Parpol Peserta Pemilu 2009 Harusnya Langsung Lolos |
Undang-Undang No 2/2011 tentang Partai Politik yang mengatur verifikasi ulang partai peserta Pemilu 2009 agar menjadi peserta Pemilu 2014 dianggap inkonstitusional. Tiga ahli yang mengungkapkan pendapatnya pada Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Fajrul Falaakh,dan Robertus Robert, sepakat bahwa partai-partai peserta Pemilu 2009 seharusnya langsung bisa menjadi peserta Pemilu 2014 tanpa proses verifikasi ulang. Ketentuan verifikasi ulang dalam UU tersebut bahkan membuat ketidakpastian hukum pada partai-partai dan cenderung mengurangi hak masyarakat untuk berserikat serta berkumpul. Yusril mengatakan, semangat dalam UU Parpol sebelumnya, yaitu UU No 2/2008, adalah memudahkan pembentukan partai politik oleh masyarakat. Nantinya,kontrol terhadap jumlah partai bukan pada pembentukannya,tetapi setelah partai tersebut terbentuk dan dipilih oleh masyarakat, yaitu electoral threshold (ET). UU tersebut juga mensyaratkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi partai agar bisa lolos sebagai peserta Pemilu 2009. Konsekuensinya,apabila sudah dipenuhi, parpol akan menjadi badan hukum atau legal entity yang mirip dengan manusia sebagai subjek hukum. Dengan kedudukannya sebagai subjek hukum, partaipartai yang sudah lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2009 tidak perlu lagi mengikuti verifikasi pada tahun 2014 mendatang. “UU ini secara implisit bisa membubarkan parpol, misalnya karena tidak bisa memenuhi syarat verifikasi,”ujar guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia itu. Padahal, menurut Yusril, partai hanya bisa dibubarkan jika membubarkan diri, bergabung dengan partai lain, atau dibubarkan oleh MK. Setelah UU berlaku secara de facto, lanjut Yusril, partai berbadan hukum masih diakui keberadaannya, tetapi jika tidak bisa lolos dalam verifikasi tidak bisa mengikuti Pemilu 2014 dan bubar. Karena itu,menurut Yusril,UU ini bisa membuat pemerintah melampaui kewenangan MK. “Pasal 51 (1) UU No 2/2011 bertentangan dengan Pasal 28 b 1 jaminan dan kepastian hukum yang adil,”ujarnya. Uji materiil ini diajukan oleh 17 partai yang telah lolos menjadi peserta Pemilu 2009. Mereka yang kebanyakan adalah partai gurem keberatan dengan pasal tersebut karena mewajibkan verifikasi ulang dan jika tidak lolos kepesertaan mereka gugur. Sementara Fajrul berpendapat bahwa UU No 2/2011 melakukan political disentitlement atau penghilangan hakhak yang dulunya telah diakui. UU ini juga menandakan adanya ketidakpastian hukum bagi partai-partai berbadan hukum yang lolos dalam verifikasi. “Ini ada ketidakpastian hukum.Parpol yang sudah sah berbadan hukum dan lolos verifikasi harus ikut verifikasi yang hasilnya bisa menggugurkan keberadaan dirinya sendiri,” ujarnya. Sedangkan Robertus Robert mengatakan pendirian partai-partai adalah hak masyarakat, karena itu tidak boleh dibatasi dengan syarat yang berlebih-lebihan. Seharusnya saat ini pemerintah meningkatkan fungsi dan peran parpol. “Pembatasan parpol itu terkait dengan sistem presidensial yang menyaratkan multipartai yang efektif.Tapi seharusnya dilakukan dengan seleksi ambang batas partai, bukan dengan memperberat persyaratan pendirian,” ujarnya. Dalam kasus yang berbeda Dua orang ahli yang dihadirkan oleh pihak terkait dalam uji material UU Nomor 18/2003 tentang Advokat kemarin berpendapat organisasi tunggal advokat pada suatu negara merupakan kelaziman yang berlaku di sebagian besar negara di dunia.Keberadaannya tidak dengan serta-merta meniadakan organisasi-organisasi advokat di tingkat lokal maupun organisasi yang telah ada sebelumnya. DuaahlitersebutadalahPresident of International Bar Association (IBA) Akira Kawamura dan President of Law Asia Lister Garson Huang. Mereka dihadirkan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) selaku pihak terkait untuk menjelaskan organisasi advokat yang diterapkan pada sejumlah negara dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi kemarin. (Kliping SINDO) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar