Selasa, 12 April 2011
Tulisan ini saya copy dari Koran Kompas, terbitan 12 april 2011
MANGGARAI TIMUR
Janji Pemekaran yang Melayang-layang
Reportase: Samuel Oktora dan Herpin Dewanto
Matahari hampir tenggelam, sekitar pukul 17.00 Wita, Selasa (5/4), ketika sekumpulan anak-anak, laki-laki dan perempuan, berdiri di pinggir jalan negara sambil menunggui jeriken milik mereka yang telah penuh air. Mereka baru saja mengambil air di Kali Wae Laku.Setelah jeriken-jeriken penuh, mereka menanti truk-truk proyek yang akan pulang. Anak-anak itu berharap dapat menumpang menuju Sok, kampung mereka yang berjarak 2 kilometer di Desa Sita, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Apabila tidak mendapat tumpangan, mereka terpaksa menjinjing jeriken-jeriken itu dengan berjalan kaki. Satu anak bisa membawa lebih dari lima jeriken ukuran 5 liter. Mereka pun saling membantu mengangkat jeriken yang sudah terisi air.
Salah seorang dari mereka, Paul Linus Edon (16), mengaku sudah biasa mengambil air bersih di Kali Wae Laku.
Kondisi warga di Manggarai Timur secara umum memang sangat kesulitan air. Bahkan, di Borong, ibu kota kabupaten itu, air sulit didapat. Situasi itu malah begitu terasa dalam empat tahun terakhir yang notabene waktu itu (tahun 2007) jadi momentum penting pemekaran Manggarai Timur dari Manggarai selaku kabupaten induk.
Ini memang ironis karena tujuan mulia pemekaran wilayah di antaranya untuk lebih mendekatkan pemerintah daerah kepada masyarakat dan diharapkan kualitas pelayanan di berbagai bidang makin baik, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di pinggiran Kali Wae Bobo, yang mengalir di pusat kota Borong, keadaannya ternyata sama. Warga tumpah ruah di sana pada pagi dan sore hari untuk mandi, mencuci, dan mengambil air.
”Saat hujan masih turun saja situasinya demikian. Apalagi kalau kemarau,” kata Ny Handika di Kali Wae Bobo.
Pemandangan lain, masih di Kali Wae Laku, masyarakat juga memanfaatkan air kali itu untuk mencuci kendaraan mereka, mulai dari sepeda motor, mobil, hingga truk. Itu yang menyebabkan Robertus, yang tinggal di Toka, Borong, enggan bertandang ke rumah tetangga karena takut dapat suguhan air kotor bekas cucian kendaraan.
Sulitnya air bersih di Borong membuat harga air melambung. Untuk paket 500 liter air bersih, harganya Rp 50.000. Ukuran 5.000 liter harganya Rp 150.000. Padahal, di Kabupaten Ende, Flores, air satu tangki mobil ukuran 5.000 liter harganya cuma Rp 75.000-Rp 80.000.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Manggarai Timur Yohanes Modo mengakui, distribusi air bersih di kota Borong sampai saat ini belum merata karena di sejumlah titik sedang dipasang jaringan penghubung Borong dengan sumber mata air baru. Padahal, jaringan induk pipa air itu sudah terpasang 15 tahun silam.
”Jaringan yang dibuat sepanjang 12 kilometer dari Golo Mongkok ke Borong dengan dana proyek Pemerintah Provinsi NTT sebesar Rp 6 miliar. Jaringan ini untuk melayani Borong dan Pota di Kecamatan Sambi Rampas serta Mano, Kecamatan Poco Ranaka,” katanya.
Pada 25 Januari lalu, menurut Yohanes, Yayasan Pengelola Air Minum (Yaspam) menyerahkan pengelolaan air kepada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di bawah Dinas PU Manggarai Timur. Rencananya, BLUD SPAM sebagai cikal bakal perusahaan daerah air minum (PDAM) yang akan dibentuk pada 2012 sehingga dana operasional tak lagi bersumber dari APBD.
Yaspam Borong sebelumnya dipimpin Pater Waser SVD dari Swiss yang sudah lama mengabdi di Manggarai. Sekitar 15 tahun lalu, Camat Borong meminta Pater Waser mengelola air minum untuk wilayah yang masuk Kabupaten Manggarai.
Distribusi air di Borong berawal dan bergantung pada dua mata air, Wae Lucu dan Wae Kacu, yang kala itu debitnya cuma 5 liter per detik.
Yaspam bisa meraup untung Rp 20 juta per tahun, padahal hanya dikelola empat orang, yakni Pater Waser dan tiga pekerja, terdiri dari dua pekerja laki-laki sebagai teknisi dan seorang perempuan di bagian administrasi.
Yaspam juga menangani air bersih di Labuan Bajo, Manggarai Barat, meski akhirnya tak sebagus penanganan Borong lantaran tidak ada kesepahaman teknis pengelolaan dengan Pemkab Manggarai Barat. ”Jika nanti ditangani PDAM Manggarai Timur, semestinya lebih baik lagi. PDAM perlu cari sumber mata air baru serta jalur dan pipa distribusi baru, terutama untuk wilayah kota Borong,” ujar Pater Waser.
Dia mengatakan, sebelum Yaspam menyerahkan pengelolaan air minum ke BLUD SPAM, ia sudah lebih dulu menyewa jasa konsultan dari Jakarta untuk ditindaklanjuti Pemkab Manggarai Timur. Topik yang direkomendasikan, antara lain, proyeksi kebutuhan air minum sampai 20 tahun ke depan di Manggarai Timur, kebutuhan mata air baru, dan kebutuhan jaringan air baru. Asumsinya saat ini jumlah penduduk tiga kali lipat (sekitar 15.000 orang) dibandingkan pada 1996, saat Pater Waser merintisnya.
Ia sendiri heran, mengapa pemkab akan membangun jaringan air dari Golo Mongkok ke Borong? Padahal, seharusnya dari Ranamese langsung ke Lehong (kawasan kota Borong), bukan lewat Golo Mongkok. ”Berarti pemkab tak memerhatikan rekomendasi penelitian kami,” katanya.
Bagi publik Manggarai, segala cara sebenarnya sudah dilakukan untuk menyalurkan aspirasi. Sius Magung, tenaga honorer di bagian umum Setda Pemkab Manggarai Timur, bahkan membuat lagu ”Noing Koe”. Artinya, sadarlah. Album dalam CD itu sudah diluncurkan pada tahun ini. Dalam terjemahan lurus, lagu daerah itu lebih kurang berarti, Akibat kekurangan air, pagi dan sore, ramai-ramai orang membawa jeriken mengambil air untuk memasak dan minum... Ke mana lagi harapan kami, kalau bukan di Wae Laku?... Bapak-bapak yang berkuasa, tolong kebijakannya, berikanlah sedikit perhatian terhadap kebutuhan kami masyarakat kecil....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar