Rabu, 09 Juni 2010

disfungsional kemaluan oleh digitalisme

PORNO AKSI;PORNOGRAFI DAN AKSI SERONOK ALA PUBLIK FIGUR

Beredarnya gambar dan filem seronok yang di duga mirip Aril (piterpan) dan Luna maya di berbagai media, tentu saja bukan cerita baru tentang perilaku porno aksi dan aksi seronok ala porno yang dilakukan oleh para artis dan publik figur di tanah air kita.

berbagai bentuk pose, dan adegan seronok tersebut,tidak saja mengundang rasa amarah, benci, dan bahkan teriakan caci-dan maki dari publik, akan tetapi juga mengundang rasa penasaran dan keingin tahuan publik atas publikasi adegan seronok tersebut.

bila kita merunut kebelakang sejenak, bahwa maraknya publikasi aksi privaci yg seronok tersebut, ketika masyarakat kita mulai diperkenalkan dgn era digital, yaitu fase dimana berbagi bentuk barang elektronik canggih (kamera, Hp, video, dll) mudah dijangkau dan praktis digunakan.

beberap publik figur, politisi, pejabat, birokrat, juga pernah jadi korban era digitalisme tersebut. tentu persoalan tersebut sgt tidak elok kalu kita menyalahkan teknologi, menurutku yg patut disalahkan adalh para user,seperti halnya para publik figur tersebut.

kini, saat ini kita memang sedang dipertontonkan oleh kemolekan tubuh manusia yg direkam oleh alat yg canggih, dan bahkan moralitas kita ada dlm genggaman rezim digitalisme.

saya kira, saaat ini kita mesti mampu menjadi user ygcerdas, dan melakukan proteksi internal, agar tidak menyalah gunakan kecanggihan alat sbg ajang untuk merekam, menyimpan dan mempublikasikan adegan seronok ala aksi porno (yg di duga: aril dan luna maya tsbt).

Demokrasi Desa

Memahami Demokrasi dalam Perspektif Kontekstual (di Desa)
(syarief Ary fa'id)

DEMOKRASI
Demokasi adalah sebuah konsep inklusif. Demokrasi pada dasarnya berarti pemerintah oleh rakyat. Rakyat dalam hal ini pada prakteknya memang dibatasi dengan beberapa cara: ‘mayoritas’, ‘warga’, berhak memilih dan dipilih dan seterusnya. Dengan kata lain, memang pada prakteknya tidak seluruh rakyat perindividu bisa terlibat dalam proses demokratik, namun paling tidak semua elemen masyarakat yang eligible terakomodasi disana.

Demokrasi modern dihadapkan pada kenyataan kompleksitas masyarakat, sehingga pemilihan dan perwakilan menjadi azas yang sangat penting di dalamnya, sebagai alternatif terhadap demokrasi secara langsung yang bisa diterapkan dalam masyarakat sederhana. Terlepas dari itu, demokrasi punya dua dimensi yang mutlak harus ada; prosedur dan semangat. Prosedur yang berkaitan dengan tatacara serta pola hubungan antara lembaga dan aktor yang bermain dalam proses formal demokrasi. Dalam hal ini elemen-elemen seperti pemilu, partai politik, lembaga perwakilan (termasuk BPD di tingkat desa) menjadi sangat penting.

Semangat berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar yang harus terpenuhi dalam penyelenggaraan demokrasi. Beberapa prinsip penting antaralain, pertama, demokrasi mendasarkan diri pada pola hubungan dialogis, sebagai kebalikan hubungan monologis antara pemimpin dan yang dipimpin, antara negara dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, dan seterusnya. Kedua, sebuah proses dan sistemik demokratik mendasarkan diri secara mutlak terhadap seperangkat hukum dan tata aturan main yang disepakati bersama, serta tak seorangpun yang berkedudukan lebih tinggi dari hukum itu.

Ketiga, setiap keputusan dalam proses demokratik harus bersifat partisipatif terhadap semua pihak, terutama yang bakal dikenai oleh keputusan itu. Keempat, pihak yang diberi mandat untuk memimpin bertanggungjawab sepenuhnya kepada pihak yang memberi mandat, yakni rakyat. (Annual Report, IRE, 2002)

Sebagai sebuah semangat, maka demokrasi pada intinya adalah sebuah nilai universal yang tunggal, yang bisa diterapkan dan ditemui di sudut manapun dipermukaan bumi ini; sementara sebagai prosedur, demokrasi memang memiliki sejumlah besar varian, dimana tak satu varianpun bisa serta-merta dianggap lebih unggul dari pada varian yang lainnya. Berjalannya proses demokratik secara baik akan lebih menjamin rasa saling percaya antara elemen-elemen masyarakat, serta antara masyarakat dengan negara; dan sebaliknya, dalam sebuah sistem yang tidak demokratik. Meski secara prosedural demokrasi seringkali terasa bertele-tele dan membutuhkan biaya yang mahal serta waktu yang cukup banyak, namun hingga saat ini demokrasi merupakan sistem yang paling fair dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara pada setiap levelnya.

Demokrasi pada level desa, proses demokratik akan berjalan secara wajar apabila didasarkan pada nilai-nilai yang asli yang memang telah diyakini dan disepakati bersama oleh seluruh masyarakat desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga representatif warga desa, akan berfungsi sebagai lembaga yang menjamin bahwa demokrasi secara prosedural telah berjalan ditingkat desa. Namun semangat-semangat demokrasi memerlukan persyaratan yang jauh lebih mendasar dari pada terbentuknya BPD. Dalam hal ini, sudah waktunya kearifan lokal dipersilahkan untuk mengaktualisasikan dirinya kembali. Dalam waktu yang cukup lama, praktek-praktek demokrasi yang paling genuine yang biasanya dapat ditemui dilingkungan pedesaan perlahan tapi pasti terlunturkan maknanya. Hal ini berkaitan dengan masuknya otoritarianisme negara ke desa pada satu sisi, serta berjalannya mekanisme yang sangat bias di mana banyak kearifan lokal harus mengalah terhadap nilai-nilai modern yang diklaim lebih ‘universal’ (Annual Report IRE, 2002)
Demokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan ini dan pertanyaan mengenai kondisi dan pra kondisi yang dibutuhkan telah di perdebatkan secara intensif selama beberapa abad. Tentu saja sumbangan pertama dalam diskusi ini berasal dari jaman Yunani kuno.

Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Defenisi “pemerintah oleh rakyat” mungkin terdengar lugu, tetapi pengertian tersebut segera memunculkan sejumlah isu yang kompleks. Isu-isu terpenting yang dirangkum itu dalam sebuah laporan baru-baru ini:

1) Siapakah yang dimaksud dengan “rakyat”

2) Jenis partisipasi apakah yang dianggap kondusif bagi partisipasi, dapatkah disisentifkan, atau biaya dan manfaat, dari partisipasi dibuat sama

3) Seberapa luas dan seberapa sempit lingkup pemerintahan yang dimaksud atau bidang apakah yang cocok bagi kegiatan demokrasi.

4) Jika “pemerintah” mencakup politik, apakah maksudnya. Apakah meliputi; hukum dan tata tertib, hubungan antara negara, ekonomi, dan bidang dalam negeri atau bidang privat

5) Apakah pemerintah oleh “rakyat” harus dipatuhi, adakah wadah untuk kewajiban dan perbedaan-perbedaan;

6) Mekanisme apakah yang diciptakan bagi mereka yang secara aktif di nyatakan sebagai “non-partisipan”;

7) Dalam keadaan apakah, jika ada, demokrasi berhak mengambil jalan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri atau terhadap mereka yang berada diluar bidang pemerintahan yang sah. ( Georg Sorensen, 2003, hal; 2)

Terlihat dengan mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat yang berbeda pada waktu yang berbeda.

Demokrasi, seperti yang dirumuskan oleh Joseph Schumpeter secara sempit adalah:

“Baginya, demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Diantara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan demokrasi”.

Dalam kalimat Schumpeter, “metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara”. (J. Schumpeter, 2003).

Sedangkan pengertian secara komprehensif yang di uraikan oleh David Held, Held menggabungkan pemahaman pandangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi:

“Orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak orang lain”.

Pembuatan prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas negara dalam derajat yang tinggi dan suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan partisipasi substansial secara langsung pada lembaga-lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Otonomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of ringhts) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga negara terhadap agenda politik. (Held, 2003)

Demokrasi tidak hanya berarti hak memilih pemerintah meskipun ini juga hal sangat penting. Demokrasi merupakan keseluruhan bentuk hak yang harus bisa dimiliki oleh warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapat dipercaya dan partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses kepada informasi khususnya menangani rencana pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk diajak bicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama.

Apabila didefenisikan secara luas, demokrasi telah dikumandangkan tidak hanya oleh para pemimpin Revolusi Eropa Timur dan tempat-tempat lainnya, tetapi juga dikumandangkan oleh gerakan-gerakan rakyat diseluruh dunia. Gerakan wanita telah mengikis banyak kendala yang melingkupi setengah umat manusia yang berada dalam status inferior (rendah). Gerakan lingkungan telah memaksa para pemimpin politik dan bisnis untuk kembali melihat sumber daya alam dengan penglihatan baru. Dan kampanye di banyak negara oleh suku-suku yang terancam dengan adanya “kemajuan” telah membawa penduduk asli menjadi sorotan.

Kekuatan yang mengendalikan gerakan-gerakan ini adalah arti rasa sukarela yang datang secara bersamaan baik oleh pria maupun wanita dengan satu tujuan bersama yaitu keinginan untuk memperbaiki masyarakat dimana mereka hidup dengan cara menuntut perubahan dari para penguasa. Satu-satunya kekuatan tawar menawar yang mereka miliki adalah kekuatan dari segi jumlah mereka, argument mereka yang persuasif dan penampilan kerakyatan yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka juga merupakan organisasi volunteer yang memperjuangkan terwujudnya tatanan masyarakat tanpa penindasan dan diskriminatif yang terbingkai dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis. (Jhon Clark, 1995)

Demokrasi adalah cara atau seni pergaulan hidup untuk mencapai kebaikan bersama. Banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan individu. Akan tetapi ada satu hal yang harus dicermati secara mendalam tentang prinsip dasar demokrasi adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.

Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain terkait dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual trust, kepedulian warga, kompetesi politik dan lain sebagainnya.

Jadi demokrasi, baik yang dipahami sebagai secara normatif dan pemahaman secara emprik, dimana keduanya pemahaman tersebut lebih menekankan pada adanya keterlibatan warga masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan. Seprri yang dikemukakan oleh Afan gafar (dalam Politik Indoensia) menyebutkan bahwa pemahaman demokrasi secara emprik yang juga disebut sebagai demokrasi prosedural (prosedural democracy). Dimana dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seprti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara,mislanya dalam UUD 1945 menyebutkan :

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (pasal 1 ayat 2 UUD 1945).

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainnya, ditetapkan dengan Undang-Undang” (pasal 28).

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu” (pasal 29 ayat 1).

Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 diatas merupakan defenisi secara normatif dari demokrasi. Tetapi kita juga perlu harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana makna demokrasi secara empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis, yakni apakah dalam suatau sistem politik pemerintah meberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi politik mereka melalui organisasi politik yang ada, dan sejauh mana kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur (regular basis) untuk mengisi jabatan politik.

Jadi dapat dikataka bahwa prasyarat adanya sebuah sistem demokrasi yaitu : Pertama, adanya akuntabilitas; dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya, dan bahkan harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-katanya serta pola perilakunya. Sebuah pertanggungjawaban yang tidak hanya menyangkut dirinya tetapi juga keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak dan istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkaitan dengan jabatannya.

Kedua, adanya rotasi kekuasaan. Dalam konteks demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanaya satu orangyang selalau memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup samam sekali. Dalam suatau negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan bisannya rendah pula, bahkan peluang untuk itu sangat terbatas. Kalaupun ada itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas dikalangan elite politik saja.

Ketiga, rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memunginkan terjadinya rotasi kekuasaan ,diperlukan satu sistem rektruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Keempat, Pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.

Kelima, Menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara demokrasi setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya hak-hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the press). Jadi, suatu negara dapat diklaim sebagai negara demokrasi bila unsur-unsur yang disebutkan diatas sudah dilaksanakan. ( Affan Gafar; 2004, hal:3-8)

Jadi demokrasi dapat dipahami dan ditelaah; bahwa demokrasi secara klasik bermakna pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya suatu bentuk pemerintahan di sebuah negara, yang mengedepankan kedaulatan rakyat paling mungkin untuk menciptakan suatu tatanan yang menjanjikan keadilan. Demokrasi menempatkan rakyat pada posisi terhormat, pemilik kedaulatan. Pejabat hanyalah orang-orang suruhan rakyat. Atau yang mendapat mandat dari rakyat. Suatu negara, atau suatu pemerintahan dikatakan berdasarkan prinsip demokrasi (demokratis), setidaknya menunjukkan ciri: Pemerintah di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum yang bebas dan non-diskriminatif, prinsip mayoritas dan adanya jaminan hak-hak demokratis. Pada prinsipnya, demokrasi merupakan suatu ruang politik bagi rakyat, sehingga dapat diambil bagian secara produktif dan aman, dalam proses penyelenggaraan negara. Dengan demikian, rakyat ikut menentukan nasibnya.

are if faith al flourezh;

fb: rif2riinlofe@yahoo.co.id