Alokasi Dana Desa (ADD)
A. Pendahuluan
Otonomi desa membawa sejumlah konsekuensi yang harus dipikul oleh desa sejalan dengan semakin luas kewenangan yang dimiliki oleh desa. “Beban” kewenangan yang dimiliki desa membawa implikasi luas mulai dari pengaturan rumah tangga politik desa dengan mendasarkan pada kebutuhan atau persoalan desa sampai dengan tanggung jawab terhadap tugas pembantuan dari pemerintah atau pemerintah daerah. Walaupun tugas pembantuan ini harus disertai dengan konsekuensi pembiayaan, prasarana dan sumber daya manusia, namun keterlibatan desa dalam “mensukseskan” tugas pembantuan pasti juga akan menyedot sumber daya desa. Dengan demikian penyusunan anggaran desa menjadi penting untuk menghindari distorsi kewenangan dan opersoalan yang akan dipikul desa sebagai konsekuensi otonomi dan limpahan beban pembantuan kekuasaan diatasnya.
UU No. 22 tahun 1999 pasal 107 memberikan penjelasan tentang sumber-sumber pendapatan desa antara lain :
(1) sumber pendapatan asli desa yang meliputi; (a) hasil usaha desa, (b) hasil kekayaan desa, (c) hasil swadaya dan partisipasi (d) hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
(2) bantuan dari pemerintah kabupaten yang meliputi ; (a) bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah, (b) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerahnya diterima oleh pemerintah kabupaten.
(3) bantuan dari pemerintah dan pemerintah propinsi.
(4) Sumbangan dari pihak ke tiga dan
(5) pinjaman desa.
Secara tegas undang-undang tersebut mengamanatkan tentang pentingnya sumber daya yang cukup bagi desa untuk menjalankan roda pemerintahan politiknya, dan secara eksplisit uu ini juga mengatur bahwa salah satu sumber keuangan desa terpenting adalah bagian dari perimbangan keuangan pusat dan daerahnya (DAU) yang diterima oleh pemerintah kabupaten. Penjelasan terhadap pentingnya perimbangan keuangan bagi desa yang diterima oleh pemerintah kabupaten melalui DAU akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini.
Dalam penjelasan p.107 menegaskan selain itu desa juga dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan. Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pemberdayaan potensi desa dalam meningkatkan pendapatan desa dilakukan antara lain dengan pendirian badan usaha milik desa , kerjasama dengan pihak ketiga, dan keweangan melakukan pinjaman. Sumber pendapatan daerah yang berada di desa, baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh daerah kabupaten, tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan dari pemerintah desa.
Pendapatan daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada desa yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya. Penjelesan ini mengatur tiga hal penting, pertama adalah usaha-usaha yang telah dijalankan oleh pemerintah desa tidak dibenarkan dijalankan oleh pemerintah kabupaten dengan asumsi akan terjadi “perebutan” sumber-sumber pendapatan yang akan dimenangkan oleh kekuasaan yang lebih besar dalam hal ini adalah pemerintah kabupaten. Kedua, pajak atau retribusi yang menjadi sumber penting bagi pendapatan daerah tidak dibenarkan dipungut dua kali (pemerintah kabupaten dan desa) yang akan menyebabkan beban ekonomi tinggi bagi masyarakat. Ketiga, adanya mekanisme pembagian yang adil diantara antara desa dengan kebupaten terhadap berbagai macam sumber –sumber anggaran, terutama sumber pendapatan asli daerah. Dalam hal ini terhadap beberapa persoalan penting dan mendasar yang harus diperhatikan terhadap pengaturan penjelasan ini, yaitu selama ini desa tidak memiliki cukup otoritas untuk membangkitkan prakarsa politiknya --- dan juga ketrampilan---- untuk menggali dan memanfaatkan potensi ekonomi desa termasuk didalamnya adalah sumber pendapatan asli desa yang berasal dari usaha-usaha produktif desa. Selama puluhan tahun desa didikte dan dikendalikan oleh negara dan hampir tidak ada jaminan pendapatan desa yang dapat dikelola secara produktif oleh desa kecuali tanah bengkok --- yang umumnya terdapat di desa-desa jawa. Dengan demikian sebenarnya tidak ada sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa (cetak miring oleh penulis), semua sumber pendapatan dari dahulu dimiliki dan dikelola oleh pemerintah supra desa, diluar itu pihak swasta, termasuk pasar-pasar desa yang dihidupkan dan dikelola oleh pemerintah kabupaten. Selain itu juga sebagaimana menjadi ungkapan sinisme sebagian kalangan bahwa desa tinggal menerima “kerak” (baca : sisa yang paling buruk) politik dari seluruh pajak retribusi yang sudah dipungut oleh pemerintah dengan demikian sebenarnya desa tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan roda pemerintahannya. Dengan demikian melakukan sejumlah langkah untuk menuntut realisasi p. 107(1) :b-2 menjadi penting, hanya sayangnya dalam pasal ini tidak ada penegasan seolah-olah menjadi pasal sekunder dengan judul pasal “bantuan dari pemerintah kabuoaten”. Didalam penejelasan p. 107 juga tidaj ada penegasan eksplisit sebagai komitment politik untuk memberikan daya dukung bagi berjalannya roda pemerintahan desa melalui sumber-sumber keuangan yang memadai.
B. Realisasi Mandat Dana Alokasi Untuk Desa
Sejumlah alasan pantas diajukan mengapa dana alokasi desa (anggaran untuk desa) menjadi penting untuk direalisasikan. Pertama adalah besarnya beban tugas atau kewenangan desa yang dipikul oleh desa. Dalam p. 99, desa memiliki sejumlah kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah daerah dan pemerintah; tugas pembantuan dari pemerintah , pemerintah propinsi dan /atau pemerintah kabupaten. Tiga kewenangan ini mengakibatkan beban kerja desa yang sangat besar tanpa dibarengi dengan kemampuan yang memadai dari desa terutama dari sumber pendapatan desa.
Kedua, sebagaimana yang disinggung dibagian atas tulisan ini bahwa pengambilalihan sumber-sumber ekonomi penting yang dimiliki desa oleh pemerintah daerah atau pemerintah yang menyebabkan desa tidak lagi memiliki sumber pendapatan desa.
Ketiga, efektifitas anggaran melalui kontrol politik yang kuat dari masyarakat dengan cara mendekatkan mekanisme kekuasaan termasuk didalamnya menyusunan dan mengalokasian anggaran oleh rakyat langsung dengan cara mendesentralisasikan pada tingkat yang paling efektif dibawah kontrol otoritas rakyat.
Saat ini beberapa kabupaten sedang berusaha menjalankan mandat dari p. 107 (1) : b-2 dengan berbagai rumusan berdasarkan pada tarik ulur kepentingan sekaligus kekuatan tawar rakyat desa.C. ALokasi Dana Desa
Sejak dikeluarkanya PP No.72/2005 tentang Desa dan SK Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Agustus 2006 No. 140/1841/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, setiap desa mendapatkan jatah ADD atau Alokasi Dana Desa.
ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota (pasal 1 ayat 11 PP No.72/2005), dimana berdasarkan PP No.72/2005 pasal 68 ayat 1 huruf c: “desa memperoleh jatah ADD”. ADD yang diberikan ke desa merupakan hak desa yang dapat digunakan oleh desa untuk memperkuat pembangunan, pemerintahan dan oprasional pemerintah desa.
Tujuan diberikannya ADD ini adalah: untuk memperkuat kemampuan keuangan desa, memperkuat otonomi desa dalam membiayai pemerintahan, pembangunan dan urusan sosial kemasyarakatan serta untuk mewujudkan kesejahteraan dan demokrasi di desa.
Sumber ADD berasal dari APBD kabupaten/kota. Pemerintah menetapkan 10% APBD kabupaten/kota diberikan ke desa yang disebut dengan ADD dari dana keuangan pusat dan daerah dengan rincian; Dana perimbangan daerah dalam bentuk; (1) DAU; (2) Bagi Hasil Pajak; (3) Bagi Hasil SDA dikurangi Belanja Pegawai Daerah, dikali minimal 10% sama dengan ADD.
Manfaat ADD bagi desa adalah; (1) untuk biaya pembangunan desa; (2) untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa; (3) untuk oprasional pemerintahan desa dan (4) untuk urusan sosial kemasyarakatan desa. Dalam memanfaatkan dan menggunakan ADD ini, pemerintah desa diharuskan untuk menggunakan rumus 70% untuk pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan dan urusan sosial kemasyarakatan di desa dan 30% digunakan untuk oprasional pemerintah desa (membeli alat kantor, menambah honor pemerintah desa dan sebagainya, dan tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan politik semisal pemilihan KADES di desa.
Pihak-pihak yang ditetapkan sebagai penerima manfaat ADD adalah: (1) pemerintah desa; (2) BPD; (3) Lembaga-lembaga kemasyarakatan desa; (4) masyarakat desa. Dasar hokum ADD adalah: (1) UU No.32/2004; (2) PP No.72/2005 tentang desa; (3) Surat Edaran Mendagri.
Di banyak desa, terdapat kebingunan pemerintah dan masyarakat desa untuk menggunakan dan memanfaatkan ADD, karenanya, dibutuhkan fasilitator khusus dan pelatihan khusus yang bisa memberikan arahan kepada desa dalam menggunakan ADD ini. Ini bisa dimaklumi, mengingat pemerintah daerah juga kurang memahami petunjuk teknis dan kebijakan yang berhubungan dengan ADD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar