(Kliping Kompas, 21/4/2011)
Sebaiknya Fokus Eksekusi Proyek
Jakarta, Kompas - Pemerintah sebaiknya fokus pada eksekusi untuk merealisasikan proyek-proyek infrastruktur dan tidak berputar-putar pada isu yang tidak pasti, seperti bank pembangunan infrastruktur. Eksekusi proyek infrastruktur itu dapat langsung memanfaatkan pendanaan murah dari pasar modal.Saat ini ongkos yang harus ditanggung swasta dan Pemerintah Indonesia ketika menerbitkan obligasi berada pada level terendah sehingga sudah saatnya mengejar pendanaan murah untuk infrastruktur.
”Kenapa, kok, Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) minta didirikan bank pembangunan? Padahal, permasalahan di infrastruktur, bukan tentang pendanaan, melainkan eksekusi,” ungkap ekonom Mirza Adityaswara di Jakarta, Rabu (20/4).
Dalam rapat kerja pemerintah dengan dunia usaha, Selasa di Istana Bogor, Kadin menyatakan, kalangan pengusaha nasional berkomitmen menginvestasikan Rp 1.350 triliun untuk mendukung Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Namun, di satu sisi pemerintah juga diminta segera merealisasikan kebijakan pendukung pendanaan pembangunan infrastruktur.
Rapat kerja yang kelima sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono memerintah pada Oktober 2009 ini untuk menyusun Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015. Rencana induk ini berisikan rencana detail pembangunan ekonomi di wilayah Indonesia yang dibagi dalam enam koridor.
Presiden Yudhoyono menyatakan akan mempertimbangkan usulan kalangan dunia usaha untuk membentuk bank pembangunan infrastruktur. Pembentukan bank ini diharapkan semakin mempermudah pembiayaan proyek infrastruktur yang pada akhirnya akan berimplikasi pada percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia (Kompas, 20/4).
Titik terbaik
Menurut Mirza, saat ini imbal hasil (yield) obligasi rupiah dan dollar AS mencapai titik terbaik. Yield surat utang negara (SUN) rupiah bertenor 10 tahun hanya 7,8 persen, bahkan pernah 7,4 persen pada November-Desember 2010.
Adapun obligasi yang diterbitkan pemerintah (yield sovereign bonds) Republik Indonesia dalam denominasi dollar AS dan berjangka waktu 10 tahun juga hanya 4,5 persen.
”Bahkan pernah 3,5 persen pada November 2010,” ujarnya.
Penerbitan obligasi di Asia, terutama Asia Tenggara, dinilai belum berkembang pesat, terutama di kalangan pebisnis. Atas dasar itu, untuk mendorong keberanian kalangan swasta menerbitkan obligasi, ASEAN menyediakan dana penjaminan sebesar 700 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,02 triliun untuk mendukung penerbitan obligasi oleh kalangan pelaku usaha swasta di semua negara ASEAN.
Dengan adanya penjaminan ini, perusahaan yang menerbitkan obligasi akan menikmati imbal hasil yang lebih rendah. Ini diberikan untuk memperdalam pasar obligasi di seluruh ASEAN. Sebab, selama ini obligasi hanya berkembang pada SUN yang diterbitkan pemerintah.
Dana 700 juta dollar AS itu dihimpun dalam sebuah basket credit guarantee and investment facility (CGIF) atau fasilitas investasi dan penjamin kredit. CGIF diharapkan sudah memiliki susunan direksi dan struktur organisasi pada Mei 2011 sehingga dapat melayani keinginan pelaku usaha swasta dalam menerbitkan obligasinya.
Bank Pembangunan Asia (ADB) ikut juga dalam CGIF sebagai kontributor dana sekaligus memberikan bantuan teknis. Dana lain berasal dari negara ASEAN.
Kebutuhan
Berdasarkan data pemerintah yang diungkapkan Direktur Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Bambang Prihartono belum lama ini, kebutuhan pembiayaan infrastruktur setiap tahun minimal 5 persen dari nilai produk domestik bruto (PDB). Atas dasar itu, dengan target pertumbuhan ekonomi 6,2 persen dan nominal PDB Rp 6.718,3 triliun, kebutuhan dana infrastrukturnya Rp 335,9 triliun per tahun.
”Kebutuhan pembiayaan infrastruktur berdasarkan minimum 5 persen dari PDB tahun 2010-2014 yang mencapai Rp 1.924 triliun. Kemampuan pemerintah hanya sebesar Rp 560 triliun, termasuk di dalam dana alokasi khusus,” katanya.
Potensi pendanaan lain berasal dari BUMN, swasta, dan daerah yang diperkirakan mencapai Rp 1.041 triliun. Namun, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen pada akhir 2014, masih terdapat kekurangan pendanaan Rp 323 triliun. ”Atas dasar itu, sangat diharapkan peran pemerintah ditingkatkan,” ujar Bambang.
Pemerhati transportasi Makbul Sumadilaga mengatakan, pemerintah seharusnya melonggarkan pembiayaan infrastruktur. Tujuannya untuk lebih cepat membangun infrastruktur, terlebih ketika investor swasta tak tertarik membangunnya.
”Pemerintah sendiri yang harus menentukan ’garis’ pembiayaan pemerintah. Sejauh mana, misalnya, biaya yang dikucurkan untuk infrastruktur. Dalam dunia transportasi, apakah pendanaan negara hanya untuk kereta ekonomi, jalan nasional, atau jalan tol juga?” kata Makbul.
Makbul pun mendorong pemerintah lebih berani lagi mengucurkan dana untuk infrastruktur. ”Defisit anggaran tidak masalah asalkan terukur. Jadi, secara matematis dapat dihitung berapa bangkitan ekonomi yang ditimbulkan oleh pembangunan infrastruktur itu,” katanya.
Beberapa proyek infrastruktur yang dikerjakan dan didanai pemerintah dengan pinjaman luar negeri, misalnya Tol Akses Tanjung Priok dan Jembatan Tol Suramadu. Proyek itu dikerjakan sendiri oleh pemerintah supaya cepat terbangun dan tak terlalu layak finansial jika dibangun swasta.
Menurut Anzikriadi dari Indonesia Railway Preservation Society, sistem anggaran pemerintah terlalu kaku untuk infrastruktur. ”Masak kereta barang Bogor-Sukabumi tak dapat dioperasikan oleh karena prasarana belum selesai. Prasarana harus tunggu anggaran tahun 2012. Ini, kan, ironis karena sepanjang 2011 ada lagi pemborosan BBM subsidi untuk truk yang mungkin nilainya setara dengan prasarana rel itu,” ungkapnya.
”Di China ada target membangun 1.000 kilometer jalur rel baru per tahun. Amerika Serikat menginvestasikan Rp 300 triliun untuk rel. Di Indonesia hanya ada Rp 4 triliun per tahun untuk kereta api. Tak ada keberpihakan untuk infrastruktur,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar