PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
KLIPING/Selasa, 15 November 2011 21:12 WIB
JAKARTA--MICOM: Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan
umum secara nasional mengalami penurunan. Angka penurunan semakin
signifikan saat Indonesia memasuki masa demokratisasi.
"Dari pemilu ke pemilu ada kecenderungan terjadi tingkat penurunan
partisipasi masyarakat. Yang menjadi ukuran utama adalah kehadiran di
tempat pemungutan suara," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul
Hafiz Anshary di sela seminar "Peran Stakeholder dalam Rangka
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Pada Pemilu 2014" di Jakarta, Rabu
(16/11).
Ia menjelaskan, berdasarkan catatat KPU pada masa-masa awal rezim
Orde Baru, tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut Pemilu terbilang
tinggi. Hal ini ditandai dengan angka partisipasi yang mencapai 94% pada
Pemilu 1971, 90% pada Pemilu 1977, dan meningkat menjadi 97% pada
Pemilu 1982.
Catatan itu sedikit berubah ketika memasuki masa reformasi. Awalnya
partisipasi publik dalam Pemilu 1999 cukup tinggi yaitu mencapai 93%.
Tapi tren penurunan kembali terjadi di pemilu-pemilu selanjutnya.
"Pemilu 2004 menurun menjadi 84% dan menurun menjadi 71% pada Pemilu
2009," Ungkapnya. (OL-8)
JAKARTA--MICOM: TNI menegaskan
tidak ingin menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2014 mendatang karena
dikhawatirkan akan memicu konflik dan perpecahan di internal TNI.
Pandangan itu dikemukakan Kepala Bagian Pembinaan Hukum (Kababinkum)
Mabes TNI Mayjen S Supriyatna pada Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia
Khusus RUU Pemilu di Gedung DPR, Rabu (16/11).
"Seperti pasal 39 UU 34 tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan
prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, menjadi
anggota parpol, kegiatan bisnis dan kegiatan untuk dipilih menjadi
anggota legislative dalam pemilu dan jabatan politis lainnya," papar
Supriyatna.
Disamping itu, lanjut dia, secara internal pun Panglima TNI
mengeluarkan instruksi nomor 1/VII/2008 pada 28 Agustus 2008, yang
menegaskan bahwa prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih dalam pemilu
maupun pemilukada. “Agar status TNI tetap netral dalam politik.
Menjaga netralitas ini penting, karena TNI menjadi aset bangsa untuk
menjaga stabilitas dan kedaulatan negara. Ia khawatir, jika prajurit
TNI diberi hak memilih dalam pemilu ataupun pemilukada, dapat memicu
konflik dan perpecahan dalam tubuh TNI.
"Dengan begitu netralitas dan independensi TNI akan hilang. BAhkan
memungkinkan terjebak dalam konflik kepentingan diantara politisi. Tapi
TNI adalah bagian dari subsistem negara yang juga tunduk pada keputusan
dan kebijakan politik negara," tukasnya. (Wta/OL-04)
JAKARTA--MICOM: Sidang uji
materi Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik kembali digelar.
Saksi ahli dari hukum tata negara, Irman Putra Sidin, yang dihadirkan
dalam sidang ini, mendukung hak rakyat mengajukan pembubaran parpol.
Dalam keterangannya, Irman mengatakan bila aturan pembubaran
parpol yang diatur dalam Pasal 68 ayat (1) berdampak pada hilangnya hak
warga negara untuk mengajukan pembubaran partai ke MK. Dia juga
berpendapat parpol akan berada di bawah kekuasaan pemerintah bila hanya
lembaga eksekutif itu saja yang berhak mengajukan pembubaran partai ke
MK.
"Pengujian ini bertujuan untuk menempatkan parpol ke dalam
postulatnya, menjunjung demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, seperti dijamin dalam konstitusi," kata Irman, Selasa (15/11).
Saat ini, lanjut dia, partai tidak hanya merupakan bagian dari
demokrasi saja, tapi juga konstitusi. Selain itu, partai politik juga
dianggapnya sebagai roh pemegang kekuasaan negara.
Atas pandangan itu, Irman berpendapat, jika hanya pemerintah
yang berhak membubarkan parpol, itu melanggar prinsip kedaulatan rakyat
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
"Hak pembubaran Parpol yang hanya dimiliki dapat berdampat pada
hilangnya hak rakyat mengajukan pembubaran parpol tertentu. Ini
inkonstitusional,” ujarnya.
Kamis, 17 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar