PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
Stop Ekspor Gas Baru
Guna memenuhi kebutuhan pasokan gas untuk industri di dalam negeri pemerintah diminta menyetop ekspor gas baru dan menegosiasi ulang (renegosiasi) semua penjualan gas yang sudah hampir habis masa kontraknya.
Demikian diteriakkan oleh kalangan industri pengguna gas dalam negeri, terutama industri manufaktur yang berjumlah 326 pabrik.Selama ini, pemenuhan suplai gas hanya diprioritaskan pada industri pupuk dan perusahaan listrik negara. Terbatasnya pasokan gas yang mengancam kelangsungan hidup sejumlah industri di dalam negeri sudah disampaikan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, kalangan pengusaha merasa belum ada respons konkret dari Presiden.
Sekadar untuk catatan, dari 326 pabrik yang membutuhkan jaminan suplai gas beberapa tahun ke depan, terserak pada 22 sektor industri yang tersebar di 15 provinsi. Diperkirakan pabrik tersebut butuh gas sebanyak 2.798 mmscfd hingga 3.283 mmscfd per tahun sampai 2015. Kebutuhan tersebut tidak seberapa dibandingkan total ekspor gas Indonesia tiap tahun.Tengok saja, ekspor gas ke berbagai negara mencapai sebesar 390.450,85 mmscfd melalui kapal tanker dan sebanyak 219.485,26 mmscfd lewat pipa pada 2009.
Karena itu, wajar saja kalangan pengusaha membutuhkan tindakan nyata dari pemerintah demi kelangsungan hidup industri di dalam negeri. Pada pertemuan antara pemerintah dan kalangan pengusaha di Bogor pekan lalu mereka (pengusaha) berharap ada pernyataan tegas dari pemerintah soal keberpihakan terhadap industri pengguna gas.Namun,yang muncul hanya pernyataan umum yang tidak menunjukkan keprihatinan serius dari pemerintah.
Presiden hanya menegaskan, “Sumber daya alam diutamakan untuk dalam negeri. Jadi harus diperhatikan kebutuhan dalam negeri.Baik minyak bumi,batu bara maupun gas,”ujarnya. Karena pasokan gas yang tidak terjamin di kalangan industri pengguna gas,pemerintah bisa saja dinilai tidak konsisten dalam berbagai hal. Pertama, pemerintah dianggap tidak serius mendukung daya saing industri di dalam negeri.
Kedua, sama saja menolak investasi baru karena tidak ada jaminan ketersediaan energi (gas) yang memadai.Ketiga, bersiap-siap menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pabrik tak bisa berproduksi lagi. Kita berharap perasaan waswas yang kini melingkupi para pengusaha yang mengelola industri pengguna gas dapat segera disingkirkan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan energi yang selama ini tidak bersahabat dengan pengusaha domestik wajib segera ditinjau.
Termasuk mengakomodasi usulan pengusaha yang meminta pemerintah menyetop ekspor gas baru sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Dan, renegosiasi dengan sejumlah penjualan gas ke berbagai negara yang dinilai posisi Indonesia dalam pihak yang lemah. Dua permintaan kalangan pengusaha tersebut tidak mustahil untuk dilaksanakan. Persoalannya, pemerintah bersedia tidak mengoreksi semua kebijakan yang sudah ditandatangani sebelumnya.
Pekan lalu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Hatta Rajasa sudah melontarkan niat untuk merenegosiasi ulang sejumlah kontrak penjualan gas. Salah satu kontrak penjualan gas yang dibidik untuk direnegosiasi adalah harga jual gas alam cair dengan China tahun depan. Langkah pemerintah untuk merenegosiasi sejumlah kontrak penjualan gas ke berbagai negara harus didukung penuh demi terpenuhinya kebutuhan pasokan gas dalam negeri.
Kebijakan renegosiasi harus dimasukkan sebagai bagian dari strategi kebijakan energi nasional.Sungguh ironis Indonesia sebagai salah satu negara penghasil gas terbesar di dunia, justru tak mampu memenuhi pasokan gas untuk industri di dalam negeri,gara-gara kebijakan energi yang tidak tepat.●
Selasa, 26 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar