MENATA URUSAN PEMERINTAHAN
BIDANG PERTANAHAN, KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN
BIDANG PERTANAHAN, KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN
Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berskala besar dalam arti luas wilayah, jumlah penduduk dan geografi yang berbukit dan lembah serta bercirikan kepulauan, maka dalam prakteknya, urusan pemerintahan dilaksanakan melalui asas sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Urusan yang disentralisasikan merupakan urusan absolut pemerintah pusat meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama, sedangkan urusan yang didesentalisasikan kepada daerah otonom provinsi dan kabupaten serta kota adalah urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dll (ada 31 urusan wajib PP 38/2008 psl 7 (2)). Urusan pilihan adalah urusan yang disesuaikan dengan potensi dan kekhasan dan potensi yang dimiliki daerah tersebut misalnya pertambangan, kehutanan, perikanan, pertanian, perkebunan dan pariwisata.
Meskipun urusan wajib dan urusan pilihan telah didesentralisasikan ke daerah otonom provinsi, kabupaten maupun kota, didalam penyelenggaraan pemerintahan tidak semua bagian urusan pemerintahan didesentralisasikan atau dalam kata lain masih ada bagian dari urusan ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Bagian dari urusan yang didesentralisasikan yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur (NSPK), pembinaan, monitoring, evaluasi, pengawasan serta penegakan hukum pelaksanaannya.
Sejak undang-undang 32/2004 diberlakukan pada tahun 2004, seluruh daerah otonom secara simultan daerah otonom melaksanakan semua urusan ini dengan berbagai kreatifitas yang dimiliki masing-masing daerah otonom. Outcome yang dihasilkan beragam antara daerah otonom yang satu dibandingkan dengan daerah otonom yang lain. Pada umumnya hasilnya kurang memuaskan dan bahkan cenderung kontraproduktif dengan apa yang diharapkan, khususnya urusan yang potensial memberikan pendapatan bagi daerah, misalnya pelaksanaan urusan terkait dengan sumberdaya alam contohnya tanah, tambang dan hutan. Tanah dan hutan adalah sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) tetapi sulit diperbaharui, sedangkan sumberdaya tambang merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Tanah, hutan dan tambang memiliki kharateristik tersendiri dibandingkan sumberdaya lainnya serta berperan untuk untuk kelangsungan hidup bangsa (essential to the survival of a nation) untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu sumberdaya tanah, hutan dan tambang ini perlu diatur dengan sangat bijaksana tanpa mengurangi semangat desentralisasi.
Ketika UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan, secara simultan urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan didesentralisasikan dan dilaksanakan oleh daerah otonom. Pada saat itu dasar hukum yang mengatur pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota belum ada atau belum ditetapkan. Disamping itu pedoman berupa NSPK untuk melaksanakan urusan bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan juga belum ada. Dengan tidak adanya dasar hukum pembagian urusan NSPK ini, maka hampir semua daerah otonom baik provinsi, kabupaten dan kota melaksanakan urusan kehutanan dan pertambangan dengan cara masing-masing demi untuk menambah pendapatan daerah. Dampak negatif pelaksanaan urusan ini sudah terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dimana terjadi ketidakjelasan urusan baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota, sebagai contoh Gubernur Kalimantan Timur mengatakan secara prinsip dia menolak penambangan di kawasan konservasi, namun tidak bisa berbuat apa-apa tentang penerbitan kuasa pertambangan yang ada di sekitar kawasan konservasi. Permasalahan seperti ini mungkin masih banyak terjadi di daerah otonom lain.
Meskipun PP 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sudah ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2007, nampaknya belum dapat dilaksanakan secara konsisten atau dengan kata lain belum optimal pembagian urusan antar tingkatan pemerintahan. Kemungkinan hal ini disebabkan peraturan pemerintah ini belum aplikatif atau belum disosialisasikan atau bahkan tidak memiliki materi penegakan hukum (sanksi). Disi lain undang-undang yang mengatur pertanahan, kehutanan belum tegas mengatur kewenangan urusan kehutanan provinsi dan kabupaten/kota serta tidak mengacu pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai undang-undang acuan terkait secara langsung dengan daerah (psl 237). Dengan kata lain, masih potensial terjadi benturan undang-undang otonomi daerah dengan undang-undang sektor atau tidak adanya koherensi antara UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan undang-undang sektor.
Berdasarkan kajian diatas, ternyata masalah urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan disebabkan karena kurangnya pengaturan dalam kosepsi dasar (dasar hukum) dan implementasinya. Untuk itu saran dalam penyempurnaan undang-undang tentang pemerintahan daerah serta perbaikan pelaksanaanya dimasa yang akan datang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, mengingat tanah, hutan dan tambang memiliki sumbangan yang penting untuk menjamin kelangsungan negara dan kepentingan masyarakat, serta sulit dan bahkan tidak dapat diperbaharui maka pengaturan mengenai pertanahan, kehutanan dan pertambangan perlu diatur secara khusus dalam pasal tersendiri.
Kedua, sebagai syarat dasar daerah otonom melaksanakan ketiga urusan ini, wajib diterbitkan terlebih dahulu NSPK bidang pertanahan, kehutanan maupun NSPK bidang pertambangan. Selanjutnya urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh daerah otonom secara penuh diikuti pembinaan dan pengawasannya secara melekat.
Ketiga, untuk menghindari kekosongan penetapan NSPK dalam waktu yang lama, akibat dari lamanya proses penyusunannya secara gelondongan, seperti yang dialami sekarang, maka penetapan NSPK dapat dipecah dalam sub bidang misalnya di bidang pertambangan, diterbitkan dulu NSPK pertambangan biji besi, NSPK pertambangan timah NSPK pertambangan batubara. NSPK di bidang kehutanan dapat diterbitkan dahulu NSPK kuasa kehutanan, NSPK penebangan pohon, NSPK reboisasi, NSPK konservasi lahan, NSPK satwa liar dll.
Keempat, perlu diatur sanksi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran NSPK di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan.
Kelima, meskipun tanah, hutan dan tambang penting untuk kelangsungan hidup negara, kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, maka urusan pertanahan, kehutanan dan pertambangan tetap merupakan urusan yang didesentralisasikan serta tetap mendorong inovasi daerah dalam pemanfaatannya.
Keenam, mengingat masing-masing urusan ini diatur lebih detail dalam undang-undang tersendiri serta memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang pemerintahan daerah, maka perlu dibentuk suatu task force semacam Unit Kerja Presiden bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan sektor, agar menyesuaikan dengan undang-undang pemerintahan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar