Minggu, 24 Oktober 2010
PEMERINTAHAN SBY & KEPEMIMPINAN SEPEDA ONTEL
Tulisan ini sabagian saya kutip dari kolom BULETIN JENDELA (penulisnya SUTORO EKO YUNANTO)yang diterbitkan oleh Kampusku tercinta STPMD "APMD" Yogyakarta, dan saya mengkontekskan artikel ini situasi dan kondisi pemerintahan SBY saat ini.
Mari kita menganalisa bersama secara kontekstual pemerintahan saat ini (SBY-Budiono;
Para pemimpin mungkin bakal berang bila citra “sepeda ontel” ditempelkan dalam kepemimpinan, demikian halnya pemimpin besar bangsa ini SBY-Budiono. Apalagi para pemimpin yang kolot dan feodal. Betapa tidak, sepeda ontel hanyalah sebuah sarana transportasi rakyat biasa yang bukan pemimpin. Ia identik dengan citra kelas kere. Dalam masyarakat modern kepemimpinan identik dengan kekuasaan, jabatan formal dan kekayaan, sehingga seorang pemimpin tidak pantas menggunakan sepeda ontel sebagai sarana transportasi. Citra pemimpin kita saat ini, identik dengan citra sebuah mobil sedan mewah, jas (baju) yang mahal dan mewah, potongan rambut yang selalu rapi dan necis (stylis) sampai koleksi-koleksi perabot rumah tangga-pun yang mewah dan berkelas (elite: (liat kondisi rill, dari kepala desa sampai presiden). Hal ini tentu sangat kontras dengan nasib dan kondisi rakyat yang serba kekurangan dalam berbagai aspek kehidupan, yang harus berebut mendapatkan jatah beras raskin, pembagian sembako murah, meninggal karena berebut zakat, busung lapar karena kekurangan pangan, mengemis dan dan meminta-minta dijalanan dan jutaan profesi yang dianggap kurang terhormat" bagi sebagian kalangan (mapan), semua menjadi label yang tepat untuk rakyat kita saat ini. Penulis melakukan analisa dengan filosofis sepeda ONTEL, dimana “sepeda ontel” punya nilai dan semangat kebajikan yang mulia, tidak saja karena sejarah dan kesederhanannya model dan bentuknya, akan tetapi merujuk pada nilai-nilai spirit dan spiritualitas yang terkandung didalamnya.Seperti yang diuraikan oleh Sutoro Eko,bahwa dalam kontek kepemimpinan yang canggih dan progresif adalah sebuah kolektivitas yang bisa dianalogikan sebagai sepeda ontel. Sekarang Anda bayangkan sebuah sepeda ontel. Paling tidak ada perangkat penting pada sepeda ontel.
Pertama, roda depan yang berarti tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemimpin dan anggotanya harus bertindak sukses menggapi cita-cita yang diharapkan kelompok atau lembaga.Artinya bahwa pemimpin harus mampu menciptakan sistem dan strategi yang jitu dalam mengendarai negara menuju tujuan yang jelas, yaitu masyarakat bangsa yang sejahtera. Kedua, roda belakang adalah solidaritas, yang mendorong laju roda depan. Solidaritas berarti pemimpin dan anggotanya harus punya hubungan baik satu sama lain dan punya kebersamaan untuk melaju ke depan. Baik roda depan dan belakang tidak bisa dipisahkan. Hal ini merujuk pada kemampuan masyarakat untuk mengajak dan bekerjasama dengan rakyat dalam mencapai tujuan, pemimpin harus merakyat (lebih baik lagi kalo ia sangat dekat dengan rakyat dan sering bertemu dengan rakyat untuk mengetahui berbagai aspirasi dan kebutuhan riil rakyatanya) Kedua prinsip tersebut saling melengkapi. Kuksesan meraih cita-cita akan memperkuat solidaritas, dan solidaritas akan memperkuat upaya meraih cita-cita. Ketiga, pedal yang menjadi penghubung serta penggerak roda depan dan belakang. Pedal juga merepresentasikan kapasitas dan pertumbuhan personal baik pemimpin maupun anggotanya, untuk mengambil inisiatif melaju terus menggerakkan dua roda sepeda.Para menteri dan seluruh pembantu presiden, termasuk juga anggota DPR tidak hanya menjadi katalisator,dalam merumuskan berbagai kebijakan yang pro rakyat,akan tetapi harus mampu menjadi inspirator yang bijak dalam mendorong kreatifitas dan kemandirian rakyat. Keempat, kemudi (stang), sebagai kendali atas arah laju sepeda. Dalam kelompok atau lembaga, pemimpin adalah pemegang kendali atas stang. Stang adalah rangkaian visi, misi, kebijakan dan program, sebagai kendali terhadap arah dan tindakan lembaga. Jika lembaga tidak mempunyai semua itu sama saja sepeda yang tidak punya stang.
Filsafat sepeda ontel merupakan pelajaran berharga bagi para pemimpin untuk membangun kepemimpinan yang kuat. Pemimpin yang baik bukanlah seorang nahkoda kapal yang mengendalikan kapal dengan mudah dalam ruang tertutup, yang tidak mengenal dan punya solidaritas dengan penumpangnya. Pemimpin yang baik bukanlah seorang pejabat yang duduk manis di dalam mobil. pemimpin yang bijak dan khasrismatik bukan pemimpin yang sering memberikan pidato dan mengeluh didepan kameri dan media. Pemimpin yang merakyat, bukanlah pemimpin yang suka mencari simpatik rakyat dengan pencitraan diri, Pemimpin yang baik juga bukan identik dengan sopir yang dengan mudah dan cepat mengendalikan mobil tanpa kena panas, angin dan hujan. Bagi saya, pemimpin yang baik adalah pengemudi sepeda ontel yang dengan susah payah memegang kendali dan mengayuh sepeda itu, lalu mengarahkan sepeda ontel itu menuju tujuan yang pasti (welfare state). Baik pengemudi (pemimpin) maupun pembonceng (anggota) tentu saling kenal dan punya solidaritas yang kuat. Pembonceng (anggota) akan merasakan betul betapa susahnya menjadi pengemudi (pemimpin) sepeda. Sepeda ontel yang dikendalikan sang pemimpin itu akan berjalan mulus dan lancar bila jalan yang dilewati datar dan mulus. Tetapi bila sepeda melewati jalan yang naik dan rusak, sang pemimpin itu harus bekerja mengayuh ekstra keras dan susah. Dan hal inilah yang terjadi saat ini dimana pemerintahan SBY-Budiono lebih banyak melakukan curhat dan keluh kesa, daripada melakukan tindak-tindakan riil memperjuangkan hak dan kedaulatn rakyatnya. Artinya pemimpin memang tidak bisa hanya menikmati hak-hak istimewa dan main perintah kepada anggotanya, tetapi ia harus bertanggungjawab dan bekerja lebih keras, seraya membangun solidaritas dan legitimasi di hadapan anggotanya. Kata orang bijak, pemimpin harus bertanggungjawab paling depan bila kelompok atau lembaganya tengah mengalami penderitaan; sebaliknya pemimpin harus menikmati paling belakang bila kelompok atau lembaganya tengah memperoleh kemakmuran, dan SBY tidak melakukan hal tersebut dengan baik dan bijak. Ia selalu bersembunyi dibalik demokrasi prosedural seraya berkumandang dihadapan publik bahwa ia adalah pemimpin yan dimilih oleh 60% takyat indonesia.
Idealnya Kepemimpinan adalah elemen krusial dalam pembangunan kelembagaan. Lembaga bisa hancur karena krisis kepemimpinan. Berbagai gejolak yang tumbuh dalam masyarakat belakangan ini, misalnya, antara lain karena krisis kepemimpinan lokal yang sudah lama dirusak oleh campur tangan negara. Sebaliknya, lembaga yang kokoh dan terpercaya antara lain karena ditopang oleh kepemimpinan yang kuat.
Kepemimpinan yang kuat tidak selalu identik dengan pemimpin yang kuat atau orang yang kuat (strong leader). Seorang pemimpin yang kuat justru akan cenderung menimbulkan dehumanisasi dan kehancuran. Contohnya adalah Indonesia, yang mengalami kemunduran karena diperintah oleh para pemimpin yang kuat (atas hasil pemilu)dan bahkan demokrat mengusulkan kembali SBY untuk dilanjutkan ke periode ketiga. Artinya kita butuh pemimpin yang kuat secara legitimasi politik dan juga tegas dalam mengambil berbagai kebijakan dan keputusan politik terkait kebutuhan rakyat secara luas, bukan kepemimpinan yang kuat secara fisik.
Inilah yang membedakan Indonesia dengan Singapura atau negeri-negeri lain yang sudah advanced. Kemajuan di banyak negeri orang antara lain karena ditopang oleh kepemimpinan yang kuat, sementara kemandegan atau kemunduran Indonesia karena kerinduan maupun ketergantungan pada pemimpin yang kuat.
Kemajuan bangsa ini bukan tergantung secara mutlak pada para aktor pemimpin, tapi pada kepemimpinan yang kuat secara kolektif. Bisa jadi pemimpin adalah penentu terbangunnya kepemimpinan yang kuat. Dalam realitasnya memang seperti itu. Masyarakat kolot akan selalu menggantukan diri pada pemimpin. Pemimpin diharapkan bertindak seperti malaikat atau superman, sementara anggotanya cukup menjadi pembonceng gratis. Pengikut seperti ini berwatak agraris. Celakanya jarang sekali ada pemimpin sekuat malaikat. Kalau pemimpin cenderung kolot dan tidak membawa kemajuan, maka para pengikut berwatak agraris itu hanya bisa grundelan dan putus asa.
Membangun kepemimpinan yang kuat untuk membangun kelembagaan indonesia sebagai nation state harus dikembalikan pada empat semangat “sepeda ontel” di atas. Pertama, solidaritas dan kebersamaan antara pemimpin dan anggotanya. Dialog dan komunikasi terbuka, kerjasama kolektif, dan saling percaya mungkin merupakan cara belajar paling populer untuk membangun solidaritas. Kedua, inisiatif, komitmen dan kerja keras pemimpin dan anggotanya untuk mengayuh bergerak untuk maju. Personal growth setiap individu merupakan barang mutlak, sehingga ketergantungan pada pemimpin bisa diminimalisir. Ketiga, alat kemudi sebagai kendali arah, yang populer dalam bentuk visi, misi, kebijakan dan program yang menyeluruh. Semua ini menjadi pijakan (kendali) untuk bergerak maju. Keempat, adanya tindakan yang jelas untuk melaju terus dengan dikendalikan oleh kemudi.
Keempat aspek itu bersatu, tak dapat dipisahkan satu sama lain, bagai sebuah “sepeda ontel”. Lantas, apakah tidak butuh rem dan spion? Keduanya hanya barang sekunder, yang hanya dipakai kalau perlu. Sepeda harus digerakkan untuk melaju terus secara pasti, hati-hati, dan bertahap, meski relatif pelan. Kalau Anda butuh spion ketika naik sepeda ontel, berarti Anda adalah orang yang senang bernostalgia pada masa lampau, yang sebenarnya kurang berguna untuk menuju masa depan.
Syarief Aryfaid
Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
STPMD "APMD" Yogyakarta
Mengevaluasi Pemerintahan SBY-Budiono
Tulisan atau artikel ini saya kutip dari Detik.news.com,menurut saya tulisan ini sangat menarik dan kontekstual dalam melihat sekaligus mendiskripsikan kembali kinera pemerintahan SBY - Budiono, yang hampir oleh semua kalangan, khususnya kelas menengah dan para intelektual memberikan label GAGAL terhadap pemerintahan SBY pada jilid kedua ini.
Diakui atau tidak oleh semua kalangan masyarakat, bahwa ada perbedaan yang signifikan, untuk mengatakan kekurangan/penurunan signifikan dari kinerja pemerintahan SBY dalam memperjuangkan dgn sungguh-sungguh perbaikan hidup rakyat. hal inilah yang dapat kita temui dalam hasil wawancara dengan seorang pengamat ekonomi politik Amerika Serikat. Setahun sudah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II berjalan. Namun kinerja pemerintah dianggap masih merah. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Di mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja pemerintah tidak lepas dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Lantas apa yang membuat pasangan SBY-Boediono belum bisa berbuat banyak selama setahun bekerja? Berikut pandangan Jeffrey Winters kepada detikcom, Sabtu (16/10/2010):
Apa pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?
Sampai saat ini saya melihat kinerja pemrintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.
Meski pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan lepas saja.
Selama ini SBY adalah orang yang selalu ingin menjadi cantik. Dan jelas dia tidak mungkin menjadi cantik di depan kamera kalau benar-benar mendorong sistemnya sehingga bajunya dan mukanya penuh keringat seperti buruh yang kerja keras di jalan atau sawah. SBY dikenal sebagai orang santun dan rambutnya selalu rapih. Orang yang santun gaya SBY bisa sukses di bidang politik, dalam arti mempertahankan posisinya di pemerintahan, tetapi tidak mungkin bisa sukseskan Indonesia yang perlu didorong keras untuk menjadi kompetitor internasional yang dahsyat.
Seharusnya rakyat tidak lagi memilih pemimpin yang hanya mengandalkan kesantunan dan bersolek diri di depan kamera. Tapi yang perlu dicari adalah seorang presiden yang lebih fokus kepada penurunan jumlah kemiskinan.
Kalau mengenai kinerja para menterinya bagaimana?
Kinerja para menteri terkait dengan performa pemimpinnya. Karena sikap presidennya sebagai leader tidak bagus tentu saja para menterinya juga tidak bagus kerjanya. Apalagi pemilihan anggota kabinet berdasarkan bagi-bagi kekuasaan supaya aman di parlemen. Hasilnya yang terjadi pemilihan bukan berdasarkan kapabilitas dan akuntabilitas. Melainkan berdasarkan jatah anggota koalisi.
Bukankah memperkuat dukungan parlemen sebagai sebuah strategi supaya pemerintahan bisa berjalan efektif tanpa diganggu manuver-manuver politik dari parlemen?
SBY sebagai calon presiden jelas menang besar di pemilu. Dua kali dia dapat 60 persen! Di seluruh dunia jumlah suara sebesar itu disebut 'Landslide Victory'. Yang aneh, SBY tidak mengunakan mandat ini untuk membentuk kabinet yang benar-benar dimiliki dia sebagai instrumen eksekutif, untuk melaksanakan dengan tegas konsep dan tujuan dia yang disampaikan dalam kampanye. Malah dia terkesan'dagang sapi' dengan partai-partai politik dan memilih kabinet yang lebih seperti kebun binatang atau 'Noah's Ark', dua wakil dari setiap jenis.
Kalkulasi SBY ternyata naif dan salah. Dia berfikir bahwa dengan kabinet seperti ini, dia akan punya basis aman di DPR dan bisa jadi lebih efektif. Yang terjadi justru sebaliknya. Malah partner-partnernya tetap melawan SBY di DPR dan memperjuangkan agenda masing-masing di kabinet. Setiap presiden di Indonesia harus berasumsi bahwa tidak akan ada dukungan kuat di DPR. Dengan begitu banyak partai, pasti akan ada perlawanan.
Pertanyaanya, bagaimana bisa menjadi eksekutif yang memaksimalkan kualitas dan solidaritas di dalam kabinet sendiri? Sudah barang pasti bahwa DPR akan selalu sulit. Tetapi, minimal bisa diharapkan bahwa kabinet akan utuh dan solid. Dengan formula SBY, justru hasil yang paling buruk, yaitu DPR yang selalu sulit dan kabinet pun yang kacau dan tidak efektif. Ingat, SBY bukan perdana menteri yang dipilih oleh MPR. Dia adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
SBY tidak pernah faham bedanya, dan akibatnya adalah kabinet yang begini sekarang, penuh menteri yang selalu memperjuangkan agenda partai politiknya terlebih dahulu dan bahkan melawan agenda presiden.
Jadi jangan heran kalau roda kabinet SBY berputar di tempat. Ini karena dua faktor. Pertama, secara pribadi SBY memang orang yang sulit ambil keputusan dan tidak bisa menjalankan strategi dengan tegas dan cepat. Dan kedua, secara struktural dia membentuk kabinet dengan cara yang pasti akan memecah daripada menyatu. Oleh karena itu, diharapkan presiden berikutnya sebaiknya membentuk kabinet yang 100 persen penuh dengan orangnya dia, yang akan memperjuangkan agenda presiden, bukan agenda partai politik masing-masing.
Mengenai pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai pemerintah SBY-Boediono, apakah menunjukan grafik yang menggembirakan?
Sekali lagi Indonesia menjadi 'flavor of the day' untuk 'hot money financial' yang bersirkulasi dengan cepat di bumi ini. Indonesia harus waspada terhadap investasi DCCP ini (datang cepat, cepat pergi), malah pemerintah sepertinya membanggakan bahwa uang tersebut tertarik dengan bursa efek Jakarta.
Padahal tidak ada alasan yang mendasar untuk uang tersebut mengalir ke Indonesia selain spekulasi sementara. Kalau berbudi, pemerintah akan hati-hati dengan investasi macam ini, karena pertama, tidak menambah jumlah investasi modal di sektor riil. Kedua, justru pulangnya uang seperti ini yang membuat krisis finansial 1997-1998 ganti status dari hujan biasa menjadi badai luar biasa.
Saya melihat, Indonesia saat ini masuk ke dalam situasi yang bahaya dan pemerintah SBY serba senyum dan bahagia. Bentuk selalu kalahkan isi, sejak SBY naik menjadi presiden.
Apakah ini artinya satu tahun ini SBY-Boediono gagal menggerakan perekonomian nasional? Bagaimana indikatornya?
Pejabat dan presiden di Indonesia punya penyakit yang saya sebutkan 'Mentalitas 7 Persen'. Penyakit mental ini punya dua dimensi. Satu, ada konsep bahwa Indonesia hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen saja. Target di atas 7 persen dianggap mimpi dan tidak realistis. Kedua, jika Indonesia bisa mencapai 7 persen, ini dianggap cukup untuk membuat masa depan jauh lebih baik. Dua-duanya salah.
Kalau Cina dan India bisa mencapai pertumbuhan double digit atau 10 persen ke atas, Indonesia tidak ada alasan yang relevan selain tidak mau membuat perubahan supaya memang ada kinerja ekonomi yang lebih tinggi. Dan, kalau ternyata Indonesia hanya mencapai 7 persen, dan terus terang selalu jauh di bawah target, rakyat harus menunggu lama untuk ke luar dari kemiskinan. Mana ada presiden atau partai yang punya 'Visi 2045'? Ini seratus tahun kemerdekaan dan seratus tahun pembangunan. Apakah Indonesia bisa menjadi negara maju dalam waktu 35 tahun ini? Negara maju?
Tidak ada yang berani setting tujuan se-ambisius itu, karena untuk benar-benar mencapai target tersebut, harus ada perubahan besar mulai sekarang. Elit politik di Indonesia lebih mementingkan partainya, bisnisnya, atau bahkan sakunya pribadi. Itu kenyataan. Jadi rakyatlah yang harus maksa perubahan yang lebih cepat, dan sense of urgency di tingkat pemerintahan yang jauh lebih tinggi. Elit politik di Indonesia sangat rajin setting target yang rendah, justru supaya bisa malas dan senang. Dan, yang menjadi korban adalah rakyat luas.
Pertanyaan kritis dan kontekstual yang dapat kita ajukan untuk mengetahui apakah pemerintahan SBY-BUdiono pro rakyat atau tidak adalah sebagai berikut:
1) Seberapa banyak regulasi dan kebijakan nasional yang bersifat strategis memberikan kedaulatan penuh terhadap kemapanan ekonomi nansional, khususnya meningkatanya ekonomi sektor riil berbasis ekonomi kerakyatan?
2) Apa saja upaya yang dilakukan oleh SBY dalam memproteksi penuh ekonomi pertanian nasinal kita? termasuk pada sektor agraris??
dua pertanyaa tersebut, sengaja saya ajukan sebagai metode komparatif mengukur klaim keberhasilan ekonomi makro yang dielus-eluskan oleh pemerintahan SBY dan juga partai Demokrat.
Jumat, 22 Oktober 2010
Mencari Metode Baru Pengganti Pemilu
(Syarief Aryfa'id)
Pemilu (KPU, PANWAS, dll), pemilih (voters/perilaku pemilih) dan partai politik, merupakan tiga pilar utama dari rezim demokrasi prosedural. ketiga pilar tersebut masing-masing memiliki potensi untuk dijadikan indikator tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu pemilu.
Apa itu Pemilu?
Pemilu menjadi salah satu jalan alternatif yang paling banyak digunakan oleh nehara-negara di dunia (yang mengkkalim sebagai negara demokrasi) dalam mengatur dan mengelola sirkulasi pemimpin, yang walaupun dalam pelaksanaanya terdapat berbagai varian. Pemilu dalam konteks indonesia dewasa ini, pemilu hanya berfungsi sebagai sarana dan arena untuk membentuk perwakilan politik, dengan cara memilih para wakil yang akan duduk dilembaga perwakilan legislatif, maupun memilih pemimpin puncak eksekutif. sehingga ia (pemilu) hanya mampu melahirkan figur politik atas nama demokrasi.secara sederhana kita seringkali medefenisikan Pemilu sebagai arena kontestasi elit yang berkompetisi untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan
Pada zaman Modern seperti saat ini, pemilu menjadi penting karena: Pertama, pemilu sebagai mekanisme keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi.Ketiga, Pemilu juga terkait dengan implikasi-implikasi yg luas secara politik, ekonomi dan sosial (dari pemilu); termasuk menjadi metode alternatif digunakan oleh kelompok-kelompok penekan dalam memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. seperti dalam perspektif Schumpeterian tentang demokrasi: dimana ia menyebutkan demokrasi sebagai “metode politik”. pendapat ini sekaligus mendominasi teorisasi demokrasi, sehingga banyak kalangan memberikan konklusi bahwa pemilu menjadi elemen penting untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara.
Kegelisahan penulis adalah, kenapa kita harus percaya pada rezim pemilu, tidak itu hanya model labelisasi atas sebuah sistem yang disepakati oleh siapapun, dan apakah kita tidak mampu menyepakati metodelain selain pemilu sembari kita melabelkannya degan versi bangsa kita???? Prezeworski dkk mengingatkan bahwa jika demokrasi hanya dipahami sebagai “sekedar rezimisasi yg menyelenggarakan pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan”, maka pemilu akan melahir aktor-aktor; pejabat-pejabat publik yang kotor dan mendapat legitimasi secara politik, namun tidak menjadikan legitimasi tersebut sebagi basis fondasi dalam melakukan kebaikan-kebaikan terhadap rakyat. Sedangkan kritik sering kita jumpai dalam pelaksanaan demokrasi elektoral (pemilu) kita saat ini yaitu hight cos (ekonomi, sosial dan politik. Baik pemilu nansional maupun dalam konteks pilkada. Biaya pemilu (secara finansial) yang mahal tersebut seringkali tidak paralel atas terwujudnya kesejahteraan rakyat, atau paling tidak secara minimalis melahirkan pemimpin-pemimpin yang pro rakyat, pro poor dan pro growth. Justru pemilu menciptakan ruang resistensi sosial pada level grassroot (munculnya berabagai konflik sosial politik di tingkata masyarakat) sebagai akibat dari pemilu dan hasil pemilu tersebut. Hal ini diperparah dengan kondisi tidak berjalanya fungsi-fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan dan pemberdayaan politik kepada masyarakat.
Kondisi inilah sekiranya kita harus belajar mencari formulasi baru sebagai pengganti demokrasi electoral (pemilu), sebab dalam perspekktif kritis saya, bahwa mencari pemimpin itu tidak sulit, dan justru prosedur-prosedur yang kita adopsi-lah yang mempersulit lahirnya dan munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Statement penulis: hampir tidak ada dinegeri ini orang miski yang punya kesempatan jadi pemimpin, karena memang prosedur dan sistem kita hanya memberikan peluang bagi mereka yang kaya saja untuk mengisi jabatan-jabatan publik (politik) dibangsa ini.
kalu kita sepakat mengatakan pemilu itu cara atau metode, maka masih banyak metode atau cara lain yang lebih bijak dan relevan dalam "menemukan" pemimpin di bangsa ini, baik untuk tingkat nasional maupun tingkat lokal.
Menyimak berbagai kasus dan kegagalan pemilu melahirkan pemimpin yang pro rakyat, maka sudah sepantasnya saya dan juga teman-teman sepakat bahwa rezim pemilu berada diambang kegagalan, karena secara prosedural dari keseluruhan rangkaian pentahapan pemilu yang telah dilewati tidak satupun tahapan pemilu yang dapat dilalui dengan baik (jujur dan adil. Tahapan-tahapan tersebut justru menimbulkan berbagai maslaha sosial dan politik. (liat pemilu 2004 dan 2009 serta rangkaian pilkada di indonesia). Pemilu hanya menjadi seremonial dari demokrasi dan menegasikan kualitas dari proses tersebut, berbagai kecurangan dan manipulatif terjadi pada seluruh tahapan pemilu.
Kita perlu renungkan kembali dan mengkritisi dengan pernyataan-pernyataan bahwa Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri, yang tepat adalah pemilu sebagai sarana sekelompok orang untuk menindas rakyat melalui cara yang konstitusional.
Demokrasi Prosedural vs Substansi
Bangsa ini telah melakukan perubahan mendasar pada tataran sistem negara, sehingga mendapat apresiasi dari dunia internasional terkait keberhasilan Indonesia dalam menjalan “model demokrasi prosedural” ( J. Schumpeter; 1942) yang ditandai dengan keberhasilan bangsa ini melakukan sirkulasi kekuasaan dengan cara pemilu. Walaupun pada tataran empirik, pemilu yg dilaksanakan maasih menyisahkan berbagai persoalan manipulasi dan kecurangan-kecurangan.
Jika pemilu (demokrasi) dipandang sebagai model yg paling relevan bg bangsa ini sbg jalan utk mengelola dan mengurus rakyat-bangsa, maka seharusnya kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah akan menjadi lebih efektif, krn sistem demokrasi mengajarkan pentingnya menjalankan secara totaliter mandat-mandat rakyat yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk kebijakan- dan kebajikan yang pro rakyat ( pro poor, pro growth). seperti yang dikemukakan oleh John Locke tentang contrac social, dimana demokrasi menjadi arena atau ruang terciptanya kontak sosial antara rakyat dan pemerintah, dan pemerintah yang baik adalah pemerintah yang berhasil menjalankan mandat rakyatnya, dan bukan pemerintahan yang lebay dan mengedepankan pencitraan individu dbg basis perbaikan nasib rakyat.Pemerintahan SBY-Budiono yag seringkali bangga dengan kemenangan mutlak pada pemilu 2009 yg lalu, idealnya adl pemerintah yg memiliki legitimasi yg kuat, hal ini didukung oleh peroleh kursi di DPR yg signifikan serta dibantu oleh koalisi yg relatif besar. Tp toh.. apa yg dihasilkan oleh pemerintahan yg “legitimasi tersebut? apa yg telah mereka perbuat utk kepentingan rakyat (secara luas?. Justru yang terjadi adalah anomali-anomali dari legitimasi demokrasi.Pemerintah yang terbentuk atas kehendak rakyat, akan tetapi bertindak atas kehendak partai politik dan kehendak kelompok-kelompok borjuasi hitam.Secara normatif pemerintahan SBY memahami demokrasi sebagai “kehendak rakyat” (the will of the people), tapi ia lalai dengan prinsip lain soal kebaikan bersama, atau kebajikan publik (the common good) (Montesque). ha ini karena pemerintahan SBY hanya melihat demokrasi dari sumbernya saja dan bukan dari tujuan demokrasi (Thomas Hobbes). Pemerintahan SBY keliru mengimplemntasikan demokrasi, yg lebih cenderung dimaknai sebagai respon terhadap paham yang memberikan kekuasaan mutlak pada negara, baik berbasiskan proseduralisme teokratis maupun duniawi seperti dalam konsep Thomas Hobbes tentang Laviathan.
Jika menyimak dlm pandangan demokrasi klasik, pemerintahan konstitusional harus mampu membatasi & membagi kekuasaan mayoritas & sekaligus dpt melindungi kebebasan individu, hak-hak warga negara sbg sebuah nation-state, maka sesungguhnya pemerintah SBY-Budiono gagal melakukan hal tersebut (simak berbagai kasus kekerasan dan konflik). Negara dan pemerintah sesungguhnya diciptakan untuk menjamin kndisi rakyat agar menjadi baik, menjawab segala tuntutan rakyat soal terwujudnya welfare state, seperti yg diingatkan oleh Jhon Locke, bahwa negara diciptakan karena suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan antar rakyat. dengan tjuannya melindungi hak milik, hidup & kebebasan dari berbagai ancaman bahaya. tetapi hal tersebut juga GAGAL dilakukan leh pemerintahan SBY. Pemerinthan SBY hanya mengabil pandangan demokrasi klasik pada aspek normativ dan utopis dan sisi lain mengadopsi model demokrasi ala Schumpeterian pada aspek proseduralnya (dan itu-pun tidak tuntas) dan menegasikan konsep empirisme, deskriptif, dan institusional.Kita ketahui bhw dalam sistem demokrasi prosedural, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok:1) kompetisi yang sungguh-2 dan meluas antara individu dan atau kelompok (terutama parpol) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan; 2). Partisipasi politik yg melibatkan sebanyak mungkin warga dlm pemilihan pemimpin & kebijakan, paling tidak melalui pemilu secara reguler dan adil, tak satupun kelompok dikecualikan;3). Kebebasan sipil & politik (berbicara, pers, berserikat) yg cukup menjamin intergritas kompetisi & partisipasi politik. (Sistem “demokrasi electoral” merupakan sebuah bentuk atau metode berdemokrasi ala Scumpterian).Rujukan: Joseph Schumpeter “Capitalism, Socialism and Democracy” (1942). Dan dalam bukunya tersebut schumpeter mengingatkan bhw apa yg disebut kehendak rakyat sebenarnya hasil dari proses politik, bukan motor penggeraknya, dan Schumpeter menekankan pada prosedur atau metode demokrasi. dan inilah yg kemudian dijadikan acuan oleh pemerintah termasuk politisi-politisi demokrat dan yg berperan sbg penjilat SBY. (baca Palma, Dahl, Przeworski, Huntington, Diamond, Linz dan Lipset).
Secara substantif Demokrasi pada dasarnya dibangun dengan landasan etis dan moraliti yang mencakup nilai-nilai moral, pemikiran kritis, fair, yang kesemua itu muncul dalam tiap praktek pada arena politik dan ekonomi. dan pemerintah mengejawantahkanya dalam tataran empirik obyektif melaui praktek-pratek kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada perbaikan nasib rakyat sebagai warga negara. Negara harus selalu hadir untuk rakyatnya, dalam kondisi apapupun.
Landasan moraliti demokrasi tentunya dipahami sebagai mekanisme penciptaan tata pemerintahan yang punya empathic terhadap rakyatnya secara konkrit, dan bukan hanya melalui proses pencitraan pemimpin semata. sehingga keteladan terhadap pemimpin menrujuk pada aspek sistem bukan pada perilaku individu semata. Hal ini lah yang terjadi saat ini, dimana SBY mengidolakan dirinya sendiri agar menjadi idola rakyat.
Demokrasi bukan tujuan, demokrasi secara subtantif merupakan jalan alternatif menuju perbaikan relasi negara dan rakyat dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama serta mempermudah berlangsungnya kontrak sosial.
Syarief Aryfa'id
Penulis adalah Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta
Jl. Timoho No.317 Yogykarta
Rabu, 08 September 2010
RESOLUSI KONFIK
Disampaikan pada Kuliah Resolusi Konflik
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta
Hari: Selasa dan Jum’at, Waktu: 10.30-12.00 WIB Ruang A.5
Oleh: ARIE FA’ID
Mengetahui & Memahami Konflik
Konflik adlh suatu keniscayaan (Lacey, 2003); Konflik mrpkn fakta kehidupan—tdk selalu terkait dgn persoalan baik dan buruk (cth: pertentangan opini). Agar berhasil dlm mengelola konflik dgn baik, maka perlu memahami konflik dgn baik-pula. Memahami berarti mengerti atau mengetahui sesuatu secara mendalam. Memahami lebih dari sekedar mengetahui. Memahami menysayaratkan penguasaan detail suatu hal, seluk beluk, bahkan asal-usul (Mulkhan, dkk, 2001)
Perspepsi dan Konflik
Perspektif yg berbeda-beda ttg kehidupan dan berbagai masalah, yang dilatar belakangi oleh: sejarah dan karakter masing-masing orang; jenis kelamin, pandangan hidup yg khas, ( org pedalama dgn org kota)—dpt menjadi konflik
Konflik ada karena adanya perbedaan pandangan. Konflik pd fase ini akan melahirkan sebuah perspektif baru/cara pandang baru sbg solusi alternatif
Konflik dan Kekerasan
Scr konseptual konflik dibedakan dgn kekerasan. Konflik (conflict) adlh hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan yang bertentangan. Sedangkan kekerasan (violence) meliputi tindakan, kata-kata dan sikap struktur atau sistem yg menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan, dan/atau menutup kemungkinan org utk mengembangkan potensinya. Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yg tdk dpt dielakkan, dan seringkali berisifat kreatif
Konflik terjadi ketika org mengejar sasaran yg bertentangan.
Konflik meliputi semua hubungan kemanusiaan, baik hubungan sosial, ekonomi, maupun kekuasaan. Konflik muncul akibat ketidak seimbangan pd hubungan-2 ini--; misl, status sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya, serta kekuasaan yg tidak adil mengakibatkan berbagai persoalan, seperti diskriminsasi, pengangguran, kemiskinan, tekanan, dan kejahatan.-------masing2 tingkatan saling berhubungan dgn tingkata lainya, dan membentuk rantai kekuatan yg kukuh dan potensial utk mencapai perubahan yg konstruktif atau kekerasan yg destruktif.
Tipe-tipe Konflik: dan cara menyikapinya
1. Mengidentifikasi Konflik (intesifiying conflict)
2. Menekan Konflik (Suppressing Conflict
1.Mengidentifikasi Konflik (intesifiying conflict
Konflik kadangkala perlu diintensifkan; cth; org yg memegang kekuasaan yg relatif lama.----ada orglain yg dirugikan. Kerja-2 kemanusiaan para aktifis, biasanya mengintensifkan konflik, membuat konflik tampak nyata, dari laten menjadi terbuka, dpt disaksikan dan diselesaikan.
Konflik; ada 2 macam situasi konflik,yaitu; intensifiying conflict dan escalating conflict.
intensifiying conflict ; upaya membuat konflik yg tersebunyi mnjadi tampak nyata dan terbuka, utk tujuan baik dan penyelesaian masalah, sedangkan escalating conflict; kondisi ketika level tekanan dan kekerasan meningkat
Kondisi tanpa konflik (no Conflict): mrpkn kondisi yg diinginkan semua org, namun demikian kelompok atau masyarakat yg damai, jika ingin bertahan lama, maka hrs hidup dan dinamis, menyatukan konflik tingkah laku dan tujuan, serta menyelesaikanya scr kreatif.
Konflik Laten (laten conflict):Konflik yg berada dibawah permukaan, dan sbgmn telah disarankan, konflik ini perlu dibawa kepermukaan sblm dpt diselesaiakan scr efektif
Konflik terbuka ( Open conflict): konflik ini mengakar scr dalam serta sgt tampak jelas, dn membutuhkan tindakan utk mengatasi penyebab yg mengakar serta efek yg tampak
Konflik permukaan ( Surface Conflict); konflik ini memiliki akar yg tdk dalam, atau tdk mengakar. Konflik ini muncul karena kesalahpahaman—diatasi dgn perbaikan komunikasi
2. Menekan Konflik ( Suppressing Conflict)
Suatu konflik yg tekan akan menimbulkan mslh dikemudian hari. Konflik dpt dipandang sbg masalah dn dpt juga dipandang sbg solusi.Konflik dpt menjadi masalah apabila:
Terdapt saluran yg tdk tepat utk melakukan dialog dan ketidak sepakatan Suara-2 ketdksepakatan dan keluhan yg ada tdk dpt didengar atau dibahas, Terjadi ketidakstabilan, ketidak adilan, dan ketakutan dlm komunitas dan masyarakat scr luas.
Berbagai pendekatan yg berbada dlm mengatasi Konflik
Ada beberapa model pendekatan, misalnya; Penanganan konflik ( Conflict Settlement) mencakup tindakan pencegahan konflik ( Conflict prevention), dst. Transformasi konflik ( Conflict transformation), scr umum mendeskripsikan:
Model Transformasi Konflik
1.Pencegahan konflik (conflict prevention) berupaya menecegah pecahnya konflik kekerasan (violent conflict)
2. Penanganan Konflik (Conflict Settlement) berupaya utk mengakhiri tingkah laku kekerasan dgn mencapai kesepakatan perdamaian.
3.Manajemen konflik (conflict management) bertujuan utk membatasi dan menghindari kekerasan yg mungkin terjadi diwaktu yg akan datang dgn cara mendukung perubahan tingkah laku yg positif pd pihak-2 yg terlibat
4.Resolusi konflik (Conflict Resolution) membahas berbagai penyebab konflik dan mencoba utk membangun hubungan baru dan abadi diantara kelompok-2 yg saling bermusuhan
5. Transformasi konflik ( Conflict transformation); membahasa sumber-2 politik, sosial, dan yg lebih luas dari suatu konflik dan mencoba utk mentransformasikan energi negatif peperangan menjadi perubahan sosial dan politik yg bersifat positif.
Faktor-faktor penyebab konflik
Triggers (pemicu): peristiwa yg memicu sebuah konflik, namun tdk diperlukan dan tdk cukup memadai utk menjelaskan konflik itu sendiri
Pivotal factors or root causes( faktor inti atau penyebab dasar): terletak pd akar konflik yg perlu ditangani supaya pd akhirnya dpt mengatasi konflik
Mobilizing factors (faktor yg membolisasi): masalah-2 yg memobilisasi kelompok utk melakukan tindakan kekerasan
Aggravating factors ( faktor yg memperburuk); faktor yg memberikan tambahan pd mobilizing factor dan privotal factors, namun tdk cukup utk dpt menimbulkan konflik itu sendiri ( Klem: 2007)
Pertemuan Ketiga Teori-Teori Penyebab Konflik
Teori Hubungan Komunitas (Community Relation Theory)
Teori Negosiasi Utama (Principled Negosiation Theory)
Teori Kebutuhan Manusia ( Human Need Theory)
Teori Identitas (Indentity Theory)
Teori Miskomunikasi Antar Budaya (Intercultural Miscommunication Theory)
Teori Transformasi Konflik ( Conflict Tranformation Theory)
1.Teori Hubungan Komunitas (Community Relation Theory
Asumsi dasar:
Konflik disebabkan oleh polarisasi, ketidak percayaan, dan permusuhan antar kelompok-2 dlm suatu komunitas.
Sasaran kerja teori ini:
1. Utk memperbaiki komunikasi dan pemahaman diantara kelompok yg bertentangan
2. Untuk mendukung toleransi yg lebih besar dan penerimaan keragaman dlm masyarakat
2.Teori Negosiasi Utama (Principled Negosiation Theory)
Asumsi:
Bahwa konflik disebabkan oleh posisi yg tdk tepat serta pandangan ttg “ zero-sum” mengenai konflik yg diadopsi oleh kelompok yg bertentangan.
Sasaran Kerja:
Membantu kelompok-2 yg bertentangan utk memisahkan pribadi dari masalah dan persoalan, dan utk mampu melakukan negosiasi atas dasar kepentingan mereka dan bukan atas dasar posisi mereka
Memfasilitasi kesepakatan yg menawarkan keuntungan bersama bagi kedua atau semua kelompok
3.Teori Kebutuhan Manusia ( Human Need Theory)
Asumsinya:
Bahwa konflik yg berakar dalam, disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia--- fisik, psikologis, dan sosial--- yg tdk terpenuhi atau dikecewakan. Keamanan identitas, pengakuan, partisipasi dn otonomi seringkali disebut pula sbg kebutuhan manusia
Sasaran kerjanya:
Membantu pihak-2 yg berkonflik utk mengindentifikasi dan menyampaikan kebutuhan yg tdk terpenuhi, dan memunculkan berbagi pilihan utk memenuhi kebutuhan tersebut.
Bagi pihak-2 tersebut agar mencapai kesepakatan ttg kebutuhan identitas penting dari semua pihak
4.Teori Identitas (Indentity Theory)
Asumsinya:
Bahwa konflik disebabkan oleh perasaan akan adanya identitas yg terancam. Perasaan semacam ini muncul karena perasaan kehilangan dan penderitaan masa lalu yg tdk terselesaikan.
Sasaran kerjanya:
Workhsop dan dialog yg difasilitasi bagi pihak-2 yg berkonflik utk tujuan mengidentifikasi ancaman dan ketakutan yg mereka rasakan serta utk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka
Bersama-sama mencapai kesepakatan utk mengenai kebutuhan-2 identitas semua pihak.
5. Teori Miskomunikasi Antar Budaya (Intercultural Miscommunication Theory)
Asumsinya:
Bahwa konflik disebabkan oleh pertentangan antar gaya komunikasi antar budaya yg berbeda.
Sasaran kerjanya:
Meningkatkan pengetahuan masing-2 pihak yg terlibat konflik mengenai budaya masing-2
Memperlemah streotype negatif dimasing-2 pihak
Meningkatkan komunikasi antar budaya yg efektif
Asumsinya:
Bahwa konflik disebabkan oleh pertentangan antar gaya komunikasi antar budaya yg berbeda.
Sasaran kerjanya:
Meningkatkan pengetahuan masing-2 pihak yg terlibat konflik mengenai budaya masing-2
Memperlemah streotype negatif dimasing-2 pihak
Meningkatkan komunikasi antar budaya yg efektif
Rabu, 09 Juni 2010
disfungsional kemaluan oleh digitalisme
Beredarnya gambar dan filem seronok yang di duga mirip Aril (piterpan) dan Luna maya di berbagai media, tentu saja bukan cerita baru tentang perilaku porno aksi dan aksi seronok ala porno yang dilakukan oleh para artis dan publik figur di tanah air kita.
berbagai bentuk pose, dan adegan seronok tersebut,tidak saja mengundang rasa amarah, benci, dan bahkan teriakan caci-dan maki dari publik, akan tetapi juga mengundang rasa penasaran dan keingin tahuan publik atas publikasi adegan seronok tersebut.
bila kita merunut kebelakang sejenak, bahwa maraknya publikasi aksi privaci yg seronok tersebut, ketika masyarakat kita mulai diperkenalkan dgn era digital, yaitu fase dimana berbagi bentuk barang elektronik canggih (kamera, Hp, video, dll) mudah dijangkau dan praktis digunakan.
beberap publik figur, politisi, pejabat, birokrat, juga pernah jadi korban era digitalisme tersebut. tentu persoalan tersebut sgt tidak elok kalu kita menyalahkan teknologi, menurutku yg patut disalahkan adalh para user,seperti halnya para publik figur tersebut.
kini, saat ini kita memang sedang dipertontonkan oleh kemolekan tubuh manusia yg direkam oleh alat yg canggih, dan bahkan moralitas kita ada dlm genggaman rezim digitalisme.
saya kira, saaat ini kita mesti mampu menjadi user ygcerdas, dan melakukan proteksi internal, agar tidak menyalah gunakan kecanggihan alat sbg ajang untuk merekam, menyimpan dan mempublikasikan adegan seronok ala aksi porno (yg di duga: aril dan luna maya tsbt).
Demokrasi Desa
(syarief Ary fa'id)
DEMOKRASI
Demokasi adalah sebuah konsep inklusif. Demokrasi pada dasarnya berarti pemerintah oleh rakyat. Rakyat dalam hal ini pada prakteknya memang dibatasi dengan beberapa cara: ‘mayoritas’, ‘warga’, berhak memilih dan dipilih dan seterusnya. Dengan kata lain, memang pada prakteknya tidak seluruh rakyat perindividu bisa terlibat dalam proses demokratik, namun paling tidak semua elemen masyarakat yang eligible terakomodasi disana.
Demokrasi modern dihadapkan pada kenyataan kompleksitas masyarakat, sehingga pemilihan dan perwakilan menjadi azas yang sangat penting di dalamnya, sebagai alternatif terhadap demokrasi secara langsung yang bisa diterapkan dalam masyarakat sederhana. Terlepas dari itu, demokrasi punya dua dimensi yang mutlak harus ada; prosedur dan semangat. Prosedur yang berkaitan dengan tatacara serta pola hubungan antara lembaga dan aktor yang bermain dalam proses formal demokrasi. Dalam hal ini elemen-elemen seperti pemilu, partai politik, lembaga perwakilan (termasuk BPD di tingkat desa) menjadi sangat penting.
Semangat berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar yang harus terpenuhi dalam penyelenggaraan demokrasi. Beberapa prinsip penting antaralain, pertama, demokrasi mendasarkan diri pada pola hubungan dialogis, sebagai kebalikan hubungan monologis antara pemimpin dan yang dipimpin, antara negara dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, dan seterusnya. Kedua, sebuah proses dan sistemik demokratik mendasarkan diri secara mutlak terhadap seperangkat hukum dan tata aturan main yang disepakati bersama, serta tak seorangpun yang berkedudukan lebih tinggi dari hukum itu.
Ketiga, setiap keputusan dalam proses demokratik harus bersifat partisipatif terhadap semua pihak, terutama yang bakal dikenai oleh keputusan itu. Keempat, pihak yang diberi mandat untuk memimpin bertanggungjawab sepenuhnya kepada pihak yang memberi mandat, yakni rakyat. (Annual Report, IRE, 2002)
Sebagai sebuah semangat, maka demokrasi pada intinya adalah sebuah nilai universal yang tunggal, yang bisa diterapkan dan ditemui di sudut manapun dipermukaan bumi ini; sementara sebagai prosedur, demokrasi memang memiliki sejumlah besar varian, dimana tak satu varianpun bisa serta-merta dianggap lebih unggul dari pada varian yang lainnya. Berjalannya proses demokratik secara baik akan lebih menjamin rasa saling percaya antara elemen-elemen masyarakat, serta antara masyarakat dengan negara; dan sebaliknya, dalam sebuah sistem yang tidak demokratik. Meski secara prosedural demokrasi seringkali terasa bertele-tele dan membutuhkan biaya yang mahal serta waktu yang cukup banyak, namun hingga saat ini demokrasi merupakan sistem yang paling fair dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara pada setiap levelnya.
Demokrasi pada level desa, proses demokratik akan berjalan secara wajar apabila didasarkan pada nilai-nilai yang asli yang memang telah diyakini dan disepakati bersama oleh seluruh masyarakat desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga representatif warga desa, akan berfungsi sebagai lembaga yang menjamin bahwa demokrasi secara prosedural telah berjalan ditingkat desa. Namun semangat-semangat demokrasi memerlukan persyaratan yang jauh lebih mendasar dari pada terbentuknya BPD. Dalam hal ini, sudah waktunya kearifan lokal dipersilahkan untuk mengaktualisasikan dirinya kembali. Dalam waktu yang cukup lama, praktek-praktek demokrasi yang paling genuine yang biasanya dapat ditemui dilingkungan pedesaan perlahan tapi pasti terlunturkan maknanya. Hal ini berkaitan dengan masuknya otoritarianisme negara ke desa pada satu sisi, serta berjalannya mekanisme yang sangat bias di mana banyak kearifan lokal harus mengalah terhadap nilai-nilai modern yang diklaim lebih ‘universal’ (Annual Report IRE, 2002)
Demokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan ini dan pertanyaan mengenai kondisi dan pra kondisi yang dibutuhkan telah di perdebatkan secara intensif selama beberapa abad. Tentu saja sumbangan pertama dalam diskusi ini berasal dari jaman Yunani kuno.
Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Defenisi “pemerintah oleh rakyat” mungkin terdengar lugu, tetapi pengertian tersebut segera memunculkan sejumlah isu yang kompleks. Isu-isu terpenting yang dirangkum itu dalam sebuah laporan baru-baru ini:
1) Siapakah yang dimaksud dengan “rakyat”
2) Jenis partisipasi apakah yang dianggap kondusif bagi partisipasi, dapatkah disisentifkan, atau biaya dan manfaat, dari partisipasi dibuat sama
3) Seberapa luas dan seberapa sempit lingkup pemerintahan yang dimaksud atau bidang apakah yang cocok bagi kegiatan demokrasi.
4) Jika “pemerintah” mencakup politik, apakah maksudnya. Apakah meliputi; hukum dan tata tertib, hubungan antara negara, ekonomi, dan bidang dalam negeri atau bidang privat
5) Apakah pemerintah oleh “rakyat” harus dipatuhi, adakah wadah untuk kewajiban dan perbedaan-perbedaan;
6) Mekanisme apakah yang diciptakan bagi mereka yang secara aktif di nyatakan sebagai “non-partisipan”;
7) Dalam keadaan apakah, jika ada, demokrasi berhak mengambil jalan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri atau terhadap mereka yang berada diluar bidang pemerintahan yang sah. ( Georg Sorensen, 2003, hal; 2)
Terlihat dengan mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Demokrasi, seperti yang dirumuskan oleh Joseph Schumpeter secara sempit adalah:
“Baginya, demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Diantara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan demokrasi”.
Dalam kalimat Schumpeter, “metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara”. (J. Schumpeter, 2003).
Sedangkan pengertian secara komprehensif yang di uraikan oleh David Held, Held menggabungkan pemahaman pandangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi:
“Orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak orang lain”.
Pembuatan prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas negara dalam derajat yang tinggi dan suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan partisipasi substansial secara langsung pada lembaga-lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Otonomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of ringhts) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga negara terhadap agenda politik. (Held, 2003)
Demokrasi tidak hanya berarti hak memilih pemerintah meskipun ini juga hal sangat penting. Demokrasi merupakan keseluruhan bentuk hak yang harus bisa dimiliki oleh warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapat dipercaya dan partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses kepada informasi khususnya menangani rencana pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk diajak bicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama.
Apabila didefenisikan secara luas, demokrasi telah dikumandangkan tidak hanya oleh para pemimpin Revolusi Eropa Timur dan tempat-tempat lainnya, tetapi juga dikumandangkan oleh gerakan-gerakan rakyat diseluruh dunia. Gerakan wanita telah mengikis banyak kendala yang melingkupi setengah umat manusia yang berada dalam status inferior (rendah). Gerakan lingkungan telah memaksa para pemimpin politik dan bisnis untuk kembali melihat sumber daya alam dengan penglihatan baru. Dan kampanye di banyak negara oleh suku-suku yang terancam dengan adanya “kemajuan” telah membawa penduduk asli menjadi sorotan.
Kekuatan yang mengendalikan gerakan-gerakan ini adalah arti rasa sukarela yang datang secara bersamaan baik oleh pria maupun wanita dengan satu tujuan bersama yaitu keinginan untuk memperbaiki masyarakat dimana mereka hidup dengan cara menuntut perubahan dari para penguasa. Satu-satunya kekuatan tawar menawar yang mereka miliki adalah kekuatan dari segi jumlah mereka, argument mereka yang persuasif dan penampilan kerakyatan yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka juga merupakan organisasi volunteer yang memperjuangkan terwujudnya tatanan masyarakat tanpa penindasan dan diskriminatif yang terbingkai dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis. (Jhon Clark, 1995)
Demokrasi adalah cara atau seni pergaulan hidup untuk mencapai kebaikan bersama. Banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan individu. Akan tetapi ada satu hal yang harus dicermati secara mendalam tentang prinsip dasar demokrasi adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain terkait dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual trust, kepedulian warga, kompetesi politik dan lain sebagainnya.
Jadi demokrasi, baik yang dipahami sebagai secara normatif dan pemahaman secara emprik, dimana keduanya pemahaman tersebut lebih menekankan pada adanya keterlibatan warga masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan. Seprri yang dikemukakan oleh Afan gafar (dalam Politik Indoensia) menyebutkan bahwa pemahaman demokrasi secara emprik yang juga disebut sebagai demokrasi prosedural (prosedural democracy). Dimana dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seprti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara,mislanya dalam UUD 1945 menyebutkan :
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainnya, ditetapkan dengan Undang-Undang” (pasal 28).
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu” (pasal 29 ayat 1).
Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 diatas merupakan defenisi secara normatif dari demokrasi. Tetapi kita juga perlu harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana makna demokrasi secara empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis, yakni apakah dalam suatau sistem politik pemerintah meberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi politik mereka melalui organisasi politik yang ada, dan sejauh mana kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur (regular basis) untuk mengisi jabatan politik.
Jadi dapat dikataka bahwa prasyarat adanya sebuah sistem demokrasi yaitu : Pertama, adanya akuntabilitas; dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya, dan bahkan harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-katanya serta pola perilakunya. Sebuah pertanggungjawaban yang tidak hanya menyangkut dirinya tetapi juga keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak dan istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkaitan dengan jabatannya.
Kedua, adanya rotasi kekuasaan. Dalam konteks demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanaya satu orangyang selalau memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup samam sekali. Dalam suatau negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan bisannya rendah pula, bahkan peluang untuk itu sangat terbatas. Kalaupun ada itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas dikalangan elite politik saja.
Ketiga, rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memunginkan terjadinya rotasi kekuasaan ,diperlukan satu sistem rektruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Keempat, Pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.
Kelima, Menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara demokrasi setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya hak-hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the press). Jadi, suatu negara dapat diklaim sebagai negara demokrasi bila unsur-unsur yang disebutkan diatas sudah dilaksanakan. ( Affan Gafar; 2004, hal:3-8)
Jadi demokrasi dapat dipahami dan ditelaah; bahwa demokrasi secara klasik bermakna pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya suatu bentuk pemerintahan di sebuah negara, yang mengedepankan kedaulatan rakyat paling mungkin untuk menciptakan suatu tatanan yang menjanjikan keadilan. Demokrasi menempatkan rakyat pada posisi terhormat, pemilik kedaulatan. Pejabat hanyalah orang-orang suruhan rakyat. Atau yang mendapat mandat dari rakyat. Suatu negara, atau suatu pemerintahan dikatakan berdasarkan prinsip demokrasi (demokratis), setidaknya menunjukkan ciri: Pemerintah di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum yang bebas dan non-diskriminatif, prinsip mayoritas dan adanya jaminan hak-hak demokratis. Pada prinsipnya, demokrasi merupakan suatu ruang politik bagi rakyat, sehingga dapat diambil bagian secara produktif dan aman, dalam proses penyelenggaraan negara. Dengan demikian, rakyat ikut menentukan nasibnya.
are if faith al flourezh;
fb: rif2riinlofe@yahoo.co.id