PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
JK: Ketidakadilan Suburkan Radikalisme
Jakarta, Kompas - Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengingatkan, ada lahan yang terbuka untuk tumbuh suburnya radikalisme di Indonesia. Lahan itu adalah ketidakadilan dalam berbagai bidang, yang dirasakan sebagian masyarakat. Radikalisme, yang salah satu perwujudannya adalah terorisme, tak akan bisa tumbuh jika negara ini sudah makmur.
”Di negara yang sudah makmur, seperti Singapura dan Malaysia, radikalisme tidak memiliki tempat untuk tumbuh. Akar radikalisme adalah ketidakadilan dan kita belum makmur. Untuk mengatasi radikalisme, ya jangan biarkan ada ruang tidak nyaman yang dirasakan masyarakat di negeri ini,” kata Kalla kepada Kompas di Jakarta, Jumat (29/4).
Kalla, yang kini menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), menuturkan, untuk mengetahui akar radikalisme, paling mudah adalah mengandaikan diri kita menjadi bagian dari kelompok radikal tersebut. ”Apa yang dikatakan pimpinannya sehingga orang tergerak untuk bergabung? Kira-kira ia menjelaskan kondisi bangsa ini dan bagaimana mengatasinya. Mereka menawarkan cara mengatasi ketidaknyamanan yang masih dirasakan sebagian rakyat itu,” katanya.
Menurut Kalla, dengan munculnya gerakan radikalisme lagi, baik melalui terorisme maupun jaringan Negara Islam Indonesia (NII) yang merekrut kaum muda, berarti tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut selama ini belum cukup. Namun, bukan berarti pemerintah bisa langsung mematikan pikiran yang berbeda. NII sebagai sebuah pemikiran tidak bisa diadili. Mereka bisa diadili karena melakukan penipuan, penculikan, atau jika mendeklarasikan diri sebagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dia mengakui, mengatasi radikalisme tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Semua komponen bangsa harus terlibat.
Kewalahan atasi NII
Dari Yogyakarta, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Jumat, menyatakan, pemerintah kesulitan mengatasi penyebaran jaringan NII. Tidak ada undang-undang (UU) yang bisa dijadikan landasan untuk mengendalikan gerakan ini sejak dini.
”Kami bisa melihat, tetapi tidak bisa bertindak,” kata Purnomo.
Menurut Purnomo, pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional dan RUU Intelijen untuk meredam gerakan radikal, seperti jaringan NII. Namun, banyak lembaga swadaya masyarakat yang tidak menyetujui RUU itu. ”Singapura dan Malaysia mempunyai UU yang keras terhadap hal seperti ini. Memang masyarakat Indonesia masih trauma dengan pengalaman masa Orde Baru, tetapi situasinya sekarang sudah berbeda,” tuturnya.
Meski belum ada UU untuk dasar mengatasi gerakan radikal, menurut Purnomo, pemerintah tidak tinggal diam dan memantau perkembangan gerakan jaringan NII.
Di Surabaya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengingatkan, saat ini rasa aman dan nyaman di masyarakat terganggu radikalisme, terutama terkait dengan merebaknya jaringan NII dan terorisme.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf mengungkapkan, Jatim kini menjadi sarang penyebaran paham NII. Beberapa daerah sudah dipetakan oleh kepolisian. Polri juga melakukan tindakan meniadakan persebaran ideologi itu.
Di Bandung, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengingatkan, radikalisme agama, seperti penyebaran NII, mengancam keutuhan negara. Meski hanya didukung pengikut yang sedikit, paham itu menimbulkan keonaran. Deteksi dini harus dilakukan dengan bekerja sama dengan intelijen.
Heryawan mengakui, NII memiliki ikatan sejarah dengan Jabar karena menjadi daerah asal gerakan itu. Namun, pendukungnya tak banyak lagi di Jabar.
Jumat, dilaporkan, seorang mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Siliwangi Kota Tasikmalaya, Rita Esti Kurnia (19), hilang sejak dua minggu lalu. Herti, ibu Rita, khawatir anaknya itu hilang akibat terlibat dengan kegiatan NII.
Perketat pengawasan
Secara terpisah, Menteri Agama Suryadharma Ali kepada pimpinan perguruan tinggi agama negeri (PTAN), Jumat, di Jakarta, meminta Rektor PTAN memperketat pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa menyusul maraknya penyusupan paham radikal di kampus. Mahasiswa harus diarahkan untuk mengembangkan organisasi yang jelas akar ideologi serta sejarahnya.
Suryadharma mengakui, maraknya aksi kekerasan, mulai dari kasus bom buku, rencana pengeboman di Serpong, kasus cuci otak yang memanfaatkan kalangan kampus, hingga kekerasan terhadap kelompok keyakinan lain mengarah pada perusakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. ”Saya minta para rektor memberikan perhatian ekstra terhadap masalah ini. Saya tidak ingin lembaga pendidikan agama tersusupi oleh pandangan radikal, apalagi terorisme,” ujarnya.
Di Jakarta, 10 organisasi massa Islam berkumpul di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kamis. Mereka membentuk Forum Persahabatan Umat Islam untuk menolak radikalisme agama
Sabtu, 30 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar