PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
NILAI tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus menunjukkan penguatan yang signifikan. Sejumlah analis memperkirakan rupiah bisa menembus 8.500 per dolar AS, bahkan mungkin menyentuh 8.000 per dolar AS.
Sepanjang April 2011 rupiah berhasil menguat 145 poin atau 1,7% dari posisi akhir Maret yang masih bertengger di 8.708 per dolar AS. Perkembangan nilai tukar itu sudah jauh menguat bila dibandingkan dengan asumsi nilai tukar yang dipatok APBN 2011 sebesar 9.250 per dolar AS.
Posisi rupiah terhadap dolar AS saat ini bahkan merupakan yang terkuat dalam tujuh tahun terakhir. Namun, jangan buru-buru membusungkan dada. Sebab, penguatan rupiah itu sesungguhnya seperti buah simalakama. Dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah.
Harus diakui, penguatan rupiah disebabkan perpaduan antara kinerja ekonomi makro yang stabil dan kebijakan suku bunga rendah di AS. Para pemodal tidak ragu-ragu lagi berinvestasi dalam mata uang lokal karena melihat cerahnya prospek ekonomi Indonesia ke depan.
Penguatan rupiah terhadap dolar AS pasti membawa dampak positif bagi APBN. Sebab, setiap penguatan sebesar Rp100 dari asumsi APBN 2011 akan menghemat belanja negara di APBN 2011 sebesar Rp400 miliar.
Dampak positif lainnya, tekanan inflasi dari luar pasti berkurang. Pengusaha yang menggunakan barang impor diuntungkan karena biaya produksi bisa ditekan.
Akan tetapi, dampak negatifnya, penguatan rupiah berpotensi menekan ekspor. Bisa jadi seluruh hasil produksi dalam negeri kalah bersaing di pasar internasional dengan produk sejenis dari negara lain.
Itulah sebabnya, kalangan pengusaha mendesak otoritas moneter segera mengintervensi nilai tukar rupiah agar tidak terlalu kuat sehingga menghajar ekspor kita.
Keresahan para pengusaha itu tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka meneken kontrak dagang pada saat rupiah masih di atas 9.000 per dolar AS. Begitu rupiah bertengger pada posisi 8.500 per dolar AS, itu artinya ada keuntungan yang hilang sedikitnya 5% dalam sekejap mata.
Dampak negatif lainnya ialah penguatan rupiah juga membuat aktivitas impor naik, terutama dari China. Pada saat rupiah lemah saja barang asal China sudah membanjiri hingga ke pasar tradisional. Apalagi kalau rupiah menguat, serbuan barang asal China pasti tidak bisa dibendung lagi.
Serbuan barang impor itu menyebabkan industri lokal terancam gulung tikar karena kalah bersaing di rumah sendiri. Para industrialis akhirnya beralih profesi menjadi pedagang.
Remuknya industri lokal itu menambah pengangguran dan pengangguran berpotensi memicu kriminalitas.
Maka, harus tegas dikatakan, pemerintah tidak boleh lengah terhadap fenomena rupiah perkasa. Itu adalah buah simalakama, madu sekaligus racun bagi perekonomian kita.
Rabu, 04 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar