Gaspersz dalam Sampara Lukman dan dikutip dalam Reformasi Pelayanan Publik, bahwa pada dasarnya kualitas pelayanan publik mengacu pada pengertian pokok:
1.      Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk;
2.      Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.[12]
Jadi dalam konteks otonomi daerah, maka birokrasi adalah pelayanan publik, merupakan tanggung jawab pemerintahan daerah. Birokrasi publik adalah pelayanan yang memberikan kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat tanpa membedakan status sosial, ekonomi, suku dan agama. Oleh sebab itu agar  birokrasi pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan berkualitas, maka pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik setidaknya memiliki sistem manajemen pelayanan yang berkualitas pula. Sehingga indikator penting yang dapat dilihat dalam pelayanan publik di bidang kesehatan antaralain:
1.      Adanya komitmen dari manajemen pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik,
2.      ketersediaan pengetahuan dan kepahaman tentang manajemen kualitas bagi aparatur yang bertugas melayani;
3.      kemampuan aparatur mengubah kultur yang mempengaruhi kualitas manajemen pelayanan pelanggan;
4.      optimalisasi pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan guna mendukung sistem pelayanan;
5.      kemampuan membangun learning organization, learning by the individuals dalam organisasi;
6.      adanya kesesuaian antara struktur organisasi dengan kebutuhan;
7.      kecukupan sumber daya dan dana;
8.      ketepatan sistem pengharagaan dan balas jasa bagi karyawan;
9.      ketepatan mengadopsi prisnisp manajemen kualitas kedalam organisasi;
10.  ketepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan (masyarakat sebagai yang dilayani) baik internal maupun eksternal;
11.  ketepatan dalam pemberdayaan dan kerjasama.
           
            Demikian halnya yang dikemukakan oleh Fitzsimmon dalam Lijan Poltak Simanjutak, berpendapat bahwa terdapat lima indikator pelayanan publik, yaitu relaibility yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar; tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya; responsiveness, yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat; assurance, yang ditandai tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan empati, yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen (Fitzsimmon dalam Lijan Poltak Simanjutak; reformasi pelayanan publik, hal;7).

C.6. Skema Birokrasi Publik yang Responsif
            Lembaga publik yang sulit melakukan reformasi adalah birokrasi. Padahal, pasca reformasi, banyak hal yang telah perubahan, khususnya pada ranah demokrasi, politik dan  developmentalisme, namun hingga saat ini kita masih merasakan bahwa birokrasi masih seperti yang dulu. Birokrasi yang lambat, berbelit-belit, mahal dan kaku.  Sangat beralasan bahwa birokrasi publik dibentuk dan diadakan untuk melayani masyarakat, sudah seharusnya birokrasi publik lebih banyak berpikir dan bertindak untuk kepentingan masyarakat. Bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri. Konsekuensinya, para pelayan publik ini harus mampu mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompoknya demi kepentingan masyarakat yang lebih luas
            Berbagai persoalan yang “menyerang” birokrasi publik kita (bureaupatology) kini bisa dikatakan sangat parah. Ibarat manusia yang terserang kanker ganas, ia harus segera dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk segera dibedah dan dibuang penyakitnya sesegera mungkin karena jika tidak dilakukan, ia akan segera mati. Salah satu penyakit birokrasi publik yang harus segera dihilangkan adalah penyakit “tidak responsif
            Birokrasi publik tidak memiliki daya tanggap yang cepat dan kepedulian yang tinggi terhadap berbagai keluhan dan kritikan dari masyarakat yang notabene menjadi kliennya dalam proses pelayanan publik. Keluhan dan kritikan dari masyarakat sering diabaikan birokrasi publik. Lihatlah berbagai kritikan dan keluhan masyarakat yang sering dimuat diberbagai media (cetak dan elektronik), apakah sudah ada yang ditanggapi aparat birokrasi kita? Jika ada berapa banyak perbandingannya antara keluhan dan tanggapan? Sangat sedikit sekali.
            Aparat birokrasi publik seharusnya menempatkan masyarakat pada posisi segalanya. Menjadikan rakyat sebagai “raja” dan dirinya sebagai “abdi” sepertinya memang terkesan ekstrem. Tapi, memang inilah yang harus dipahami jika menginginkan birokrasi publik yang responsif. Ada beberapa hal berkenaan dengan kebijakan reformasi birokrasi yang perlu diperhatikan: moralitas birokrat, sistem, dan prosedur pelayanan serta sistem penghargaan dan sanksi. Tentu di luar itu masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan, baik dalam perspektif politik maupun ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya.
            Pertama, moralitas birokrat. Untuk memperbaiki moral ini satu-satunya jalan adalah dengan meningkatkan pemahaman (tidak sekadar pengetahuan) para aparat birokrasi terhadap kewajibannya. Pelatihan-pelatihan untuk birokrasi harus di-setting tidak hanya sebagai syarat untuk menduduki jabatan tertentu tetapi juga harus mampu memberikan sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Para aparat birokrasi tidak hanya perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang hanya berorientasi pada IQ (intelligence quotient) atau kemampuan otak dan EQ (emotional quotient) atau kemampuan mengelola emosi, tetapi yang lebih penting adalah materi pelatihan yang berorientasi pada SQ (spiritual quotient) atau kematangan spiritualitas (keberagamaan). Kematangan spiritualitas ini menjadi sangat penting mengingat hanya inilah yang dapat membentengi para aparat birokrasi dari perilaku yang korup.
            Adanya keluhan masyarakat/pelanggan yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan pejabat publik (birokrasi) merupakan suatu indikator pelayanan pemerintah dianggap masih lamban, kurang responsif terhadap keluhan dan kebutuhan masyarakat, kurang terbuka, kurang efisien, dan sering melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan demikian, sering terjadi protes keras, unjuk rasa dan sebagainya dari masyarakat/publik; yang mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan dan krisis kewibawaan pejabat publik di mata masyarakat.
            Kedua, sistem dan prosedur birokrasi. Selama ini sistem dan prosedur pelayanan yang diterapkan birokrasi adalah sistem dan prosedur yang dirasakan rumit dan berbelit-belit oleh masyarakat. Walaupun para pejabat menganggap sistem dan prosedur itulah yang baik dan pas, tetapi lagi-lagi yang merasakan adalah masyarakat yang menggunakan sistem dan prosedur itu. Semangat debirokratisasi yang pernah muncul harus segera direalisasikan, sehingga dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. Menurut Max Weber, birokrasi adalah organisasi rasional yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan. Karena itu, birokrasi yang baik harus memenuhi karakteristik sebagai berikut: spesialisasi, organisasi yang hierarkis, sistem aturan (system of rules), impersonality, struktur karier, dan efisiensi.
            Ketiga, sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system). Sistem penghargaan dan sanksi dalam birokrasi publik sangat tidak jelas dan tidak adil. Aparat tingkat bawah yang notabene selalu berhadapan dengan masyarakat tidak pernah menerima penghargaan atas prestasi yang diraih. Penghargaan selalu untuk atasannya, yang terkadang tidak tahu-menahu tentang apa yang sudah dilakukan bawahannya.
            Sebaliknya, sistem sanksi yang diberikan juga tidak jelas. Kemalasan dan ketidakdisiplinan birokasi publik kita sangat tinggi. Tapi, mereka tidak mendapatkan sanksi yang dapat mengubah perilaku mereka. Bagaimana mereka dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal jika hadir di kantor saja tidak, yang rajin datang ke kantor saja sering tidak memberikan pelayanan yang maksimal tersebut. Inilah salah satu penyakit birokrat kita. Oleh sebab itu, sistem penghargaan dan sanksi ini harus dibuat secara adil sesuai dengan prinsip equal work equal pay (siapa yang kerja baik akan mendapatkan gaji yang banyak). Di samping itu, perlu pula dibentuk sistem penilaian yang jujur dan profesional
C.7. Representasi Birokrasi: melayani Tuntutan Masyarakat
            Selain tuntutan untuk mengembangkan birokrasi yang netral seperti disampaikan di atas, wajah birokrasi di Indonesia juga dituntut untuk mampu merepresentasikan karakteristik masyarakat yang diwakilinya. Ide tentang representasi birokrasi ini sudah cukup banyak berkembang di negara-negara Barat. Pada tahun 1944 misalnya, Donald Kingsley melakukan kajian di Inggris yang menyimpulkan tentang pentingnya keterwakilan semua kelas sosial dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil di Inggris. Dala sejarah pemikiran tentang birokrasi, David Levitan (1946) juga mengemukakan pentingnya representasi dalam tubuh birokrasi di Amerika Serikat. Dari gagasan ini kemudian Reformasi kepegawaian di Amerika Serikat juga mengadopsi pentingnya keterwakilan dalam birokrasi, karena semakin beragam komposisi pegawai dalam sebuah instansi akan semakin meningkatkan penerimaan masyarakat.
            Kajian mengenai representasi birokrasi selanjutnya dilakukan oleh Jessica Sowa & Sally Selden (2003) yang mengemukakan bahwa semakin beragam komposisi pegawai dalam birokrasi (semakin mencerminkan karakteristik demografis dan sosial masyarakat) maka birokrasi akan semakin responsif terhadap keinginan publik sebagai target pelayanan. Dalam kondisi ini, maka kualitas proses pelayanan publik juga akan semakin meningkat karena adanya keterikatan emosi antara pemberi pelayanan dengan masyarakat yang dilayani.
Menurut Jessica Sowa & Sally Selden, setidaknya terdapat 2 macam birokrasi perwakilan yaitu:
1.      Birokrasi perwakilan aktif yang ditandai oleh proses perekrutan yang mempertimbangkan komposisi penduduk, selanjutnya birokrat akan bekerja khusus melayani segmen masyarakat yang diwakilinya.
2.      Birokrasi perwakilan pasif, yang dicirikan oleh proses perekrutan yang memperhatikan komposisi demografi penduduk yang diwakili, tetapi setelah terpilih, birokrat tidak secara spesifik bekerja untuk melayani kelompok masyarakat yang diwakilinya.
Kajian yang dilakukan oleh Sowa dan Selden, menunjukkan bahwa model birokrasi perwakilan cenderung berubah dari birokrasi perwakilan pasif menuju birokrasi perwakilan aktif yang didorong oleh tiga faktor, yaitu latar belakang birokrat, nilai-nilai yang dianut, dan pengalaman birokrat.
Pendapat lain tentang representasi birokrasi disampaikan oleh F Cardoso Gomes, 1995 yang mengemukakan bahwa representatif birokrasi merupakan sebuah affirmative action yang menekankan pada perlunya sebuah organisasi memperhatikan perwakilan proporsional berdasarkan presentase penduduk dari masing-masing kelompok masyarakat. Representative birokrasi mendasarkan cara merekrut, mempekerjakan, dan mempromosikan pegawai sesuai dengan komposisi masyarakat.
Selain itu, D Waldo, 1995 juga mengemukakan bahwa representative birokrasi adalah birokrasi yang mencerminkan keadaan dan komposisi masyarakat, baik dari segi geografis, klas, etnis, dsb. Representative birokrasi dianngap sebagai langkah untuk mewujudkan nilai sosial dalam birokrasi publik yang lebih terbuka, sensitif, serta partisipatif. Dengan adanya tuntutan agar wajah birokrasi lebih representatif sesuai karakteristik masyarakat yang diwakilinya ini, ternyata juga menimbulkan masalah lain, salah satunya, hal ini berakibat pada munculnya dilema gagasan representasi birokrasi denagn  prinsip meritokrasi yang menginginkan prosefionalisme para birokrat dalam melaksanakan tugasnya.
Beberapa kajian tentang representasi birokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa faktor etnisitas sangat diperhitungkan dalam menentukan proses rekrutmen dan penempatan jabatan birokrat. Misalnya studi yang dilakukan oleh Thomas Didimus Dagang di Kupang menunjukkan bahwa ada dominasi etnis tertentu (Sabu dan Atoni Meto) dalam proses rekrutmen dan penempatan jabatan birokrat (Dagang, 2004).
Contoh kasus tentang representasi birokrasi juga dapat dilihat di Provinsi Maluku tepatnya di Ambon. Pasca konflik 1999 di Maluku, terjadi segregasi sosial yang sangat atajam antara kelompok muslim dan kristen. Segregasi sosial yang sangat nampak pada pemisahan lokasi tempat tinggal penduduk islam dan kristen ini juga berpengaruh pada model pelayanan kepada masyarakat. Untuk mewujudkan prinsip keadilan sosial dalam pelayanan dan sekaligus sebagai media manajemen konflik, proses rekrutmen birokrasi kemudian mengadopsi prinsip perwakilan yang memperhitungkan keseimbangan komposisi jumlah pegawai yang beragama islam dengan kristen (Umasugi, 2006).

C.8. Posisi dan Model Birokrasi Pemerintahan Daerah Otonom
Permasalahan dalam mewujudkan birokrasi yang netral di Indonesia hanya dapat diatasi jika kita telah mampu mengambil langkah kebijakan yang jelas dalam mengambil posisi model birokrasi yang akan kita anut. Selama ini, ada dua macam model birokrasi yang berkembang luas, yakni model klasik Eropa, dan model klasik Amerika yang telah mengalami beberapa perubahan.
Pertama, Model Birokrasi Netral Murni. Model ini yang banyak dianut adalah model Eropa yang menekankan pada prinsip netralitas birokrasi. Dlam model ini proses rekrutmen, promosi, dan depromosi birokrasi menjadi urusan internal birokrasi, dan tidak boleh dipengaruhi oleh sikap atau keputusan politisi. Dengan model ini maka birokrasi dapat menjaga prinsip profesionalisme dan keahlian (meritokrasi) birokrasi. Sementara kelemahannya birokrasi dimungkinkan menjadi tidak terkontrol, oligarkis, dan tidak mengacu pada kemauan demokrasi. Dalam kondisi ini maka tesis Etzioni-Halevi tentang birokrasi menjadi dilema bagi demokrasi sangat mungkin terwujud.
Kedua, Model Loyalitas Politik Birokrasi. Model kedua adalah model yang dianut Amerika yakni model birokrasi semi spoil. Dalam model ini proses rekrutmen, promosi, dan depromosi birokrasi dibedakan pada dua lapis:
1)      Pada lapis elit (policy maker), pada lapis ini proses rekrutmen, promosi, dan depromosi ditentukan oleh mekanisme politik, atau melalui penunjukan oleh Kepala Pemerintahan.
2)      Pada lapis birokrasi menengah ke bawah, proses rekrutmen, promosi, dan depromosi birokrasi menjadi urusan internal birokrasi dengan mengedepankan standar profesionalisme atau keahlian.
Melalui mekanisme yang demikian, maka kelebihannya adalah birokrasi dapat diarahkan oleh politisi yang telah dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi, namun kekurangannya birokrasi menjadi bisa dimanipulasi/dikendalikan untuk kepentingan parpol jika tidak dikontrol dengan mekanisme pengawasan yang lain.
Berangkat dari dua model pengorganisasian birokrasi di atas, sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengembangkan satu model birokrasi sendiri yang mengkombinasikan antara dua model di atas. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, birokrasi dijaga tetap netral dengan mengacu pada prinsip meritokrasi, tetapi pada level top politisi didukung oleh lembaga sekretariat politik yang direkrut secara politik tanpa sistem karier. Melalui model ini, maka diharapkan birokrasi bisa tetap netral dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sementara dilema antara birokrasi dan demokrasi dapat dijembatani dengan kehadiran sekretariat politik (staf khusus) yang dipilih secara politis, tetapi juga mempunyai keahlian khusus sehingga dapat mengimbangi profesionalisme birokrasi.

C.9. Peluang Ekonomi; Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah
Dalam perspektif ekonomi, pemekaran wilayah (dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah), dapat dijadikan sebagai pintu masuk dalam penataan dan pembangunan daerah, dimana daerah otonom memiliki kewenangan dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah serta pengelolaan keuangan daerah. Dua kewenangan yang saling beririsan tersebut adalah peluang bagi daerah otonom untuk  menyusun perencanaan yang berperspektif lokal (aspiratif/sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah). hal inilah yang di rekomendasikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 25 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten atau daerah kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
  1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang ditetapkan dengan Perda;
  2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang ditetapkan dengan Perda
  3. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah pusat.
Peyusunan rencana pembangunan daerah, merupakan pijakan dan pedoman bagi pemerintahan daerah dalam menata dan membangun daerah. selama ini banyak daerah-daerah di Indonesia (hasil pemekaran dan otonomi), yang terjebak pada  aspek politis, yaitu rencana pembangunan daerah yang lebih mengedepankan kepentingan politik rezim yang berkuasa ataupun rezim partai dan cenderung mengesampingkan aspek kesejahteraan masyarakat secara umum.  Sehingga dalam dokumen rencana pembangunan tersebut hanya berisi daftar isian proyek yang akan dibagi-bagikan sesuai kepentingan politik rezim.
Faktor gagalnya  pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, bila ditinjau dari aspek perencanaan pembangunan daerah, antaralain: pertama,  ketidak mampuan pemimpin dan pemerintahan daerah dalam memetakan  berbagai potensi yang ada di daerah (  modal alam, modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial) sebagai rumusan dalam menyusun rencana pembangunan. Kedua, birokratisasi (bad governance) dalam memberikan pelayanan kepada investor untuk membagun kerjasama pada bebagai bidang. Ketiga, proses penyusunan rencana pembangunan daerah yang masih menggunakan pendekatan top down. Keempat, perilaku KKN masih menggeliat dalam birokrasi pemerintahan daerah.  Kelima,  pemerintah daerah  belum memposisikan desa dan kawasan pinggiran sebagai basis pertumbuhan ekonomi, karena selama ini, ada kecenderungan daerah pemekaran dan daerah otonom, menempatkan kota sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Keenam,  inkonsistensi program pemerintah pusat terhadap daerah, yang ditandai banyak prgram-program yag bersifat sektoral yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui masing-masing departemen, dimana program-program tersebut banyak yang tidak relevan dengan kebutuhan dan visi pembangunan daerah.
Bila ditinjau dari aspek keuangan daerah, penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Artinya bahwa, sudah saatnya pemerintah pusat, tidak lagi melakukan proyek sektoral, akan tetapi bersama-sama pemerintahan daerah mengakselerasikan  berbagai program pembangunan yang berkelanjutan, sehingga konsep tesebut dapat meminimalisir terjadinya politisasi rencana pembangunan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa; kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.
Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.
Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
  1. pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi: (a) hasil pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;
  2. dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil; (b). Dana Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan
  3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah pusat setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah

D. Penutup
            Uraian-uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa, pertama, birokrasi akan selalu terkait dengan politik dan kekuatan politik; dalam hal ini politik diartikan sebagai kekuasaan untuk membuat keputusan, sedangkan kekuatan politik adalah semua agresi politik yang berwujud partai politik. Untuk menghindari axioma politik yang menya-takan bahwa "jika birokrasi lemah, maka kekuatan politik bisa kuat dan sebaliknya, bila kekuatan politik lemah, maka birokrasi akan menjadi kuat", maka kedua-duanya perlu diberikan peran yang lebih aktif. Artinya kita tidak ingin bersikap terlalu dikotomis dalam melihat antara peran administrasi/ birokrasi dengan peran kekuatan politik. Sebab jika birokrasi hanya diberi tugas untuk melaksanakan kebijakan politik tanpa dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, dikawatirkan mereka tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa ikut memiliki segala kebijakan yang diembankan kepadanya untuk diimplementasikan. Karenanya kadang muncul perilaku birokrat yang birokratis, menghambat, sabotase, frustasi, inefisiensi dan sebagainya.
            Kedua, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul perasaan tanggung jawab dan sekaligus akuntability, responsibility terhadap serta bisa meneguhkan posisi birokrasi di hadapan mereka. Dan untuk menghindari munculnya the authoritarian birokrasi, maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada juga dari lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak merasa kebal kritik, merasa tidak pernah salah, arogan dan sebagainya.
            Ketiga, Upaya menata ulang birokrasi atau dengan katalain mereformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi. Dimana pada langkah internal: 1) Meluruskan orientasi. Artinya reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat. 2) Memperkuat komitmen, yaitu tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.3) Membangun kultur baru, yaitu kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.4) Rasionalisasi, yaitu struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi. 5) Memperkuat payung hukum; upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan. 6) Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Artinya semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
            Keempat reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perlu dilakukan: a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.  Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan. b) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
            Kelima, melakukan upaya eksternal dalam menata lang birokrasi, antaralain: 1) Komitmen dan keteladanan elit politik; yaitu reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat. 2) Pengawasan masyarakat; bahwa reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.
            Keenam; Sukses atau gagalnya penataan pemerintahan yang baik dan peningkatan kesejahteraan rakyat, cukup terkait dengan kemampuannya untuk mengambil jarak terhadap kepentingan politik elit/rezim/partai politik. Bahwa sangat penting bagi pemerintahan daerah untuk memposisikan diri sebagai institusi profesional yang pro terhadap kesejahteraan rakyat dengan memasukan  dua konsep strategis dalam dokumen rencana pembangunan daerah, yaitu pro poor dan pro growth.


Daftar Bacaan:
Abdulah Wahab, Solihin, Dr.,M.A., 2001, Analisisi Kebijaksanaan; dari Formulasi ke Implemnetasi Kebijakasanaan Negara, Jakarta, PT Bumi Aksara
Annual Report, 2001-2002, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Yogyakarta; IRE Press.
Budiman, Arif, 2001, Negara dan Masyarakat Madani, dalam St. Sularto (ed), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Jakarta ; Penerbit Buku Kompas, hal; 30-42.
Eko, Sutoro, 2003, Transisi Demokrasi Indonesia : Runtuhnya Rezim Orde Baru, Yogyakarta, APMD Press.
           
Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, APMD Press
Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia ; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Miftah Thoha, Prof, DR, MPA, 2003,  Birokrasi & politik Indonesia, Jakarta, PT Raja
             Grafindo Persada.
Mohtar Masoed, DR, 1997, Politik, Birokrasi dan pembangunan,  Jogjakarta, Pustaka Pelajar
           
Poltak Sinambela, Lijan, Dr, M.M., M.Pd., dkk, 2008,  Reformasi Pelayanan Publik; Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta, PT Bumi Aksara.
Winarno, Budi, Prof, Dr, MA,. 2007, Kebijakan Publik;Teori dan Proses, Yogyakarta, Medpress (Anggota IKAPI).
.
           
Dokumen-Dokumen :

Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 8 tahun 2003, tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi NTT






[1] Secara epistimilogi, kata otonomi berasal dari bahasa latin yaitu autos yang berarti berdiri sendiri dan namos yang berarti aturan. Bila diterjemahkan secara harafiah maka otonomi merupakan zelfwetgeving yaitu pemerintahan sendiri. Sedangkan secara terminologi, otonomi merupakan pemerintahan yang memiliki kewenangan dan otoritas dalam menyelenggarakan membuat dan melasanakan berbag ai bentuk kebijakan dan pelayanan publik.
[2] (H. Syaukani, HR, dkk, dalam Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, hal 172-173
[3] Sebagaimana yang di mandatkan dalam UU No.32/2004 yang salah satu klausul pentingnya adalah adanya pemilihan kepala daerah secara lansung oleh masyarakat. Pada aspek ini terbukanya arena kontestasi politik yang demokratis, sehingga masyarakat dapat memilah dan memilih pemimpin yang mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang baik (public goods
[4] (Baca Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, hal  174-175).
[5] Keempat hal itu diperlukan oleh daerah sebab dalam kebijakan otonomi  daerah (UU No.32/2004), yang menekankan pada daerah yang otonomi pada wilayah kabupaten/kota, memberikan batasan-batasan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten. Dan wewenang yang tidak di limpahkan ke pemerintah otonom adalah mencakup bidang-bidang seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman (Baca UU No. 32/2004, klausul yang menjelaskan tentang beberapa kewenangan daerah dan kewenangan pemerintah pusat dalam otonomi daerah).
[6] dalam konsep kebijakan  otonomi daerah, dimana dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pembentukan daerah dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku; undang-undang pembentukan daerah sebagaimana yang dimaksud, antaralain mencakup nama, cakupan wilayah, batas kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintah, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen serta perangkat daerah. Selanjutnya dalam ayat 3 pasal 4 menyebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Ayat 4; pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksudkan pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan
[7] pemakaran wilayah sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No.32 tahun 2004, merupakan proses pemisahan dan atau pembagian satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan memenuhi empat syarat, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan (Pasal 5 ayat 2 UU No.32/2004; syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (ayat 3); Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD  provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (ayat 4); Syarat teknis sebagaimana yang dimaskud, meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. (ayat 5) syarat fisik sebagaimana dimaksud, meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan satu provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan)
[8] Dalam studi kebijakan publik, pelayanan publik merupakan bahasan yang paling utama, sebab berbicara mengenai kebijakan (kebijaksanaan publik) berarti berbicara mengenai tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar, yang bermuara pada pemenuhan akan hak-hak dasar masyarakat dalam bentuk pelayanan yang proporsional dan profesional. Hal ini tentu saja berangkat dari konteks kekinian bahwa pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia (LP. Sinambela, Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, Edisi Desember 1992, hlm. 198).
[9] (Luthfi J Kurniawan; koordinator badan pekerja Malang Corruption Wact; Pelayanan Pulik Bukan Untuk Publik).
[10] Untuk menelaah pelayanan publik secara konseptual, menurut Kotler dalam Sampara Lukman pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Samapara Lukman, Manajemen Kualitas Pelayanan, (Jakarta: STIA LAN Press, 2000. hal. 8). Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan  adalah  suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam  interaksi langsung antar seseorang dengan oranglain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara, atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan (J.S. Badudu, Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, hlm. 781-782).

[11] (David Osborne, Peter Plastrik, memangkas birokrasi; lima strategi menuju pemerintahan wirausaha, Terjemahan Abdul Rosyid & Ramelan, Jakarta: PPM, 20040, hlm. 322-323).
[12] (Dr. Lijan Poltak Sinambela, dalam Reformasi Pelayanan Publik, hal 13-14).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar