Minggu, 24 Oktober 2010

PEMERINTAHAN SBY & KEPEMIMPINAN SEPEDA ONTEL

Pemerintahan SBY & Kepemimpinan “Sepeda Ontel”
Tulisan ini sabagian saya kutip dari kolom BULETIN JENDELA (penulisnya SUTORO EKO YUNANTO)yang diterbitkan oleh Kampusku tercinta STPMD "APMD" Yogyakarta, dan saya mengkontekskan artikel ini situasi dan kondisi pemerintahan SBY saat ini.

Mari kita menganalisa bersama secara kontekstual pemerintahan saat ini (SBY-Budiono;
Para pemimpin mungkin bakal berang bila citra “sepeda ontel” ditempelkan dalam kepemimpinan, demikian halnya pemimpin besar bangsa ini SBY-Budiono. Apalagi para pemimpin yang kolot dan feodal. Betapa tidak, sepeda ontel hanyalah sebuah sarana transportasi rakyat biasa yang bukan pemimpin. Ia identik dengan citra kelas kere. Dalam masyarakat modern kepemimpinan identik dengan kekuasaan, jabatan formal dan kekayaan, sehingga seorang pemimpin tidak pantas menggunakan sepeda ontel sebagai sarana transportasi. Citra pemimpin kita saat ini, identik dengan citra sebuah mobil sedan mewah, jas (baju) yang mahal dan mewah, potongan rambut yang selalu rapi dan necis (stylis) sampai koleksi-koleksi perabot rumah tangga-pun yang mewah dan berkelas (elite: (liat kondisi rill, dari kepala desa sampai presiden). Hal ini tentu sangat kontras dengan nasib dan kondisi rakyat yang serba kekurangan dalam berbagai aspek kehidupan, yang harus berebut mendapatkan jatah beras raskin, pembagian sembako murah, meninggal karena berebut zakat, busung lapar karena kekurangan pangan, mengemis dan dan meminta-minta dijalanan dan jutaan profesi yang dianggap kurang terhormat" bagi sebagian kalangan (mapan), semua menjadi label yang tepat untuk rakyat kita saat ini. Penulis melakukan analisa dengan filosofis sepeda ONTEL, dimana “sepeda ontel” punya nilai dan semangat kebajikan yang mulia, tidak saja karena sejarah dan kesederhanannya model dan bentuknya, akan tetapi merujuk pada nilai-nilai spirit dan spiritualitas yang terkandung didalamnya.Seperti yang diuraikan oleh Sutoro Eko,bahwa dalam kontek kepemimpinan yang canggih dan progresif adalah sebuah kolektivitas yang bisa dianalogikan sebagai sepeda ontel. Sekarang Anda bayangkan sebuah sepeda ontel. Paling tidak ada perangkat penting pada sepeda ontel.
Pertama, roda depan yang berarti tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemimpin dan anggotanya harus bertindak sukses menggapi cita-cita yang diharapkan kelompok atau lembaga.Artinya bahwa pemimpin harus mampu menciptakan sistem dan strategi yang jitu dalam mengendarai negara menuju tujuan yang jelas, yaitu masyarakat bangsa yang sejahtera. Kedua, roda belakang adalah solidaritas, yang mendorong laju roda depan. Solidaritas berarti pemimpin dan anggotanya harus punya hubungan baik satu sama lain dan punya kebersamaan untuk melaju ke depan. Baik roda depan dan belakang tidak bisa dipisahkan. Hal ini merujuk pada kemampuan masyarakat untuk mengajak dan bekerjasama dengan rakyat dalam mencapai tujuan, pemimpin harus merakyat (lebih baik lagi kalo ia sangat dekat dengan rakyat dan sering bertemu dengan rakyat untuk mengetahui berbagai aspirasi dan kebutuhan riil rakyatanya) Kedua prinsip tersebut saling melengkapi. Kuksesan meraih cita-cita akan memperkuat solidaritas, dan solidaritas akan memperkuat upaya meraih cita-cita. Ketiga, pedal yang menjadi penghubung serta penggerak roda depan dan belakang. Pedal juga merepresentasikan kapasitas dan pertumbuhan personal baik pemimpin maupun anggotanya, untuk mengambil inisiatif melaju terus menggerakkan dua roda sepeda.Para menteri dan seluruh pembantu presiden, termasuk juga anggota DPR tidak hanya menjadi katalisator,dalam merumuskan berbagai kebijakan yang pro rakyat,akan tetapi harus mampu menjadi inspirator yang bijak dalam mendorong kreatifitas dan kemandirian rakyat. Keempat, kemudi (stang), sebagai kendali atas arah laju sepeda. Dalam kelompok atau lembaga, pemimpin adalah pemegang kendali atas stang. Stang adalah rangkaian visi, misi, kebijakan dan program, sebagai kendali terhadap arah dan tindakan lembaga. Jika lembaga tidak mempunyai semua itu sama saja sepeda yang tidak punya stang.
Filsafat sepeda ontel merupakan pelajaran berharga bagi para pemimpin untuk membangun kepemimpinan yang kuat. Pemimpin yang baik bukanlah seorang nahkoda kapal yang mengendalikan kapal dengan mudah dalam ruang tertutup, yang tidak mengenal dan punya solidaritas dengan penumpangnya. Pemimpin yang baik bukanlah seorang pejabat yang duduk manis di dalam mobil. pemimpin yang bijak dan khasrismatik bukan pemimpin yang sering memberikan pidato dan mengeluh didepan kameri dan media. Pemimpin yang merakyat, bukanlah pemimpin yang suka mencari simpatik rakyat dengan pencitraan diri, Pemimpin yang baik juga bukan identik dengan sopir yang dengan mudah dan cepat mengendalikan mobil tanpa kena panas, angin dan hujan. Bagi saya, pemimpin yang baik adalah pengemudi sepeda ontel yang dengan susah payah memegang kendali dan mengayuh sepeda itu, lalu mengarahkan sepeda ontel itu menuju tujuan yang pasti (welfare state). Baik pengemudi (pemimpin) maupun pembonceng (anggota) tentu saling kenal dan punya solidaritas yang kuat. Pembonceng (anggota) akan merasakan betul betapa susahnya menjadi pengemudi (pemimpin) sepeda. Sepeda ontel yang dikendalikan sang pemimpin itu akan berjalan mulus dan lancar bila jalan yang dilewati datar dan mulus. Tetapi bila sepeda melewati jalan yang naik dan rusak, sang pemimpin itu harus bekerja mengayuh ekstra keras dan susah. Dan hal inilah yang terjadi saat ini dimana pemerintahan SBY-Budiono lebih banyak melakukan curhat dan keluh kesa, daripada melakukan tindak-tindakan riil memperjuangkan hak dan kedaulatn rakyatnya. Artinya pemimpin memang tidak bisa hanya menikmati hak-hak istimewa dan main perintah kepada anggotanya, tetapi ia harus bertanggungjawab dan bekerja lebih keras, seraya membangun solidaritas dan legitimasi di hadapan anggotanya. Kata orang bijak, pemimpin harus bertanggungjawab paling depan bila kelompok atau lembaganya tengah mengalami penderitaan; sebaliknya pemimpin harus menikmati paling belakang bila kelompok atau lembaganya tengah memperoleh kemakmuran, dan SBY tidak melakukan hal tersebut dengan baik dan bijak. Ia selalu bersembunyi dibalik demokrasi prosedural seraya berkumandang dihadapan publik bahwa ia adalah pemimpin yan dimilih oleh 60% takyat indonesia.

Idealnya Kepemimpinan adalah elemen krusial dalam pembangunan kelembagaan. Lembaga bisa hancur karena krisis kepemimpinan. Berbagai gejolak yang tumbuh dalam masyarakat belakangan ini, misalnya, antara lain karena krisis kepemimpinan lokal yang sudah lama dirusak oleh campur tangan negara. Sebaliknya, lembaga yang kokoh dan terpercaya antara lain karena ditopang oleh kepemimpinan yang kuat.
Kepemimpinan yang kuat tidak selalu identik dengan pemimpin yang kuat atau orang yang kuat (strong leader). Seorang pemimpin yang kuat justru akan cenderung menimbulkan dehumanisasi dan kehancuran. Contohnya adalah Indonesia, yang mengalami kemunduran karena diperintah oleh para pemimpin yang kuat (atas hasil pemilu)dan bahkan demokrat mengusulkan kembali SBY untuk dilanjutkan ke periode ketiga. Artinya kita butuh pemimpin yang kuat secara legitimasi politik dan juga tegas dalam mengambil berbagai kebijakan dan keputusan politik terkait kebutuhan rakyat secara luas, bukan kepemimpinan yang kuat secara fisik.

Inilah yang membedakan Indonesia dengan Singapura atau negeri-negeri lain yang sudah advanced. Kemajuan di banyak negeri orang antara lain karena ditopang oleh kepemimpinan yang kuat, sementara kemandegan atau kemunduran Indonesia karena kerinduan maupun ketergantungan pada pemimpin yang kuat.

Kemajuan bangsa ini bukan tergantung secara mutlak pada para aktor pemimpin, tapi pada kepemimpinan yang kuat secara kolektif. Bisa jadi pemimpin adalah penentu terbangunnya kepemimpinan yang kuat. Dalam realitasnya memang seperti itu. Masyarakat kolot akan selalu menggantukan diri pada pemimpin. Pemimpin diharapkan bertindak seperti malaikat atau superman, sementara anggotanya cukup menjadi pembonceng gratis. Pengikut seperti ini berwatak agraris. Celakanya jarang sekali ada pemimpin sekuat malaikat. Kalau pemimpin cenderung kolot dan tidak membawa kemajuan, maka para pengikut berwatak agraris itu hanya bisa grundelan dan putus asa.
Membangun kepemimpinan yang kuat untuk membangun kelembagaan indonesia sebagai nation state harus dikembalikan pada empat semangat “sepeda ontel” di atas. Pertama, solidaritas dan kebersamaan antara pemimpin dan anggotanya. Dialog dan komunikasi terbuka, kerjasama kolektif, dan saling percaya mungkin merupakan cara belajar paling populer untuk membangun solidaritas. Kedua, inisiatif, komitmen dan kerja keras pemimpin dan anggotanya untuk mengayuh bergerak untuk maju. Personal growth setiap individu merupakan barang mutlak, sehingga ketergantungan pada pemimpin bisa diminimalisir. Ketiga, alat kemudi sebagai kendali arah, yang populer dalam bentuk visi, misi, kebijakan dan program yang menyeluruh. Semua ini menjadi pijakan (kendali) untuk bergerak maju. Keempat, adanya tindakan yang jelas untuk melaju terus dengan dikendalikan oleh kemudi.
Keempat aspek itu bersatu, tak dapat dipisahkan satu sama lain, bagai sebuah “sepeda ontel”. Lantas, apakah tidak butuh rem dan spion? Keduanya hanya barang sekunder, yang hanya dipakai kalau perlu. Sepeda harus digerakkan untuk melaju terus secara pasti, hati-hati, dan bertahap, meski relatif pelan. Kalau Anda butuh spion ketika naik sepeda ontel, berarti Anda adalah orang yang senang bernostalgia pada masa lampau, yang sebenarnya kurang berguna untuk menuju masa depan.

Syarief Aryfaid
Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
STPMD "APMD" Yogyakarta

Mengevaluasi Pemerintahan SBY-Budiono

Jeffrey Winters: Kalkulasi SBY Naif dan Salah
Tulisan atau artikel ini saya kutip dari Detik.news.com,menurut saya tulisan ini sangat menarik dan kontekstual dalam melihat sekaligus mendiskripsikan kembali kinera pemerintahan SBY - Budiono, yang hampir oleh semua kalangan, khususnya kelas menengah dan para intelektual memberikan label GAGAL terhadap pemerintahan SBY pada jilid kedua ini.
Diakui atau tidak oleh semua kalangan masyarakat, bahwa ada perbedaan yang signifikan, untuk mengatakan kekurangan/penurunan signifikan dari kinerja pemerintahan SBY dalam memperjuangkan dgn sungguh-sungguh perbaikan hidup rakyat. hal inilah yang dapat kita temui dalam hasil wawancara dengan seorang pengamat ekonomi politik Amerika Serikat. Setahun sudah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II berjalan. Namun kinerja pemerintah dianggap masih merah. Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Di mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja pemerintah tidak lepas dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.

Lantas apa yang membuat pasangan SBY-Boediono belum bisa berbuat banyak selama setahun bekerja? Berikut pandangan Jeffrey Winters kepada detikcom, Sabtu (16/10/2010):

Apa pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?

Sampai saat ini saya melihat kinerja pemrintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.

Meski pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan lepas saja.

Selama ini SBY adalah orang yang selalu ingin menjadi cantik. Dan jelas dia tidak mungkin menjadi cantik di depan kamera kalau benar-benar mendorong sistemnya sehingga bajunya dan mukanya penuh keringat seperti buruh yang kerja keras di jalan atau sawah. SBY dikenal sebagai orang santun dan rambutnya selalu rapih. Orang yang santun gaya SBY bisa sukses di bidang politik, dalam arti mempertahankan posisinya di pemerintahan, tetapi tidak mungkin bisa sukseskan Indonesia yang perlu didorong keras untuk menjadi kompetitor internasional yang dahsyat.

Seharusnya rakyat tidak lagi memilih pemimpin yang hanya mengandalkan kesantunan dan bersolek diri di depan kamera. Tapi yang perlu dicari adalah seorang presiden yang lebih fokus kepada penurunan jumlah kemiskinan.

Kalau mengenai kinerja para menterinya bagaimana?

Kinerja para menteri terkait dengan performa pemimpinnya. Karena sikap presidennya sebagai leader tidak bagus tentu saja para menterinya juga tidak bagus kerjanya. Apalagi pemilihan anggota kabinet berdasarkan bagi-bagi kekuasaan supaya aman di parlemen. Hasilnya yang terjadi pemilihan bukan berdasarkan kapabilitas dan akuntabilitas. Melainkan berdasarkan jatah anggota koalisi.

Bukankah memperkuat dukungan parlemen sebagai sebuah strategi supaya pemerintahan bisa berjalan efektif tanpa diganggu manuver-manuver politik dari parlemen?

SBY sebagai calon presiden jelas menang besar di pemilu. Dua kali dia dapat 60 persen! Di seluruh dunia jumlah suara sebesar itu disebut 'Landslide Victory'. Yang aneh, SBY tidak mengunakan mandat ini untuk membentuk kabinet yang benar-benar dimiliki dia sebagai instrumen eksekutif, untuk melaksanakan dengan tegas konsep dan tujuan dia yang disampaikan dalam kampanye. Malah dia terkesan'dagang sapi' dengan partai-partai politik dan memilih kabinet yang lebih seperti kebun binatang atau 'Noah's Ark', dua wakil dari setiap jenis.

Kalkulasi SBY ternyata naif dan salah. Dia berfikir bahwa dengan kabinet seperti ini, dia akan punya basis aman di DPR dan bisa jadi lebih efektif. Yang terjadi justru sebaliknya. Malah partner-partnernya tetap melawan SBY di DPR dan memperjuangkan agenda masing-masing di kabinet. Setiap presiden di Indonesia harus berasumsi bahwa tidak akan ada dukungan kuat di DPR. Dengan begitu banyak partai, pasti akan ada perlawanan.

Pertanyaanya, bagaimana bisa menjadi eksekutif yang memaksimalkan kualitas dan solidaritas di dalam kabinet sendiri? Sudah barang pasti bahwa DPR akan selalu sulit. Tetapi, minimal bisa diharapkan bahwa kabinet akan utuh dan solid. Dengan formula SBY, justru hasil yang paling buruk, yaitu DPR yang selalu sulit dan kabinet pun yang kacau dan tidak efektif. Ingat, SBY bukan perdana menteri yang dipilih oleh MPR. Dia adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.

SBY tidak pernah faham bedanya, dan akibatnya adalah kabinet yang begini sekarang, penuh menteri yang selalu memperjuangkan agenda partai politiknya terlebih dahulu dan bahkan melawan agenda presiden.

Jadi jangan heran kalau roda kabinet SBY berputar di tempat. Ini karena dua faktor. Pertama, secara pribadi SBY memang orang yang sulit ambil keputusan dan tidak bisa menjalankan strategi dengan tegas dan cepat. Dan kedua, secara struktural dia membentuk kabinet dengan cara yang pasti akan memecah daripada menyatu. Oleh karena itu, diharapkan presiden berikutnya sebaiknya membentuk kabinet yang 100 persen penuh dengan orangnya dia, yang akan memperjuangkan agenda presiden, bukan agenda partai politik masing-masing.

Mengenai pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai pemerintah SBY-Boediono, apakah menunjukan grafik yang menggembirakan?

Sekali lagi Indonesia menjadi 'flavor of the day' untuk 'hot money financial' yang bersirkulasi dengan cepat di bumi ini. Indonesia harus waspada terhadap investasi DCCP ini (datang cepat, cepat pergi), malah pemerintah sepertinya membanggakan bahwa uang tersebut tertarik dengan bursa efek Jakarta.

Padahal tidak ada alasan yang mendasar untuk uang tersebut mengalir ke Indonesia selain spekulasi sementara. Kalau berbudi, pemerintah akan hati-hati dengan investasi macam ini, karena pertama, tidak menambah jumlah investasi modal di sektor riil. Kedua, justru pulangnya uang seperti ini yang membuat krisis finansial 1997-1998 ganti status dari hujan biasa menjadi badai luar biasa.

Saya melihat, Indonesia saat ini masuk ke dalam situasi yang bahaya dan pemerintah SBY serba senyum dan bahagia. Bentuk selalu kalahkan isi, sejak SBY naik menjadi presiden.

Apakah ini artinya satu tahun ini SBY-Boediono gagal menggerakan perekonomian nasional? Bagaimana indikatornya?

Pejabat dan presiden di Indonesia punya penyakit yang saya sebutkan 'Mentalitas 7 Persen'. Penyakit mental ini punya dua dimensi. Satu, ada konsep bahwa Indonesia hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen saja. Target di atas 7 persen dianggap mimpi dan tidak realistis. Kedua, jika Indonesia bisa mencapai 7 persen, ini dianggap cukup untuk membuat masa depan jauh lebih baik. Dua-duanya salah.

Kalau Cina dan India bisa mencapai pertumbuhan double digit atau 10 persen ke atas, Indonesia tidak ada alasan yang relevan selain tidak mau membuat perubahan supaya memang ada kinerja ekonomi yang lebih tinggi. Dan, kalau ternyata Indonesia hanya mencapai 7 persen, dan terus terang selalu jauh di bawah target, rakyat harus menunggu lama untuk ke luar dari kemiskinan. Mana ada presiden atau partai yang punya 'Visi 2045'? Ini seratus tahun kemerdekaan dan seratus tahun pembangunan. Apakah Indonesia bisa menjadi negara maju dalam waktu 35 tahun ini? Negara maju?

Tidak ada yang berani setting tujuan se-ambisius itu, karena untuk benar-benar mencapai target tersebut, harus ada perubahan besar mulai sekarang. Elit politik di Indonesia lebih mementingkan partainya, bisnisnya, atau bahkan sakunya pribadi. Itu kenyataan. Jadi rakyatlah yang harus maksa perubahan yang lebih cepat, dan sense of urgency di tingkat pemerintahan yang jauh lebih tinggi. Elit politik di Indonesia sangat rajin setting target yang rendah, justru supaya bisa malas dan senang. Dan, yang menjadi korban adalah rakyat luas.

Pertanyaan kritis dan kontekstual yang dapat kita ajukan untuk mengetahui apakah pemerintahan SBY-BUdiono pro rakyat atau tidak adalah sebagai berikut:
1) Seberapa banyak regulasi dan kebijakan nasional yang bersifat strategis memberikan kedaulatan penuh terhadap kemapanan ekonomi nansional, khususnya meningkatanya ekonomi sektor riil berbasis ekonomi kerakyatan?
2) Apa saja upaya yang dilakukan oleh SBY dalam memproteksi penuh ekonomi pertanian nasinal kita? termasuk pada sektor agraris??

dua pertanyaa tersebut, sengaja saya ajukan sebagai metode komparatif mengukur klaim keberhasilan ekonomi makro yang dielus-eluskan oleh pemerintahan SBY dan juga partai Demokrat.

Jumat, 22 Oktober 2010

Mencari Metode Baru Pengganti Pemilu

Mempersiapkan cara Baru Pengganti PEMILU
(Syarief Aryfa'id)

Pemilu (KPU, PANWAS, dll), pemilih (voters/perilaku pemilih) dan partai politik, merupakan tiga pilar utama dari rezim demokrasi prosedural. ketiga pilar tersebut masing-masing memiliki potensi untuk dijadikan indikator tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu pemilu.

Apa itu Pemilu?
Pemilu menjadi salah satu jalan alternatif yang paling banyak digunakan oleh nehara-negara di dunia (yang mengkkalim sebagai negara demokrasi) dalam mengatur dan mengelola sirkulasi pemimpin, yang walaupun dalam pelaksanaanya terdapat berbagai varian. Pemilu dalam konteks indonesia dewasa ini, pemilu hanya berfungsi sebagai sarana dan arena untuk membentuk perwakilan politik, dengan cara memilih para wakil yang akan duduk dilembaga perwakilan legislatif, maupun memilih pemimpin puncak eksekutif. sehingga ia (pemilu) hanya mampu melahirkan figur politik atas nama demokrasi.secara sederhana kita seringkali medefenisikan Pemilu sebagai arena kontestasi elit yang berkompetisi untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan
Pada zaman Modern seperti saat ini, pemilu menjadi penting karena: Pertama, pemilu sebagai mekanisme keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi.Ketiga, Pemilu juga terkait dengan implikasi-implikasi yg luas secara politik, ekonomi dan sosial (dari pemilu); termasuk menjadi metode alternatif digunakan oleh kelompok-kelompok penekan dalam memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. seperti dalam perspektif Schumpeterian tentang demokrasi: dimana ia menyebutkan demokrasi sebagai “metode politik”. pendapat ini sekaligus mendominasi teorisasi demokrasi, sehingga banyak kalangan memberikan konklusi bahwa pemilu menjadi elemen penting untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara.

Kegelisahan penulis adalah, kenapa kita harus percaya pada rezim pemilu, tidak itu hanya model labelisasi atas sebuah sistem yang disepakati oleh siapapun, dan apakah kita tidak mampu menyepakati metodelain selain pemilu sembari kita melabelkannya degan versi bangsa kita???? Prezeworski dkk mengingatkan bahwa jika demokrasi hanya dipahami sebagai “sekedar rezimisasi yg menyelenggarakan pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan”, maka pemilu akan melahir aktor-aktor; pejabat-pejabat publik yang kotor dan mendapat legitimasi secara politik, namun tidak menjadikan legitimasi tersebut sebagi basis fondasi dalam melakukan kebaikan-kebaikan terhadap rakyat. Sedangkan kritik sering kita jumpai dalam pelaksanaan demokrasi elektoral (pemilu) kita saat ini yaitu hight cos (ekonomi, sosial dan politik. Baik pemilu nansional maupun dalam konteks pilkada. Biaya pemilu (secara finansial) yang mahal tersebut seringkali tidak paralel atas terwujudnya kesejahteraan rakyat, atau paling tidak secara minimalis melahirkan pemimpin-pemimpin yang pro rakyat, pro poor dan pro growth. Justru pemilu menciptakan ruang resistensi sosial pada level grassroot (munculnya berabagai konflik sosial politik di tingkata masyarakat) sebagai akibat dari pemilu dan hasil pemilu tersebut. Hal ini diperparah dengan kondisi tidak berjalanya fungsi-fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan dan pemberdayaan politik kepada masyarakat.
Kondisi inilah sekiranya kita harus belajar mencari formulasi baru sebagai pengganti demokrasi electoral (pemilu), sebab dalam perspekktif kritis saya, bahwa mencari pemimpin itu tidak sulit, dan justru prosedur-prosedur yang kita adopsi-lah yang mempersulit lahirnya dan munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.

Statement penulis: hampir tidak ada dinegeri ini orang miski yang punya kesempatan jadi pemimpin, karena memang prosedur dan sistem kita hanya memberikan peluang bagi mereka yang kaya saja untuk mengisi jabatan-jabatan publik (politik) dibangsa ini.

kalu kita sepakat mengatakan pemilu itu cara atau metode, maka masih banyak metode atau cara lain yang lebih bijak dan relevan dalam "menemukan" pemimpin di bangsa ini, baik untuk tingkat nasional maupun tingkat lokal.

Menyimak berbagai kasus dan kegagalan pemilu melahirkan pemimpin yang pro rakyat, maka sudah sepantasnya saya dan juga teman-teman sepakat bahwa rezim pemilu berada diambang kegagalan, karena secara prosedural dari keseluruhan rangkaian pentahapan pemilu yang telah dilewati tidak satupun tahapan pemilu yang dapat dilalui dengan baik (jujur dan adil. Tahapan-tahapan tersebut justru menimbulkan berbagai maslaha sosial dan politik. (liat pemilu 2004 dan 2009 serta rangkaian pilkada di indonesia). Pemilu hanya menjadi seremonial dari demokrasi dan menegasikan kualitas dari proses tersebut, berbagai kecurangan dan manipulatif terjadi pada seluruh tahapan pemilu.
Kita perlu renungkan kembali dan mengkritisi dengan pernyataan-pernyataan bahwa Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri, yang tepat adalah pemilu sebagai sarana sekelompok orang untuk menindas rakyat melalui cara yang konstitusional.

Demokrasi Prosedural vs Substansi

SBY: Unggul pada Prosedur Demokrasi dan GAGAL secara Subtansi

Bangsa ini telah melakukan perubahan mendasar pada tataran sistem negara, sehingga mendapat apresiasi dari dunia internasional terkait keberhasilan Indonesia dalam menjalan “model demokrasi prosedural” ( J. Schumpeter; 1942) yang ditandai dengan keberhasilan bangsa ini melakukan sirkulasi kekuasaan dengan cara pemilu. Walaupun pada tataran empirik, pemilu yg dilaksanakan maasih menyisahkan berbagai persoalan manipulasi dan kecurangan-kecurangan.

Jika pemilu (demokrasi) dipandang sebagai model yg paling relevan bg bangsa ini sbg jalan utk mengelola dan mengurus rakyat-bangsa, maka seharusnya kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah akan menjadi lebih efektif, krn sistem demokrasi mengajarkan pentingnya menjalankan secara totaliter mandat-mandat rakyat yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk kebijakan- dan kebajikan yang pro rakyat ( pro poor, pro growth). seperti yang dikemukakan oleh John Locke tentang contrac social, dimana demokrasi menjadi arena atau ruang terciptanya kontak sosial antara rakyat dan pemerintah, dan pemerintah yang baik adalah pemerintah yang berhasil menjalankan mandat rakyatnya, dan bukan pemerintahan yang lebay dan mengedepankan pencitraan individu dbg basis perbaikan nasib rakyat.Pemerintahan SBY-Budiono yag seringkali bangga dengan kemenangan mutlak pada pemilu 2009 yg lalu, idealnya adl pemerintah yg memiliki legitimasi yg kuat, hal ini didukung oleh peroleh kursi di DPR yg signifikan serta dibantu oleh koalisi yg relatif besar. Tp toh.. apa yg dihasilkan oleh pemerintahan yg “legitimasi tersebut? apa yg telah mereka perbuat utk kepentingan rakyat (secara luas?. Justru yang terjadi adalah anomali-anomali dari legitimasi demokrasi.Pemerintah yang terbentuk atas kehendak rakyat, akan tetapi bertindak atas kehendak partai politik dan kehendak kelompok-kelompok borjuasi hitam.Secara normatif pemerintahan SBY memahami demokrasi sebagai “kehendak rakyat” (the will of the people), tapi ia lalai dengan prinsip lain soal kebaikan bersama, atau kebajikan publik (the common good) (Montesque). ha ini karena pemerintahan SBY hanya melihat demokrasi dari sumbernya saja dan bukan dari tujuan demokrasi (Thomas Hobbes). Pemerintahan SBY keliru mengimplemntasikan demokrasi, yg lebih cenderung dimaknai sebagai respon terhadap paham yang memberikan kekuasaan mutlak pada negara, baik berbasiskan proseduralisme teokratis maupun duniawi seperti dalam konsep Thomas Hobbes tentang Laviathan.

Jika menyimak dlm pandangan demokrasi klasik, pemerintahan konstitusional harus mampu membatasi & membagi kekuasaan mayoritas & sekaligus dpt melindungi kebebasan individu, hak-hak warga negara sbg sebuah nation-state, maka sesungguhnya pemerintah SBY-Budiono gagal melakukan hal tersebut (simak berbagai kasus kekerasan dan konflik). Negara dan pemerintah sesungguhnya diciptakan untuk menjamin kndisi rakyat agar menjadi baik, menjawab segala tuntutan rakyat soal terwujudnya welfare state, seperti yg diingatkan oleh Jhon Locke, bahwa negara diciptakan karena suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan antar rakyat. dengan tjuannya melindungi hak milik, hidup & kebebasan dari berbagai ancaman bahaya. tetapi hal tersebut juga GAGAL dilakukan leh pemerintahan SBY. Pemerinthan SBY hanya mengabil pandangan demokrasi klasik pada aspek normativ dan utopis dan sisi lain mengadopsi model demokrasi ala Schumpeterian pada aspek proseduralnya (dan itu-pun tidak tuntas) dan menegasikan konsep empirisme, deskriptif, dan institusional.Kita ketahui bhw dalam sistem demokrasi prosedural, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok:1) kompetisi yang sungguh-2 dan meluas antara individu dan atau kelompok (terutama parpol) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan; 2). Partisipasi politik yg melibatkan sebanyak mungkin warga dlm pemilihan pemimpin & kebijakan, paling tidak melalui pemilu secara reguler dan adil, tak satupun kelompok dikecualikan;3). Kebebasan sipil & politik (berbicara, pers, berserikat) yg cukup menjamin intergritas kompetisi & partisipasi politik. (Sistem “demokrasi electoral” merupakan sebuah bentuk atau metode berdemokrasi ala Scumpterian).Rujukan: Joseph Schumpeter “Capitalism, Socialism and Democracy” (1942). Dan dalam bukunya tersebut schumpeter mengingatkan bhw apa yg disebut kehendak rakyat sebenarnya hasil dari proses politik, bukan motor penggeraknya, dan Schumpeter menekankan pada prosedur atau metode demokrasi. dan inilah yg kemudian dijadikan acuan oleh pemerintah termasuk politisi-politisi demokrat dan yg berperan sbg penjilat SBY. (baca Palma, Dahl, Przeworski, Huntington, Diamond, Linz dan Lipset).

Secara substantif Demokrasi pada dasarnya dibangun dengan landasan etis dan moraliti yang mencakup nilai-nilai moral, pemikiran kritis, fair, yang kesemua itu muncul dalam tiap praktek pada arena politik dan ekonomi. dan pemerintah mengejawantahkanya dalam tataran empirik obyektif melaui praktek-pratek kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada perbaikan nasib rakyat sebagai warga negara. Negara harus selalu hadir untuk rakyatnya, dalam kondisi apapupun.
Landasan moraliti demokrasi tentunya dipahami sebagai mekanisme penciptaan tata pemerintahan yang punya empathic terhadap rakyatnya secara konkrit, dan bukan hanya melalui proses pencitraan pemimpin semata. sehingga keteladan terhadap pemimpin menrujuk pada aspek sistem bukan pada perilaku individu semata. Hal ini lah yang terjadi saat ini, dimana SBY mengidolakan dirinya sendiri agar menjadi idola rakyat.

Demokrasi bukan tujuan, demokrasi secara subtantif merupakan jalan alternatif menuju perbaikan relasi negara dan rakyat dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama serta mempermudah berlangsungnya kontrak sosial.

Syarief Aryfa'id

Penulis adalah Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta

Jl. Timoho No.317 Yogykarta