PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
DAERAH pemekaran baru yang tumbuh subur sejak reformasi benar-benar memabukkan. Mabuk karena semangat pemekaran yang tidak tertahankan. Sekarang, negara mabuk karena ternyata mayoritas daerah otonomi baru yang hadir dalam kurun 1999-2009 gagal.
Departemen Dalam Negeri akhirnya membuka hasil evaluasi yang sungguh-sungguh membuat mabuk. Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota hasil pemekaran selama 1999-2009, hanya dua kota yang memperoleh skor di atas 60 dari nilai tertinggi 100. Itulah Kota Banjar Baru di Kalimantan Selatan dan Kota Cimahi di Jawa Barat.
Sisanya mendapat skor merah untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan daya saing. Sejumlah kota dan kabupaten bahkan memperoleh angka nol untuk keempat indikator itu.
Apa yang salah dengan itu semua? Kalau mau dicari-cari, banyak betul kesalahannya.
Harus diakui, pemekaran wilayah adalah histeria politis atas semangat otonomi yang tidak dipersiapkan dan dipahami secara baik. Sejumlah persyaratan, semisal demografi dan geografi serta potensi daya saing dan kapasitas birokrasi, dilabrak nafsu politis segelintir elite daerah.
Celakanya, nafsu politik elite itu diselubungi secara rapi juga oleh primordialisme suku, agama, dan daerah. Primordialisme itu semakin menggelapkan mata sehingga pemekaran dianggap hak politik yang tidak bisa dihalangi siapa pun dan dengan alasan apa pun.
Pemerintah yang terbius juga oleh primordialisme dan semangat kompromi akhirnya melabrak syarat-syarat yang ditetapkan sendiri. Jadilah banjir pemekaran daerah yang tidak terkontrol dan memabukkan.
Daerah pemekaran yang gagal akhirnya menjadi parasit bagi keuangan negara. Itulah yang menjawab mengapa APBN yang meningkat empat kali lipat dalam kurun 1999 sampai 2011 seperti hilang tidak berbekas.
Negara dipaksa menggenjot penerimaan APBN dari tahun ke tahun hanya untuk mengongkosi pegawai dan pegawai baru. Untuk memperoleh pendapatan asli daerah, uang APBN diakal-akali agar menjadi komponen PAD. Misalnya menyimpan di bank.
Otonomi daerah boleh dibilang sukses hanya dari sisi partisipasi publik terhadap rekrutmen pemimpin daerah mereka melalui pemilu kada. Namun, itu pun mulai dikritik karena terlalu banyak pemilu kada menyebabkan energi publik tersedot untuk urusan politik yang mahal dan manipulatif.
Pemerintah akhirnya berniat menggabungkan kembali daerah pemekaran yang gagal ke daerah induk. Namun, itu bukan kebijakan yang gampang. Pemekaran yang diselimuti semangat primordialisme akan menyulut persoalan sosial yang gawat bila dipersatukan kembali.
Yang terbaik adalah melaksanakan moratorium pemekaran sambil merampungkan grand design tentang jumlah wilayah yang memadai untuk ukuran Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sebelum menjadi daerah pemekaran definitif, suatu wilayah haruslah juga melalui masa uji coba.
(Kliping Editorial MI/Kamis, 28 April 2011 00:00 WIB)
Jumat, 29 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar