Kamis, 17 November 2011

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

KLIPING/Selasa, 15 November 2011 21:12 WIB  

JAKARTA--MICOM: Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum secara nasional mengalami penurunan. Angka penurunan semakin signifikan saat Indonesia memasuki masa demokratisasi.

"Dari pemilu ke pemilu ada kecenderungan terjadi tingkat penurunan partisipasi masyarakat. Yang menjadi ukuran utama adalah kehadiran di tempat pemungutan suara," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary di sela seminar "Peran Stakeholder dalam Rangka Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Pada Pemilu 2014" di Jakarta, Rabu (16/11).

Ia menjelaskan, berdasarkan catatat KPU pada masa-masa awal rezim Orde Baru, tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut Pemilu terbilang tinggi. Hal ini ditandai dengan angka partisipasi yang mencapai 94% pada Pemilu 1971, 90% pada Pemilu 1977, dan meningkat menjadi 97% pada Pemilu 1982.

Catatan itu sedikit berubah ketika memasuki masa reformasi. Awalnya partisipasi publik dalam Pemilu 1999 cukup tinggi yaitu mencapai 93%. Tapi tren penurunan kembali terjadi di pemilu-pemilu selanjutnya. "Pemilu 2004 menurun menjadi 84% dan menurun menjadi 71% pada Pemilu 2009," Ungkapnya. (OL-8)

 JAKARTA--MICOM: TNI menegaskan tidak ingin menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2014 mendatang karena dikhawatirkan akan memicu konflik dan perpecahan di internal TNI.

Pandangan itu dikemukakan Kepala Bagian Pembinaan Hukum (Kababinkum) Mabes TNI Mayjen S Supriyatna pada Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus RUU Pemilu di Gedung DPR, Rabu (16/11).

"Seperti pasal 39 UU 34 tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, menjadi anggota parpol, kegiatan bisnis dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislative dalam pemilu dan jabatan politis lainnya," papar Supriyatna.

Disamping itu, lanjut dia, secara internal pun Panglima TNI mengeluarkan instruksi nomor 1/VII/2008 pada 28 Agustus 2008, yang menegaskan bahwa prajurit TNI tidak menggunakan hak memilih dalam pemilu maupun pemilukada. “Agar status TNI tetap netral dalam politik.

Menjaga netralitas ini penting, karena TNI menjadi aset bangsa untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan negara. Ia khawatir, jika prajurit TNI diberi hak memilih dalam pemilu ataupun pemilukada, dapat memicu konflik dan perpecahan dalam tubuh TNI.

"Dengan begitu netralitas dan independensi TNI akan hilang. BAhkan memungkinkan terjebak dalam konflik kepentingan diantara politisi. Tapi TNI adalah bagian dari subsistem negara yang juga tunduk pada keputusan dan kebijakan politik negara," tukasnya. (Wta/OL-04)

 JAKARTA--MICOM: Sidang uji materi Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik kembali digelar. Saksi ahli dari hukum tata negara, Irman Putra Sidin, yang dihadirkan dalam sidang ini, mendukung hak rakyat mengajukan pembubaran parpol.

Dalam keterangannya, Irman mengatakan bila aturan pembubaran parpol yang diatur dalam Pasal 68 ayat (1) berdampak pada hilangnya hak warga negara untuk mengajukan pembubaran partai ke MK. Dia juga berpendapat parpol akan berada di bawah kekuasaan pemerintah bila hanya lembaga eksekutif itu saja yang berhak mengajukan pembubaran partai ke MK.

"Pengujian ini bertujuan untuk menempatkan parpol ke dalam postulatnya, menjunjung demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, seperti dijamin dalam konstitusi," kata Irman, Selasa (15/11).

Saat ini, lanjut dia, partai tidak hanya merupakan bagian dari demokrasi saja, tapi juga konstitusi. Selain itu, partai politik juga dianggapnya sebagai roh pemegang kekuasaan negara.

Atas pandangan itu, Irman berpendapat, jika hanya pemerintah yang berhak membubarkan parpol, itu melanggar prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

"Hak pembubaran Parpol yang hanya dimiliki dapat berdampat pada hilangnya hak rakyat mengajukan pembubaran parpol tertentu. Ini inkonstitusional,” ujarnya.

Kamis, 10 November 2011

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

Periode kedua berkuasanya rezim SBY, telah mensirnakan expectasi publik soal terwujudnya negara kesejhateraan. dengan dukungan politik hampir mencapai 80%, pemerintahan SBY BUdiono, justru mendapatan banyak sekali label kegagalan. entah apa yang ada dalam hati dan pikiran rezim ini, masyarakat seolah dibiaran hidup sendiri dan mencari nafkah sendiri, dan negara hanya sibuk melayani dirinya sendiri.  REzim kedua pemerintah SBY  justru semakin menguatnya peran para koruptor dan para pemburu rente, penegakan hukum mengalami mati suri.

 maka pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang diwarisi oleh SBY untuk negeri ini?

Rabu, 09 November 2011

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2011 

TENTANG  

TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS 
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA  

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 
tentang Perseroan Terbatas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian 
Nama Perseroan Terbatas; 

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  

2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 

 

MEMUTUSKAN :  

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN 
TERBATAS. 

 

BAB I 
KETENTUAN UMUM
Pasal 1  

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 

 1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, 
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam 
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta 
peraturan pelaksanaannya. 

2. Nama Perseroan adalah nama yang digunakan sebagai identitas suatu Perseroan untuk membedakan dengan 
Perseroan yang lain.  

3. Pemohon adalah pendiri bersama-sama, direksi Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum, atau 
kuasanya.  

4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 

 
Pasal 2 
(1) Setiap Perseroan harus memiliki Nama Perseroan. 
(2) Nama Perseroan hanya dapat dipakai setelah memperoleh persetujuan Menteri. 
(3) Nama Perseroan yang telah memperoleh persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat 
dalam anggaran dasar Perseroan.
 
BAB II 
TATA CARA PENGAJUAN NAMA PERSEROAN 
Pasal 3 

(1) Pengajuan Nama Perseroan harus disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri sebelum Perseroan didirikan 
atau sebelum perubahan anggaran dasar mengenai Nama Perseroan dilakukan. 


(2) Nama Perseroan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan singkatan Nama 
Perseroan. 

(3) Pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem 
administrasi badan hukum secara elektronik. 

(4) Bagi daerah tertentu yang belum ada jaringan elektronik atau jaringan elektronik tidak dapat digunakan, 
pengajuan Nama Perseroan dapat disampaikan secara tertulis melalui surat tercatat. 
 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengajuan Nama Perseroan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada 
ayat (3) dan pengajuan nama Perseroan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 

Pasal 4 

(1) Penggunaan jasa teknologi informasi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan dengan 
mengisi format pengajuan Nama Perseroan. 


(2) Format pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Nama Perseroan yang 
akan dipakai untuk mendirikan Perseroan atau Nama Perseroan yang akan dipakai untuk menggantikan Nama 
Perseroan sebelumnya. 


Pasal 5 
(1) Nama Perseroan yang diajukan harus memenuhi persyaratan: 

a. ditulis dengan huruf latin; 
b. belum dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau tidak sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan 
lain; 
c. tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; 
d. tidak sama atau tidak mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga 
internasional, kecuali mendapat izin dari lembaga yang bersangkutan; 
e. tidak terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata; 
f. tidak mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata; 
g. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha sebagai Nama Perseroan; dan 
h. sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan, dalam hal maksud dan tujuan 
serta kegiatan usaha akan digunakan sebagai bagian dari Nama Perseroan. 


(2) Dalam hal Nama Perseroan yang diajukan disertai dengan singkatan, penggunaan singkatan harus memenuhi 
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali huruf e. 

(3) Singkatan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: 

a. singkatan yang terdiri atas huruf depan Nama Perseroan; atau 

b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama Perseroan. 
Pasal 6 


(1) Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan Nama Perseroan yang disampaikan oleh 
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). 
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik kepada Pemohon dalam 
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pengajuan diterima secara lengkap. 
(3) Dalam hal Menteri menolak pengajuan Nama Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus 
disampaikan secara elektronik kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung 
sejak tanggal pengajuan diterima disertai dengan alasan penolakan. 

 
Pasal 7 

(1) Nama Perseroan yang telah mendapat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) 
wajib dinyatakan dalam: 
a. Akta pendirian yang memuat anggaran dasar Perseroan; atau 
b. Akta perubahan anggaran dasar Perseroan. 


(2) Nama Perseroan wajib dinyatakan dalam akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka 
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri atas pengajuan Nama 
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). 

 
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah terlampaui, persetujuan Menteri 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) batal karena hukum. 


 
BAB III 
TATA CARA PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN 
Pasal 8 


(1) Pemakaian Nama Perseroan harus didahului dengan frase Perseroan Terbatas atau disingkat PT

(2) Bagi Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada akhir nama 
Perseroan ditambah singkatan Tbk

(3) Bagi Perseroan Persero selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah penulisan 
kata �Persero�. 

 
Pasal 9 
(1) Singkatan �Tbk� sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) hanya dapat dipakai dalam surat menyurat 
terhitung sejak tanggal: 
a. efektifnya Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal bagi 
Perseroan Publik; atau 
b. dilaksanakannya Penawaran Umum bagi Perseroan yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran kepada 
lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan Penawaran Umum saham sesuai dengan 
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang pasar modal. 


 (2) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak 
menjadi efektif atau Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak melaksanakan Penawaran 
Umum saham, Perseroan mengubah kembali anggaran dasarnya dan menghapus singkatan �Tbk� pada Nama 
Perseroan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri. 

Pasal 10 
Perseroan Terbuka yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Perseroan Terbuka sebagaimana diatur dalam 
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal: 

a. dalam melakukan surat menyurat dilarang mencantumkan singkatan �Tbk� pada akhir Nama 
Perseroan, terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat pernyataan dari lembaga pengawas di bidang pasar modal 
tentang tidak dipenuhinya kriteria Perseroan Terbuka;dan 
b. wajib melakukan perubahan anggaran dasar dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak 
tanggal diterbitkannya surat pernyataan dari lembaga pengawas di bidang pasar modal tentang tidak 
dipenuhinya kriteria Perseroan Terbuka. 

 
Pasal 11 
Perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia wajib memakai Nama 
Perseroan dalam bahasa Indonesia. 


BAB IV  
KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 12 
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama 
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor 3740), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 


Pasal 13  
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 

  
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal 4 Oktober 2011 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 



DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 4 Oktober 2011 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA, 
PATRIALIS AKBAR 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 96 



Salinan sesuai dengan aslinya 

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI 

Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, 


SETIO SAPTO NUGROHO 

 

 

  
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2011 
 
TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS  

I. UMUM  

Penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang 
Perseroan Terbatas membawa konsekuensi yuridis terhadap beberapa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 
untuk disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Salah satu peraturan pelaksanaan yang perlu disesuaikan 
tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. 

 

Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengamanatkan bahwa tata cara 
pengajuan dan pemakaian Nama Perseroan Terbatas diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keselarasan 
dan keharmonisan antara peraturan perundang-undangan di bidang Perseroan. 

 

Optimalisasi kinerja dalam percepatan pelayanan pengesahan pengajuan dan pemakaian nama Perseroan menjadi substansi yang paling 
mendasar dalam pengaturan Peraturan Pemerintah ini, selaras dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. 

 

Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa tata cara pengajuan dan pemakaian Nama Perseroan dilakukan dengan memanfaatkan jasa 
teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik. 
Selain itu diatur pula dalam keadaan tertentu pengajuan dan pemakaian Nama Perseroan dapat dilakukan secara tertulis melalui surat tercatat. 
Keadaan tertentu adalah keadaan dimana suatu daerah belum mempunyai jaringan elektronik atau jaringan elektronik yang ada tidak 
berfungsi sehingga tidak dapat digunakan. 

Pengaturan kembali mengenai pemakaian Nama Perseroan dalam Peraturan Pemerintah ini selain karena alasan sebagaimana dimaksud di 
atas, pengaturan ketentuan ini sejatinya juga dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum kepada pemakai Nama Perseroan yang 
beritikad baik yang sudah memakai nama tersebut sebagai Nama Perseroan secara resmi dengan mencantumkan dalam akta pendirian 
atau akta perubahan anggaran dasar Perseroan yang telah disahkan atau disetujui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau kepada 
pihak yang telah lebih dahulu menyampaikan pengajuan Nama Perseroan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 


II. PASAL DEMI PASAL 

 
Pasal 1 
Cukup jelas. 
Pasal 2 
Cukup jelas. 
Pasal 3 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan �surat tercatat� adalah surat yang 
dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan 
tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan 
menyebutkan tanggal penerimaan. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Pasal 4 
Cukup jelas. 
Pasal 5 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 
 
 Huruf b 
Yang dimaksud dengan �sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain� adalah kemiripan yang 
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Nama Perseroan yang satu dan Nama Perseroan 
yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan mengenai cara penulisan atau persamaan 
bunyi ucapan yang terdapat dalam Nama Perseroan,walaupun pemiliknya sama. 
Misalnya PT BHAYANGKARA dengan PT BAYANGKARA, PT SAMPURNA dengan PT SAMPOERNA, PT BUMI 
PERTIWI dengan PT BUMI PRATIWI, PT HIGH-DESERT dengan PT HIGH DESERT, PT JAYA DAN MAKMUR 
dengan PT DJAJA & MAKMUR. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Terdiri atas angka atau rangkaian angka dalam 
ketentuan ini misalnya : PT3, PT 99, PT 007. 
Terdiri atas huruf atau rangkaian huruf yang tidak 
membentuk kata dalam ketentuan ini misalnya: PT. S, 
PT. A, PT. ABC. 
Huruf f 
Mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata dalam ketentuan ini misalnya: Ltd, 
Gmbh, SDN, Sdn, Bhd, PTE, Co., & Co., Inc., NV, atau BV, Usaha Dagang (UD), Koperasi Usaha Dagang (KUD), 
Incoporated, Associate, Association, SA, SARL, AG. 
Huruf g 
Hanya menggunakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha sebagai Nama Perseroan dalam ketentuan ini 
misalnya �PT Pemborongan dan Pengangkutan� 

 Huruf h 
Sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan dalam ketentuan ini misalnya PT Pelayaran 
Andalan yang maksud dan tujuan serta kegiatannya harus di bidang pelayaran, PT. Abdul Konstruksi yang 
maksud dan tujuan serta kegiatannya harus di bidang konstruksi. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Huruf a 
Singkatan dari huruf depan Nama Perseroan dalam ketentuan ini misalnya: PT Kustodian Sentral Efek 
Indonesia disingkat PT KSEI, PT Kereta Api Indonesia disingkat PT KAI. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan �akronim� adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau 
bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. 
Misalnya PT SAHABAT FINANSIAL SEJAHTERA 
disingkat dengan PT SAFIRA, PT TABUNGAN ASURANSI 
PEGAWAI NEGERI disingkat dengan PT TASPEN, 
PT ASURANSI KESEHATAN disingkat dengan PT ASKES, 
PT PELABUHAN INDONESIA disingkat dengan 
PT PELINDO. 
Pasal 6 
Cukup jelas. 
Pasal 7 
Cukup jelas. 
Pasal 8 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan �Perseroan Terbuka� adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan 
penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 
Ayat (3) 

 Cukup jelas. 

Pasal 9 . . . 

 
Pasal 9 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan �persetujuan Menteri� adalah persetujuan Menteri atas perubahan seluruh ketentuan 
anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka. 
Pasal 10 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan �melakukan perubahan anggaran dasar� adalah berkenaan dengan perubahan kembali nama 
perseroan sehingga tidak memakai kata Tbk di belakang nama perseroan dan mengubah ketentuan dalam anggaran 
dasar yang terkait dengan status perseroan sebagai perseroan terbuka. 
Pasal 11 
Cukup jelas. 
Pasal 12 
Cukup jelas. 
Pasal 13 
Cukup jelas.