PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
KLIPING/Selasa, 15 November 2011 21:12 WIB
JAKARTA--MICOM: Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan
umum secara nasional mengalami penurunan. Angka penurunan semakin
signifikan saat Indonesia memasuki masa demokratisasi.
"Dari pemilu ke pemilu ada kecenderungan terjadi tingkat penurunan
partisipasi masyarakat. Yang menjadi ukuran utama adalah kehadiran di
tempat pemungutan suara," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul
Hafiz Anshary di sela seminar "Peran Stakeholder dalam Rangka
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Pada Pemilu 2014" di Jakarta, Rabu
(16/11).
Ia menjelaskan, berdasarkan catatat KPU pada masa-masa awal rezim
Orde Baru, tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut Pemilu terbilang
tinggi. Hal ini ditandai dengan angka partisipasi yang mencapai 94% pada
Pemilu 1971, 90% pada Pemilu 1977, dan meningkat menjadi 97% pada
Pemilu 1982.
Catatan itu sedikit berubah ketika memasuki masa reformasi. Awalnya
partisipasi publik dalam Pemilu 1999 cukup tinggi yaitu mencapai 93%.
Tapi tren penurunan kembali terjadi di pemilu-pemilu selanjutnya.
"Pemilu 2004 menurun menjadi 84% dan menurun menjadi 71% pada Pemilu
2009," Ungkapnya. (OL-8)
JAKARTA--MICOM: TNI menegaskan
tidak ingin menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2014 mendatang karena
dikhawatirkan akan memicu konflik dan perpecahan di internal TNI.
Pandangan itu dikemukakan Kepala Bagian Pembinaan Hukum (Kababinkum)
Mabes TNI Mayjen S Supriyatna pada Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia
Khusus RUU Pemilu di Gedung DPR, Rabu (16/11).
"Seperti pasal 39 UU 34 tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan
prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, menjadi
anggota parpol, kegiatan bisnis dan kegiatan untuk dipilih menjadi
anggota legislative dalam pemilu dan jabatan politis lainnya," papar
Supriyatna.
Disamping itu, lanjut dia, secara internal pun Panglima TNI
mengeluarkan instruksi nomor 1/VII/2008 pada 28 Agustus 2008, yang
menegaskan bahwa prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih dalam pemilu
maupun pemilukada. “Agar status TNI tetap netral dalam politik.
Menjaga netralitas ini penting, karena TNI menjadi aset bangsa untuk
menjaga stabilitas dan kedaulatan negara. Ia khawatir, jika prajurit
TNI diberi hak memilih dalam pemilu ataupun pemilukada, dapat memicu
konflik dan perpecahan dalam tubuh TNI.
"Dengan begitu netralitas dan independensi TNI akan hilang. BAhkan
memungkinkan terjebak dalam konflik kepentingan diantara politisi. Tapi
TNI adalah bagian dari subsistem negara yang juga tunduk pada keputusan
dan kebijakan politik negara," tukasnya. (Wta/OL-04)
JAKARTA--MICOM: Sidang uji
materi Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik kembali digelar.
Saksi ahli dari hukum tata negara, Irman Putra Sidin, yang dihadirkan
dalam sidang ini, mendukung hak rakyat mengajukan pembubaran parpol.
Dalam keterangannya, Irman mengatakan bila aturan pembubaran
parpol yang diatur dalam Pasal 68 ayat (1) berdampak pada hilangnya hak
warga negara untuk mengajukan pembubaran partai ke MK. Dia juga
berpendapat parpol akan berada di bawah kekuasaan pemerintah bila hanya
lembaga eksekutif itu saja yang berhak mengajukan pembubaran partai ke
MK.
"Pengujian ini bertujuan untuk menempatkan parpol ke dalam
postulatnya, menjunjung demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, seperti dijamin dalam konstitusi," kata Irman, Selasa (15/11).
Saat ini, lanjut dia, partai tidak hanya merupakan bagian dari
demokrasi saja, tapi juga konstitusi. Selain itu, partai politik juga
dianggapnya sebagai roh pemegang kekuasaan negara.
Atas pandangan itu, Irman berpendapat, jika hanya pemerintah
yang berhak membubarkan parpol, itu melanggar prinsip kedaulatan rakyat
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
"Hak pembubaran Parpol yang hanya dimiliki dapat berdampat pada
hilangnya hak rakyat mengajukan pembubaran parpol tertentu. Ini
inkonstitusional,” ujarnya.
Kamis, 17 November 2011
Kamis, 10 November 2011
PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
Periode kedua berkuasanya rezim SBY, telah mensirnakan expectasi publik soal terwujudnya negara kesejhateraan. dengan dukungan politik hampir mencapai 80%, pemerintahan SBY BUdiono, justru mendapatan banyak sekali label kegagalan. entah apa yang ada dalam hati dan pikiran rezim ini, masyarakat seolah dibiaran hidup sendiri dan mencari nafkah sendiri, dan negara hanya sibuk melayani dirinya sendiri. REzim kedua pemerintah SBY justru semakin menguatnya peran para koruptor dan para pemburu rente, penegakan hukum mengalami mati suri.
maka pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang diwarisi oleh SBY untuk negeri ini?
Periode kedua berkuasanya rezim SBY, telah mensirnakan expectasi publik soal terwujudnya negara kesejhateraan. dengan dukungan politik hampir mencapai 80%, pemerintahan SBY BUdiono, justru mendapatan banyak sekali label kegagalan. entah apa yang ada dalam hati dan pikiran rezim ini, masyarakat seolah dibiaran hidup sendiri dan mencari nafkah sendiri, dan negara hanya sibuk melayani dirinya sendiri. REzim kedua pemerintah SBY justru semakin menguatnya peran para koruptor dan para pemburu rente, penegakan hukum mengalami mati suri.
maka pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang diwarisi oleh SBY untuk negeri ini?
Rabu, 09 November 2011
PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS. BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya. 2. Nama Perseroan adalah nama yang digunakan sebagai identitas suatu Perseroan untuk membedakan dengan Perseroan yang lain. 3. Pemohon adalah pendiri bersama-sama, direksi Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum, atau kuasanya. 4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 2 (1) Setiap Perseroan harus memiliki Nama Perseroan. (2) Nama Perseroan hanya dapat dipakai setelah memperoleh persetujuan Menteri. (3) Nama Perseroan yang telah memperoleh persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam anggaran dasar Perseroan.
BAB II TATA CARA PENGAJUAN NAMA PERSEROAN Pasal 3 (1) Pengajuan Nama Perseroan harus disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri sebelum Perseroan didirikan atau sebelum perubahan anggaran dasar mengenai Nama Perseroan dilakukan. (2) Nama Perseroan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan singkatan Nama Perseroan. (3) Pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik. (4) Bagi daerah tertentu yang belum ada jaringan elektronik atau jaringan elektronik tidak dapat digunakan, pengajuan Nama Perseroan dapat disampaikan secara tertulis melalui surat tercatat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengajuan Nama Perseroan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pengajuan nama Perseroan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 4 (1) Penggunaan jasa teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan dengan mengisi format pengajuan Nama Perseroan. (2) Format pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Nama Perseroan yang akan dipakai untuk mendirikan Perseroan atau Nama Perseroan yang akan dipakai untuk menggantikan Nama Perseroan sebelumnya. Pasal 5 (1) Nama Perseroan yang diajukan harus memenuhi persyaratan: a. ditulis dengan huruf latin; b. belum dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau tidak sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain; c. tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; d. tidak sama atau tidak mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari lembaga yang bersangkutan; e. tidak terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata; f. tidak mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata; g. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha sebagai Nama Perseroan; dan h. sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan, dalam hal maksud dan tujuan serta kegiatan usaha akan digunakan sebagai bagian dari Nama Perseroan. (2) Dalam hal Nama Perseroan yang diajukan disertai dengan singkatan, penggunaan singkatan harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali huruf e. (3) Singkatan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. singkatan yang terdiri atas huruf depan Nama Perseroan; atau b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama Perseroan. Pasal 6 (1) Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan Nama Perseroan yang disampaikan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pengajuan diterima secara lengkap. (3) Dalam hal Menteri menolak pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus disampaikan secara elektronik kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pengajuan diterima disertai dengan alasan penolakan. Pasal 7 (1) Nama Perseroan yang telah mendapat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib dinyatakan dalam: a. Akta pendirian yang memuat anggaran dasar Perseroan; atau b. Akta perubahan anggaran dasar Perseroan. (2) Nama Perseroan wajib dinyatakan dalam akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri atas pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah terlampaui, persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) batal karena hukum. BAB III TATA CARA PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN Pasal 8 (1) Pemakaian Nama Perseroan harus didahului dengan frase Perseroan Terbatas atau disingkat PT (2) Bagi Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada akhir nama Perseroan ditambah singkatan Tbk (3) Bagi Perseroan Persero selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah penulisan kata �Persero�. Pasal 9 (1) Singkatan �Tbk� sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) hanya dapat dipakai dalam surat menyurat terhitung sejak tanggal: a. efektifnya Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal bagi Perseroan Publik; atau b. dilaksanakannya Penawaran Umum bagi Perseroan yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan Penawaran Umum saham sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang pasar modal. (2) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak menjadi efektif atau Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak melaksanakan Penawaran Umum saham, Perseroan mengubah kembali anggaran dasarnya dan menghapus singkatan �Tbk� pada Nama Perseroan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri. Pasal 10 Perseroan Terbuka yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Perseroan Terbuka sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal: a. dalam melakukan surat menyurat dilarang mencantumkan singkatan �Tbk� pada akhir Nama Perseroan, terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat pernyataan dari lembaga pengawas di bidang pasar modal tentang tidak dipenuhinya kriteria Perseroan Terbuka;dan b. wajib melakukan perubahan anggaran dasar dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat pernyataan dari lembaga pengawas di bidang pasar modal tentang tidak dipenuhinya kriteria Perseroan Terbuka. Pasal 11 Perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia wajib memakai Nama Perseroan dalam bahasa Indonesia. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3740), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 96 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, SETIO SAPTO NUGROHO PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS I. UMUM Penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas membawa konsekuensi yuridis terhadap beberapa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 untuk disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Salah satu peraturan pelaksanaan yang perlu disesuaikan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengamanatkan bahwa tata cara pengajuan dan pemakaian Nama Perseroan Terbatas diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keselarasan dan keharmonisan antara peraturan perundang-undangan di bidang Perseroan. Optimalisasi kinerja dalam percepatan pelayanan pengesahan pengajuan dan pemakaian nama Perseroan menjadi substansi yang paling mendasar dalam pengaturan Peraturan Pemerintah ini, selaras dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa tata cara pengajuan dan pemakaian Nama Perseroan dilakukan dengan memanfaatkan jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik. Selain itu diatur pula dalam keadaan tertentu pengajuan dan pemakaian Nama Perseroan dapat dilakukan secara tertulis melalui surat tercatat. Keadaan tertentu adalah keadaan dimana suatu daerah belum mempunyai jaringan elektronik atau jaringan elektronik yang ada tidak berfungsi sehingga tidak dapat digunakan. Pengaturan kembali mengenai pemakaian Nama Perseroan dalam Peraturan Pemerintah ini selain karena alasan sebagaimana dimaksud di atas, pengaturan ketentuan ini sejatinya juga dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum kepada pemakai Nama Perseroan yang beritikad baik yang sudah memakai nama tersebut sebagai Nama Perseroan secara resmi dengan mencantumkan dalam akta pendirian atau akta perubahan anggaran dasar Perseroan yang telah disahkan atau disetujui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau kepada pihak yang telah lebih dahulu menyampaikan pengajuan Nama Perseroan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan �surat tercatat� adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan �sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain� adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Nama Perseroan yang satu dan Nama Perseroan yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan mengenai cara penulisan atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Nama Perseroan,walaupun pemiliknya sama. Misalnya PT BHAYANGKARA dengan PT BAYANGKARA, PT SAMPURNA dengan PT SAMPOERNA, PT BUMI PERTIWI dengan PT BUMI PRATIWI, PT HIGH-DESERT dengan PT HIGH DESERT, PT JAYA DAN MAKMUR dengan PT DJAJA & MAKMUR. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Terdiri atas angka atau rangkaian angka dalam ketentuan ini misalnya : PT3, PT 99, PT 007. Terdiri atas huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata dalam ketentuan ini misalnya: PT. S, PT. A, PT. ABC. Huruf f Mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata dalam ketentuan ini misalnya: Ltd, Gmbh, SDN, Sdn, Bhd, PTE, Co., & Co., Inc., NV, atau BV, Usaha Dagang (UD), Koperasi Usaha Dagang (KUD), Incoporated, Associate, Association, SA, SARL, AG. Huruf g Hanya menggunakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha sebagai Nama Perseroan dalam ketentuan ini misalnya �PT Pemborongan dan Pengangkutan� Huruf h Sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan dalam ketentuan ini misalnya PT Pelayaran Andalan yang maksud dan tujuan serta kegiatannya harus di bidang pelayaran, PT. Abdul Konstruksi yang maksud dan tujuan serta kegiatannya harus di bidang konstruksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Singkatan dari huruf depan Nama Perseroan dalam ketentuan ini misalnya: PT Kustodian Sentral Efek Indonesia disingkat PT KSEI, PT Kereta Api Indonesia disingkat PT KAI. Huruf b Yang dimaksud dengan �akronim� adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Misalnya PT SAHABAT FINANSIAL SEJAHTERA disingkat dengan PT SAFIRA, PT TABUNGAN ASURANSI PEGAWAI NEGERI disingkat dengan PT TASPEN, PT ASURANSI KESEHATAN disingkat dengan PT ASKES, PT PELABUHAN INDONESIA disingkat dengan PT PELINDO. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan �Perseroan Terbuka� adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 . . . Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan �persetujuan Menteri� adalah persetujuan Menteri atas perubahan seluruh ketentuan anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan �melakukan perubahan anggaran dasar� adalah berkenaan dengan perubahan kembali nama perseroan sehingga tidak memakai kata Tbk di belakang nama perseroan dan mengubah ketentuan dalam anggaran dasar yang terkait dengan status perseroan sebagai perseroan terbuka. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas.
Langganan:
Postingan (Atom)