Senin, 20 Juni 2011

Tragedi Ruyati


TRAGIS nian nasib yang menimpa Ruyati binti Satubi. Tragis karena warga Desa Sukaderma, Kecamatan Sukatani, Bekasi, itu tewas di tangan algojo Kerajaan Arab Saudi. Janda berusia 54 tahun itu dieksekusi hukum pancung pada 18 Juni gara-gara membunuh majikannya.

Lebih tragis lagi, Ruyati yang meninggalkan tiga anak itu dipancung tidak sampai seminggu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di Konferensi International Labour Organization (ILO), Jenewa, Swiss. ILO memberi kesempatan kepada Presiden Yudhoyono untuk berpidato pada 14 Juni karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil meratifikasi Undang-Undang Buruh Migran.

Dalam pidato yang disambut standing applause itu, Presiden Yudhoyono mengatakan di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap pembantu rumah tangga migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya.

Tentu saja pidato itu menyejukkan dan menjanjikan sehingga disambut dengan tepuk tangan gegap gempita. Akan tetapi, buaian pidato tersebut tiba-tiba lenyap ketika tersiar kabar ke seluruh dunia bahwa Ruyati dihukum pancung tanpa ada pembelaan berarti dari negara. Pidato itu semakin meneguhkan kenyataan jauh panggang kata dari api perbuatan para pemimpin.

Ada semacam paradoks yang dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Di satu sisi mereka dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menyumbangkan devisa bagi negara. Di sisi lain, negara sama sekali tidak memberikan perhatian serius terhadap tenaga kerja bermasalah di luar negeri. Diplomasi luar negeri Indonesia terlihat sangat tumpul.

Eksekusi mati terhadap Ruyati merupakan bentuk paling nyata keteledoran diplomasi untuk melindungi pembantu rumah tangga migran Indonesia. Publik di Tanah Air sama sekali tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Keteledoran itulah juga yang terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, pembantu rumah tangga migran Indonesia asal Cianjur. Menurut Migrant Care, hingga kini jenazah Yanti bahkan belum bisa dipulangkan ke Tanah Air sekalipun keluarga telah memintanya.

Pemerintah tidak boleh berpangku tangan untuk memperjuangkan harkat dan martabat pembantu rumah tangga migran Indonesia, apalagi berpuas diri setelah mengumbar pidato di forum internasional. Saat ini, berdasarkan data yang dipublikasikan Migrant Care, terdapat sekitar 23 warga negara Indonesia tengah menghadapi ancaman hukuman mati di Arab Saudi.

Tindakan nyata Presiden Yudhoyono sangat dinantikan. Misalnya, mengevaluasi kinerja, bila perlu mencopot semua pejabat yang terkait dengan keteledoran kasus Ruyati.

Pejabat yang perlu dievaluasi ialah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Kepala BNP2TKI, dan Duta Besar RI untuk Arab Saudi.

Tidak kalah penting ialah memprotes pemerintah Arab Saudi. Protes bisa dilakukan hingga tingkat memutuskan hubungan diplomatik kedua negara.

Hanya perbuatan nyata itulah yang kini ditunggu masyarakat. Rakyat sudah bosan dengan pidato berbuih tanpa tindakan.

Rabu, 08 Juni 2011

Menggugat DPR

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

KREDIBILITAS Dewan Perwakilan Rakyat terus diuji. Sebabnya tidak lain karena antara mereka yang mewakili dan yang diwakili oleh DPR ada jarak yang amat panjang seperti langit dan bumi.

Formalitas memang menempatkan para anggota DPR menyandang predikat hebat sebagai wakil rakyat. Tetapi realitas ternyata menunjukkan fakta yang kontradiktif. Sebagian warga mengaku tidak terwakili oleh DPR.

Fakta itu didukung kesimpulan survei yang dirilis Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Maret silam. Survei dilakukan di tiga wilayah di Jakarta, yakni Cilincing, Tebet, dan Pasar Minggu.

Dari total 564 responden, 93% menyatakan tidak terwakili oleh anggota DPR periode 2009-2014 dan hanya 7% yang mengaku terwakili. Mayoritas responden juga mengaku tidak ingat dengan wakil mereka yang berkantor di Senayan.

Apakah Anda kaget dengan hasil survei itu? Sesungguhnya itulah cermin DPR di masa reformasi. Publik tidak merasa terwakili karena DPR tidak menggunakan kekuasaan besar yang dimiliki untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau partai mereka.

Peran DPR di bidang perundang-undangan, anggaran, pengawasan, dan perwakilan membuat lembaga itu begitu perkasa. Celakanya, tidak ada satu pun lembaga negara yang memiliki hak untuk mengawasi DPR.

Jelas, ada yang error dalam sistem ketatanegaraan. Pembagian kekuasaan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif memang sudah terwujud, tetapi mekanisme checks and balances di antara ketiga lembaga belum tertata secara berimbang.

Itu sebabnya, pengawasan terhadap DPR hanya datang dari publik. Jadi, kekuasaan yang besar di tangan DPR tanpa diimbangi pengawasan memadai.

Tidak mengherankan jika DPR kerap bertindak sesuka hati. Mereka menaikkan gaji sendiri kemudian merumuskan berbagai fasilitas yang harus didapat. Semua mulus terwujud tanpa ada hambatan.

Ironisnya, dengan kekuasaan yang begitu besar minus pengawasan, kinerja DPR malah masuk kategori buruk. Tengok, misalnya, kinerja DPR yang hanya mampu menghasilkan 16 undang-undang dari 70 undang-undang yang ditargetkan pada 2010.

Di bidang pengawasan pun idem ditto. DPR hanya hebat di awal, tapi loyo di bagian akhir. Meski kerap rapat dengan mitra pemerintah, toh ujung-ujungnya tidak tuntas. Nuansa transaksional sangat kental dalam setiap jejak parlemen. Kasus Century salah satu contohnya.

Selain berkinerja buruk, DPR pun terkenal sebagai lembaga yang korup. Sejumlah anggota dewan digiring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke bui. Sebagian lain sedang menjalani persidangan. Tetapi DPR tidak pernah jera. Kini muncul lagi calo-calo anggaran yang juga diduga melibatkan para wakil rakyat itu.

Publik sudah lelah dengan perangai buruk DPR. Tugas utama DPR sebagai penyalur aspirasi rakyat sudah lama terhenti dan menjelma menjadi makelar. Barangkali menjadi calo jauh lebih menguntungkan
(kliping EMI/Jumat, 27 Mei 2011 00:01 WIB)

Vonis Bebas Agusrin Bukti Kalo Rezim DEMOKRAT Jadi Mentor Koruptor

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

ADAKAH keadilan jika terdakwa korupsi divonis bebas, sedangkan pencuri-ayam mati dihajar massa? Pertanyaan klasik ini sepertinya kembali menggema menyusul vonis bebas atas Gubernur Bengkulu (nonaktif) Agusrin M Najamuddin.

Banyak orang terhenyak atas vonis bebas itu. Terhenyak karena ekspektasi publik atas pemberantasan korupsi yang sudah berurat berakar di negeri ini begitu melambung.

Ekspektasi itu makin melambung ketika publik menyaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menghunus pedang untuk memimpin langsung perang melawan korupsi.

Agusrin didakwa menilap dana pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan Bengkulu sekitar Rp21 miliar. Jaksa menuntutnya 4,5 tahun penjara.

Akan tetapi, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memvonis bebas Agusrin. Majelis hakim berargumentasi terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti didakwakan jaksa.

Sejak awal, masyarakat Bengkulu memang sudah wanti-wanti jangan sampai politik mengangkangi hukum dalam perkara Agusrin. Maklum, Agusrin adalah kader Partai Demokrat, partai berkuasa saat ini.

Publik seperti sudah mencium tanda-tanda itu. Agusrin yang sudah berstatus tersangka sejak Agustus 2008, tetap dilantik sebagai Gubernur Bengkulu untuk kedua kalinya pada 2010. Juga, persidangan Agusrin baru digelar dua tahun setelah dia ditetapkan sebagai tersangka. Dengan berbagai argumentasi, Partai Demokrat ketika itu pun tak kunjung menindak Agusrin.

Supaya berlangsung adil dan jujur seperti diharapkan publik, persidangan Agusrin digelar di Jakarta. Harapan masyarakat bagi penegakan keadilan kembali membuncah.

Apalagi, dalam persidangan awal, majelis hakim menolak keberatan kuasa hukum Agusrin sehingga persidangan tetap dilanjutkan. Keterangan sejumlah saksi di persidangan juga memberatkan Agusrin.

Maka, publik pun terhenyak dan limbung ketika majelis hakim memvonis bebas Agusrin. Publik lantas mengaitkan vonis bebas itu dengan status Agusrin sebagai kader Partai Demokrat.

Publik pun mempertanyakan kesungguhan SBY untuk tidak tebang pilih ketika menebaskan pedang keadilannya bagi para pelaku korupsi, termasuk jika pelakunya adalah kader Partai Demokrat.

Adalah wajar jika publik menduga-duga adanya campur tangan politik dalam vonis bebas Agusrin. Betul Partai Demokrat dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sudah menindak Muhammad Nazaruddin.

Akan tetapi, kita masih menanti apakah Nazaruddin yang disebut-sebut terlibat korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games juga akan diperlakukan sama di muka hukum.

Oleh karena itu, adalah tepat langkah Komisi Yudisial yang turun tangan menyelidiki apakah ada main mata dalam persidangan Agusrin. Hasil penyelidikan KY sungguh kita tunggu-tunggu agar tidak terjadi dusta dan curiga di antara sesama anak bangsa.
(kliping EMI/Kamis, 26 Mei 2011 00:00 WIB)

Nyanyian Nazaruddin utk DEMOKRAT?

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

SUARA Muhammad Nazaruddin semakin nyaring dan kencang. Bagai satria bergitar, Bendahara Umum Partai Demokrat yang baru saja diberhentikan Dewan Kehormatan Partai Demokrat itu malah lebih garang mendendangkan lirik yang menusuk ke mana-mana.

Pemecatannya itu tidak membuatnya gentar dan tutup mulut. Dia melancarkan jurus pendekar mabuk, menebas kiri kanan, tak peduli kawan atau lawan terkena sabetannya.

Dia mengumbar aneka borok berbagai pihak. Tidak hanya kebobrokan di luar partainya, tetapi dia juga membidik sesama kader Demokrat. Nazaruddin misalnya menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD melakukan fitnah soal pemberian uang persahabatan 120 ribu dolar Singapura (Rp830 juta) kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar.

Ke internal partai, Nazaruddin seolah melancarkan politik bumi hangus. Dia membuka aib menteri dan elite Partai Demokrat. Misalnya dia menyebutkan bahwa semua proyek di sebuah kementerian dikendalikan kerabat sang menteri. Nazaruddin juga menyentil bahwa banyak kader Demokrat melanggar etika. Ada yang menjual nama Partai Demokrat tatkala beperkara di Mahkamah Agung. Dia mengaku memiliki sejumlah amunisi tentang kebobrokan kader-kader Demokrat yang siap diledakkan.

Apresiasi memang patut diberikan kepada Partai Demokrat yang telah mengambil tindakan terhadap Nazaruddin terkait dengan kasus dugaan suap Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram dalam proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang serta misteri uang persahabatan 120 ribu dolar Singapura.

Namun, langkah itu dinilai tidak cukup. Partai Demokrat dianggap tidak sepenuh hati karena tidak sekaligus mencopot Nazaruddin dari keanggotaan DPR.

Nazaruddin tentu tidak sembarangan bernyanyi nyaring dan kencang. Kita ingatkan bahwa Nazaruddin menyimpan banyak informasi penting tentang banyak masalah. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus secepatnya memberi perlindungan kepada Nazaruddin.

Juga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita mendesak agar segera memeriksa Nazaruddin. Bukan mustahil Nazaruddin bisa menjelaskan banyak hal, tidak hanya kasus dugaan suap di Kemenpora, tetapi juga skandal di tempat lain.

Sejumlah pihak memang meragukan Nazaruddin yang mengaku memiliki bukti kebobrokan kader Demokrat. Namun, kita percaya, Nazaruddin tidak sembarang bicara, sebab dia bukan sembarang orang. Dia bendahara umum partai berkuasa, sebuah jabatan yang sangat terhormat dalam hierarki partai.

Wahai Nazaruddin, teruslah bernyanyi! Publik yakin kau masih memiliki banyak judul lagu baru. Bernyanyilah satu per satu. KPK pasti merekam suaramu dan mendengarkannya kembali suatu hari nanti. 
(kliping EMI/Rabu, 25 Mei 2011 00:00 WIB)

Calo Anggaran di Parlemen

PSKPM: “Your Common House for Capacity Building”

 ISU calo anggaran di DPR selama ini bagaikan angin, terasa ada, tapi tak tampak. Kini faktanya semakin terkuak setelah anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati membuka kebusukan para koleganya.

Wa Ode Nurhayati membeberkan bahwa hampir semua anggota Badan Anggaran DPR mengutip 7%-15% dari anggaran yang dialokasikan untuk perubahan alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) dalam APBN 2011. Dari dana untuk daerah itu, menurut Wa Ode Nurhayati, anggota DPR mendapat Rp200 juta hingga Rp500 juta.

Akibat praktik percaloan itu, 120 kabupaten kota dan 10 provinsi yang seharusnya mendapat anggaran DPID akhirnya tidak kebagian. Padahal, kata Wa Ode Nurhayati, anggaran itu telah disepakati sebelumnya oleh pemerintah (menteri keuangan) dan Badan Anggaran DPR.

Bayangkan, 120 kabupaten kota dan 10 provinsi tak kebagian dana penyesuaian infrastruktur daerah 2011. Celakanya, tidak seorang pun anggota DPR dari daerah pemilihan di 120 kabupaten kota dan 10 provinsi itu yang protes.

Semuanya diam. Mengapa? Pertama, wakil rakyat dari daerah itu tidak peduli dengan daerah pemilihannya. Kedua, mereka termasuk yang mendapat uang calo. Ketiga, gabungan semua itu.

Untunglah masih ada Wa Ode Nurhayati yang berani bernyanyi perihal kelakuan koleganya yang menjadi calo anggaran di Badan Anggaran DPR. Nyanyian Wa Ode Nurhayati itu sangat penting, sekalipun belum ada bukti hukum yang bisa menyeret anggota DPR yang menjadi calo anggaran itu ke meja hijau. Namun, mengingat banyaknya kasus korupsi yang dilakukan anggota DPR, sangat sulit untuk mengabaikan begitu saja kicauan Wa Ode.

Apalagi, Wa Ode Nurhayati menyatakan ia siap dengan bukti jika ada anggota Badan Anggaran DPR yang ingin buka-bukaan soal uang percaloan itu. Sebuah tantangan yang mestinya menggerakkan KPK atau kejaksaan untuk segera mengusutnya.

Perlu dicatat Wa Ode Nurhayati bukan anggota DPR pertama yang membuka kebusukan koleganya sesama anggota DPR. Sebelumnya, Agus Condro Prayitno telah melakukannya.

Agus-lah yang mengungkap kasus dugaan suap pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang menyebabkan 26 anggota DPR dan mantan anggota DPR ditangkap KPK, termasuk Agus Condro sendiri.

Wa Ode Nurhayati tentu tahu betul kisah Agus Condro. Agus hanyalah maling yang teriak maling yang kemudian dituntut 1,5 tahun penjara.

Kita mendukung sepenuhnya posisi Wa Ode Nurhayati untuk mengungkap tuntas kasus percaloan anggaran di DPR. Kita juga mendorong pihak berwajib untuk proaktif menindaklanjuti nyanyian Wa Ode Nurhayati.

Tangkaplah siapa pun anggota DPR yang menjadi calo itu, tidak peduli apa partainya, apa bulunya, sekalipun berakibat DPR kosong melompong karena lebih banyak anggotanya yang masuk penjara. Di penjara, biarkan mereka bersidang pleno dengan agenda tunggal menyesali diri.